BAB I
Pendahuluan
A. Latar
Belakang
Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha dasar dan
berencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia
serta keterampilan yang diperlukan dirinya saat hidup bermasyarakat. Pembekalan
pendidikan kepada peserta didik di Indonesia dengan pemupukan nilai-nilai sikap
dan kepribadian sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung didalam sila-sila
Pancasila yang bertujuan untuk menumbuhkan cinta tanah air dengan berwawasan
kebangsaan yang luas.
Masyarakat dan pemerintah berupaya untuk
meningkatkan kualitas hidup terutama kepada generasi muda penerus bangsa untuk
hidup lebih berguna dan bermakna serta mampu mengantisipasi perkembangan dan
perubahan masa depannya. Hal ini sangat memerlukan pembekalan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni yang seharusnya secara sadar setiap insan manusia memiliki
motivasi bahwa Pendidikan Kewarganegaraan yang diberikan kepada mereka sebagai
individu, anggota keluarga, anggota masyarakat, dan sebagai warga negara yang
terdidik serta bertekad untuk mewujudkannya.
Pendidikan Kewarganegaraan yang diberikan tidak
hanya teori saja melainkan harus memberikan sentuhan moral dan bersikap sosial.
Sentuhan moral dan sosial akan mendapat perhatian besar agar pengajaran
Pendidikan Kewarganegaraan mampu menuju sasaran tujuan yaitu membentuk pola
generasi muda yang baik dan bertanggung jawab, melahirkan generasi muda yang
memiliki rasa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah
Rasional Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi ?
2.
Bagaimanakah
Kedudukan Matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan dalam
Kurikulum Perguruan Tinggi?
3.
Bagaimanakah
Kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan
dalam Sistem Pendidikan Nasional?
4.
Apa
sajakah Komponen Sistem Pendidikan Nasional ?
5.
Apa karakteristik dalam Pendidikan Kewarganegaraan ?
C. Tujuan
Tujuan
Pendidikan Kewarganegaraan berdasarkan Kep. Dirjen No. 267/Dikti/2000, tujuan
Pendidikan Kewarganegaraan mencakup :
1.
Tujuan Umum
Untuk
memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada siswa mengenai hubungan
antara warga negara dengan negara serta PPBN agar menjadi warga negara yang
diandalkan oleh bangsa dan Negara.
2.
Tujuan Khusus
- Agar siswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur, dan demokratis serta ikhlas sebagai WNI terdidik dan bertanggung jawab
- Agar siswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggung jwab yang berlandaskan Pancasila, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional
- Agar siswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air, serta rela berkorban bagi nusa dan bangsa
D. Manfaat
Diharapkan dalam makalah ini
sebagai calon guru yang profesional kita dirunutut dan sifatnya wajib dalam
menerapkan nilai-nilai kewarganegaraan terhadap semua elemen dalam dunia
pendidikan nasional, dan makalah ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih
pemikiran bagi pengembangan ilmu Pendidikan kewarganegaraan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Rasional Pendidikan Kewarganegraan di Perguruan Tinggi
Embrio konsepsi (pemikiran)
mengapa pendidikan kewarganegaraan di berikan di perguruan tinggi, semata-mata
di upayakan dalam menjawab tantangan regenerasi. Yaitu suatu proses penyiapan
generasi muda yang pada gilirannya akan mengganti sebagai pemegang tampuk
kepemimpinan nasional.
Kendatipun demikian, proses
regenerasi tidaklah segampang seperti yang kita bayangkan. Regenerasi tidak
bisa hanya dipandang dari konsep yang sempit, bahwa generasi tua harus diganti
dengan mereka yang berusia muda. Dengan kata lain, konsep regenerasi tidak
sekedar upaya penyiapan kepemimpinan secara biologis (perkembangan fisik dan
usia), melainkan lebih di tekankan pada proses penyiapan “mentalitas” generasi
muda yang benar-benar mampu memimpin bangsa ini, mengganti para generasi
pendahulunya.
Sebagai rasional penetapan
pendidikan Kewarganegaraan di berikan di perguruan tinggi (baca: mahasiswa
sebagai sasaran binanya), didasarkan pada tingkat perkembangan kepribadian
mahasiswa yang secara kualitas dapat diamati dalam kehidupan mereka. Ada
perbedaan penampilan sebagai cerminan kepribadiannya, antara yang di tampilkan
oleh mahasiswa dengan penampilan pemuda lain, katakanlah pelajar. Apabila
ditilik dari pola pikirnya, kedua kelompok pemuda ini sama-sama memiliki “daya
kritis”. Namun sifat kritis yang mereka miliki tentu berbeda. Sifat kritis yang
ditampilkan oleh pelajar masih nampak kecenderungan ke arah emosional,
sedangkan mahasiswa telah mampu menampilkan pola pikir yang bersifat kritis
yang rasional.
Dengan mengandalkan kemampuan
penlarannya, mahasiswa dipandang telah mampu menyelesaikan segala persoalan
yang timbul dalam kehidupannya. Itulah sebabnya, mahasiswa diprediksi lebih
mampu mengekspresikan diri untuk berfikir ilmiah ketimbang generasi pemuda yang
lain.
Secara demikian, pilihan
pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi, bukanlah sekedar retorika, akan
tetapi memang benar-benar didasarkan atas totalitas kepribadian yang melekat
pada diri mahasiswa yang dipandang layak dalam mendukung upaya percepatan
program regenerasi.
B.
Kedudukan Matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan dalam
Kurikulum Perguruan Tinggi
Sebagaimana di ketahui,
Pendidikan Kewarganegaraan termasuk sebagai Matakuliah Pengembang kepribadian
(MPK), di samping matakuliah-matakuliah MPK yang lain, antara lain Pendidikan
Pancasila, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris.
Dalam kaitan itu, bersama
Pendidikan Kewarganegaraan bertugas memberikan bekal dasar kepada mahasiswa
tentang seperangkat pengetahuan mengenai hubungan antara negara dengan warga
negara dan pengetahuan pendidikan pendahuluan bela negara (PPBN), terutama yang
berkaitan dengan wawasan berfikir nasional, kesadaran moralnya terhadap cara
pandang kebangsaan dan cinta tanah air serta pertahanan dan keamanan nasional.
Begitu persoalan keamanan mulai muncul, maka getarannya langsung menyentuh
segala aspek kehidupan bangsa indonesia.
Terkait dengan itu, sebagai
bagian dari matakuliah pengembang kepribadian,Pendidikan Kewarganegaraan
tidaklah bekerja sendirian. Pendidikan Kewarganegaraan harus mampu berdialog
dengan matakuliah-matakuliah MPK yang
lain, dalam memberikan bekal dasar kepada mahasiswa yang latar belakang
disiplin ilmunya berbeda-beda.
C.
Kedudukan
Pendidikan Kewarganegaraan dalam Sistem
Pendidikan Nasional
Pendidikan adalah usaha dalam
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pembelajaran dan
pembentukan. Dalam kaitan itu,
pendidikan sering di artikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujutkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, aklak mulia, serta keterampilan yang di perlukan
dirinya, masyarakan bangasa dan negara (
Pasal 1 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Dalam konteks Indonesia,
pendidikan nasional dapat dikatakan sebagai pendidikan yang di selenggarakan
oleh pemerintah negara Indonesia, dalam wilayah negara Indonesia yang di
dasarkan pada Pancasila sebgai kepribadian bangsa. Oleh karena itu, pendidikan
nasional Indonesia hendaknya berakar pada budaya bangsa yang berdasarkan pada
pancasila (sebagai falsafah dan
pandangan hidup) dan UUD 1945 (sebagai konstitusi negara).
Perbedaan kepribadian, falsafah
dan pandangan hidup bangsa dan konstitusi yang digunakan
dalam suatu negara, akan mewarnai perbedaan pendidikan nasional yang
diselenggarakan pada suatu negara itu dengan negara lain. Dalam konteks ini,
tidak bisa pula bahwa pembangunan pendidikan atau pengembangan pendidikan di
suatu negara (termasuk indonesia), hanya di lakakukan dengan cara “mengadopsi”
sistem pendidikan yang di terapkan di negara lain.
Sebagai gambaran bahwa
pendidikan di Indonesia tidak bisa di samakan dengan negara lain, dapat
ditegaskan bahwa pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan nasional yang berlandaskan pancasila,
bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yang memiliki atribut,
antara lain: beriman dan bertaqwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti yang luhur, berkepribadian,
disiplin, kerja keras, tangguh, bertanggung
jawab, mandiri, cerdas, dan terampil, sehat jasmani dan rohani. Selain
itu, secara kualitatif lewat tanah airnya, tebal semangat kebangsaan, tinggi rasa
kesetiakawanan sosial, percaya pada diri sendiri dan bersama-sama bertanggung
jawab atas pembangunan negara dan bangsa.
Secara demikian dapat di
tegaskan bahwa kinerja pendidikan dalam konteks sistem pendidikan nasional
adalah suatu keseluruhan yang terpadu
dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan antara yang satu
dengan yang lain untuk mengusahakan tercapinya tujuan pendidikan nasional.
D.
Komponen Sistem
Pendidikan Nasional
Sebagai suatu sistem,
pendidikan nasional harus dioperasikan secara
sistemik dengan menginteraksikan
nilai fungsional yang melekat pada masing-masing komponen –komponen sistem
pendidikan nasional yang di maksut adalah:
1.
Komponen ideologis (Pancasila)
Pancasila adalah dasar
negara, ideologi negara dan bangsa, kepribadian serta pandangan hidup bangsa yang mampu
mengantarkan dan memberi corak kehidupan bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan
hidupnya. Dalam rangka ini, garapan pendidikan
nasional Indonesia hendaknya diberi motivasi atas dasar ideologis pancasila,
baik sebagai ideologi negara maupun kepribadian bangsa.
2.
Komponen Kostitusi
(UUD 1945)
Sebagai kerja nasional,
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan rakyat Indonesia, harus memiliki sandaran
konstitusi (hukum dasar). Itulah sebabnya, UUD 1945 sebagai dasar hukum
tertinggi di negara kita harus ditempatkan sebagai dasar hukum penyelenggaraan
pendidikan nasional di Indonesia. Jika
tidak, maka bisa di katakan bahwa penyelenggraan pendidikan sama sekali tidak
memiliki kekuatan yuridis dan hukum dasar (inkostitusional).
Panggilan konstitusi bagi
penyelenggaraan pendidikan nasional oleh pemerintah negara Indonesia, secara
eksplisit dapat digali lewat jiwa 31 UUD
1945, yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
Secara demikian, UUD 1945 memberikan pembenar (justifikasi) secra konstitusi
bagi penyelenggaraan sistem pendidikan nasional Indonesia.
3.
Komponen perundangan (UU Nomor 20 Tahun 2003)
Sebagai konsekuensi logis,
bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran, maka pemerintah wajib
menyelenggarakan sistem pendidikan
nasional yang diatur dalam undang-undang.produk perundangan yang
dimaksut, adalah UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-undang ini, mempunyai kekuatan
mengikat bagi siapa saja yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena jiwa dari
undang-undang itu memberikan “aturan main” bagaimana seharusnya prktik
pendidikan nasional itu dilakukan.
4.
Komponen
Wawasan (Wawasan Nusantara)
Wawasan Nusantara adalah cara
pandang bangsa Indnesia terhadap diri dan lingkunganya yang serba nusantara,
yang berdasarkan pada pancasila dan UUD 1945 untuk mencapai tujuan pembangunan nasional dalam rangka mencapai
tujuan negara sebagaimana tercantum
dalam pembukaan UUD 1945.
Dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan sistem pendidikan
nasional, wawasan nsantara memiliki nilai fungsional, yakni sebagai
“wawasan nasional”, dalam memandang persoalan pendidikan yang berlaku di
seluruh daerah dan masyarakan Indonesia, tanpa membedakan kondisi geografis di
mana mereka bertempat tinggal.Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan nasional,
haruslah dilaksanakan secara demokratis, adil dan merata yang mampu menembus ke segala lapisan masyarakat sesuai
dengan hak-hak pendidikan yang dimiliki oleh setiap warga negara. Dengan
wawasan nusantara, para penyelenggara pendidikan nasional hendaknya menyadari,
bahwa “virus pendidikan nasional” yang berdasarkan pancasila harus mampu tersebar ke seluruh
penjuru tanah air Indonesia (nusantara).
5.
Sasaran pendidikan nasional ditunjukan kepada warga
negara Indonesia. Dia adalah peserta didik dalam kerangka sistem pendidikan
nasional yang di tempatkan sebagai masukan dasar (raw input) bagi penyelnggaraan sistem pendidikan nasional.
Rasionalnya, sesuai dengan jiwa konstitsi bahwa setiap warga negara berhak
mendapat ganjaran (pasal 31 ayat UUD 1945). Persamaan hak untuk mendapatkan
pengajaran yang melekat pada diri warga negara ndonesia, hendaknya harus
dijadikan “komitmen” sekaligus “solusi” oleh pemerintah dan penyelenggara
pendidikan terkait serta bersandar pada hak- Hak rakyat Indonesia seluruhnya.
Itulah sebabnya, layanan pendidikan kepada warga Negara Indonesia, harus
dimaknai sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintah yang tidak
bisa ditawar – tawar bahkan harus diartikan sebagai kebutuhan yang paling
mendesak
6.
Komponen pelaksana pendidikan
Boleh jadi, yang paling berkompeten
dalam komponen terutama pada tataran atas, adalah Menteri Pendidikan Nasional,
dan pada tataran atau lapangan terbawah adalah guru-guru. Sebagai bagian dari
eksekutif, Mendiknas akan mengambil kebijakan yang terbaik dalam bidang
pendidikan dalam menangkap aspirasi yang telah tercantum dalam UUD 1945 dan
yang terkonseptualkan dalam Rencana Pembangunan Nasional (baca: pembangunan
bidang pendidikan).
Dalam rangka ini, sebuah kebijakan
pendidikan hendaknya diterapkan dengan memperhatikan beberapa pertimbangan
antara lain: manusiawi, demokratis dan memperhatikan prinsip keadilan serta
nondeskriminatif. Pertimbangan ini menjadi penting, karena kebijakan pendidikan
harus bersifat humanistis yang selalu bersandar pada potensi warga Negara
Indonesia sebagai manusia dan komponen peserta didik.Sementara itu, kebijakan
pendidikan yang demokratis, digunakan sebagai wacana bahwa penyelenggraan
pendidikan tidak dibenarkan jika bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada
diri warga Negara Indonesia.Sedangkan layanan atas dasar prinsip keadilan,
mengisyaratkan bahwa setiap kebijakan pendidikan harus menghindarkan perilaku
deskriminatif Negara atau pemerintah (mulai pemerintah pusat sampai ke
pemerintah daerah), baik dalam penjaringan animo pendidikan maupun perekrutan
peserta pendidikan.Sebuah contoh, kebijakan munculnya ‘Sekolah Unggulan’ di
Indonesia harus humanistic, demokratis dan prinsip keadilan. Lebih dari itu,
‘menjamurnya’ pengembangan Rencana Sekolah Berstandar Internasional (RSBI),
belakangan ini sudah mulai banyak yang mempertanyakan kinerja dan kualitas
praktik pembelajarannya, sehingga terjadi praktik-praktik yang melanggar
demokratisasi pendidikan, keadilan dan cenderung deskrimintif. Pengembangan
RSBI, harus dimaknai tidak hanya mengejar ‘standarisasi formalitas
internasional’, yang justru mengarah pada kehidupan bangsa dan mencetak
generasi yang tereliminasi kehidupan bangsa sendiri dan tercerabut dari
nilai-nilai dan akar-akar cultural bangsanya.
Dalam konteks ini, pada
penyelenggara pendidikan tingkat bawah (guru dan dosen), justru menempati
posisi yang paling strategis dalam mengantarkan pembentukan generasi bangsa
yang ‘andal’, sebagai upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional, terutama
dalam membentuk manusia Indonesia yang cerdas, bermoral dan bereligius. Dengan
kata lain, guru dan dosen merupakan ‘ujung tombak’ bagi berhasil-tidaknya
penyelenggaraan pendidikan nasional.
7. Komponen
institutive (lembaga pendidikan)
Institusi pendidikan merupakan
sebuah ‘ajang’ di mana kegiatan pendidikan itu dilaksanakan. Itulah sebabnya,
lembaga-lembaga pendidikan yang ada, mulai pendidikan dasar, pendidikan
menengah sampai lembaga pendidikan tinggi, hendaknya secara fungsional mampu
menyiapkan lingkungan belajar yang kondusif
bagi terselenggaranya proses pendidikan. Tidak saja sarana dan prasarana
pendidikan perlu dipersiapkan relatif memadai, tetapi yang lebih penting adalah
bagaimana kinerja pendidikan bisa diciptakan sebagai layanan humanistis dan
mampu menghadirkan rasa aman sekaligus nyaman bagi masyarakat belajar (learning community).
Dengan berbagai karakteristik yang
melekat pada setiap lembaga pendidikan dalam ketiga jenjang di atas, juga
diharapkan mampu bersinergi dalam rangka memersiapkan warga Negara yang handal,
yang memiliki wawasan kebangsaan luas, memiliki kesadaran akan cinta tanah air
dan bangsanya, tanpa menanggalkan wawasam (aspirasi) lokalnya yang tumbuh dan
berkembang di daerah mereka bertempat tinggal.
8. Komponen
instrumental (kurikulum pendidikan)
Kurikulum pendidikan ibarat ‘menu’ yang harus
diberikan kepada peserta didik.Sebab, dalam kurikulum terkandung seperangkat
pengetahuan dan sejumlah pengalaman belajar yang harus disosialisasikan kepada
peserta didik. Jika menu pendidikan tidak ‘bergizi’, maka akan mempengaruhi
output pendidikan, yaitu menghasilkan peserta didik yang ‘kurus’ pengetahuan
dan pengalaman. Hasil pendidikan juga akan berpengaruh terhadap kompetensi
peserta didik dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan dan proses pelibatan
dirinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itulah
sebabnya, kurikulum pendidikan mampu menggambarkan rangkaian perjalanan
kehidupan peserta didik mulai dari kemampuan awal sampai dengan kompetensi
akhir yang didapat dalam mengikuti proses pembelajaran.
Berkaitan dengan itu, isi kurikulum
harus disusun sedemikian rupa agar tidak merugikan output pendidikan nasional.Pendekatan-pendekatan materi dalam
kurikulum pendidikan harus selalu berorientasi pada pertimbangan ‘kualitas’
ketimbang ‘kuantitasnya’.Dengan demikian pengetahuan dan pengalaman yang
dipersiapkan dalam kurikulum, mampu membawa peserta didik dalam menatap
kehidupan dengan cerah, arif dan bijaksana. Hubungan sinergitas kedelapan
komponen di atas dapat digambarkan sebagai berikut
KERANGKA SISTEMATIK
![]() |
E.
Eksistensi Program Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kerangka Kurikulum
Beberapa
persolan yang hendak kita jawab untuk menempatkan Pendidikan Kewarganegaraan,
meliputi: (1) pendidikan macam apakah Pendidikan Kewarganegaraan itu?; (2)
bagaimana posisi programatik Pendidikan Kewarganegaraan terhadap program
Pendidikan Nasional? Dan (3) adakah signifikansi aspek kurikuler Pendidikan
Kewarganegaraan dengan aspek kurikuler yang dikembangkan dalam dunia
persekolahan (baca: pendidikan dasar dan menengah)?
Karakteristik
Pendidikan Kewarganegaraan
a.
PKn
sebagai pendidikan nilai dan moral
Penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia selama ini diarahkan pada pembentukan manusia Indonesia
yang berkualitas, yakni manusia yang beriman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, cerdas, terampil berbudi pekerti luhur, kreatif, inovatif dan bertanggung
jawab terhadap pembangunan bangsa. Hal ini selaras dengan keberadaan Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), yaitu mata pelajaran yang digunakan
sebagai wahana mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai luhur dan moral yang
berakar pada budaya bangsa Indonesia. Nilai-nilai moral yang luhur tersebut
diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku sehari-hari siswa, baik
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dan makhluk ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa (Depdiknas,1990).
Dalam
Kaitan itu, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bertujuan membentuk
kepribadian warga Negara yang baik (desirable
personal qualities) selaras dengan jiwa dan nilai-nilai Pancasila dan UUD
1945. PKn harus mampu membekali kompetensi peserta didik terhadap pengetahuan
kewarganegaraan (civic knowledge),
ketrampilan kewarganegaraan (civic ethic
atau civic disposition) (KBK,2001). Dengan demikian sangat potensial
disebut sebagai pendidikan nilai dan moral.
Nilai
atau dalam bahasa Inggris disebut value,
diartikan sebagai harga, penghargaan, atau taksiran.Maksudnya adalah harga atau
penghargaan yang melekat pada suatu obyek.Obyek yang dimaksudkan di sini bisa
berbentuk benda, barang, keadaan, perbuatan, perilaku, peristiwa dan lain-lain.
Dengan demikian seseorang dapat berbicara tentang nilai sebuah rumah, nilai
dari sebuah tanda penghargaan, nilai dari kehadiran seorang pemimpin di
tengah-tengah rakyatnya, nilai dari peristiwa pembakaran pencuri sepeda motor
yang tertangkap, nilai dari penyerangan para pejuang di markas tentara colonial
dan lain-lain.
Manusia
dalam hubungannya dengan sesame, dan alam semesta, selalu mengadakan penilaian.
Sikap menilai dari manusia terhadap segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik
materill (jasmaniah) maupun spiritual (rohaniah) selalu dihubungkan dengan
kemanfaatan (kegunaan) dari segala sesuatu bagi manusia , baik secara langsung
aspek-aspek yang terdapat di dalam
dirinya, yakni aspek rasio (cipta), rasa, karsa dan budi nurani.
Menurut
Widjaja (1985) menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan membanding-kan antara
sesuatu dengan sesuatu yang lain (sebagai standard),
untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan itu dapat berupa baik atau
buruk, benar atau salah, indah atau tidak indah, berguna atau tidak berguna dan
sebagainya.
Nilai
adalah sesuatu yang abstrak, bukan sesuatu yang kongkrit, yang hanya bisa
difikirkan, dipahami, dan dihayati.Nilai berkaitan dengan cita-cita, harapan,
keyakinan, dan hal-hal lain yang bersifat batiniah.Nilai adalah suatu kualitas,
bukan kuantitas.Nilai adalah sesuatu yang bersifat ideal, bukan factual. Nilai
berkaitan dengan das sollen (apa yang
seharusnya), bukan das sein (apa yang
senyatanya), (Muchson, 2002).
Sedangkan
kata moral , sebagaimana dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1989), yang menjelaskan
kata moral sebagai sinonim dengan akhlak, budi pekerti, atau susila. Menurut
Wijaya (1985), moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan atau
kelakuan (akhlak). Sementara itu menurut Ghazali (1994), akhlak (sebagai
padanan kata moral) adalah views about
good and bad, right and wrong, what ought or ought not do…(Djahiri, 1992).
Dalam konteks yang lain, kata moral juga sering digunakan sebagai pengganti
kata mental atau spirit. Konsep moral tidak bisa dilepaskan dengan
nilai.Keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan,
apalagi dalam konteks pendidikan. Berbicara tentang perilaku baik tidak baik,
manusia bermoral, ajaran baik dan buruk dan
sebagainya, tidak dapat dilepaskan dengan norma dan nilai sebagai
kriteria, indicator untuk mengidentifikasi perilaku manusia yang baik dan tidak
baik.
Nilai
merupakan sesuatu yang paling dasar, sesuatu yang bersifat hakiki, esensi,
intisari, atau makna yang terdalam (Muchson, 2002).Sebagaimana telah
dikemukakan, nilai adalah sesuatu yang abstrak, yang berkaitan dengan
cita-cita, harapan, keyakinan, dan hal-hal yang bersifat ideal. Agar hal-hal
yang bersifat abstrak itu menjadi kongkrit, dan apa yang menjadi harapan itu
menjadi kenyataan, maka diperlukan formulasi yang lebih kongkrit. Formulasi
yang lebih kongkrit dari nilai itu berwujud norma dengan berbagai jenisnya.
Norma
yang berisi perintah atau larangan, didasarkan pada suatu nilai, yang dihargai
atau dijunjung tinggi, karena dianggap baik, benar, atau bermanfaat bagi umat
manusia atau lingkungan masyarakat. Dengan demikian, hubungan antara nilai
dengan norma dapat dinyatakan bahwa nilai merupakan sumber dari suatu norma.
Norma merupakan aturan-aturan atau standar penuntun tingkah laku agar
harapan-harapan menjadi kenyataan. Agar lebih jelas dapat dicontohkan bahwa
kejujuran merupakan suatu nilai dan larangan menipu atau anjuran untuk bersikap
jujur (fair play dalam olahraga
misalnya) merupakan suatu norma. Demikian pula halnya dengan kebersihan yang
merupakan suatu nilai dan anjuran membuang sampah di tempat sampah atau
larangan membuang sampah di sembarang bilamana anda membuang bungkus permen di
sembarang tempat (moral), berarti anda melanggar norma kesusilaan, serta
melanggar nilai kebersihan.
Adapun
moral dalam pengertian sikap dan perbuatan yang baik, akhlak, budi pekerti,
watak, tabiat adalah merupakan perwujudan dari suatu norma. Perlu dikemukakan
kembali bahwa moral juga dapat dipahami dalam tataran nilai, sehingga disebut
nilai moral, serta dapat pula dipahami dalam tataran norma, sehingga disebut
nilai moral. Dengan demikian secara hirakhis dapat dikemukakan bahwa nilai
merupakan landasan dari norma,
selanjutnya norma menjadi dasar penuntun dari moral atau sikap dan perbuatan
yang baik.(Rochmadi, 2008).
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Rasional diberikannya Pendidikan
Kewarganegaraan di perguruan tinggi, pada dasarnya untuk menjawab tantangan
‘regenerasi’. Yaitu dalam mempersiapkan generasi muda sebagai calon pemimpin
bangsa, yang pada gilirannya akan mengganti dalam memegang kepemimpinan
nasional.
B. Saran
Kita
sebagai generasi muda wajib hukumnya unuk mempelajari ilmu kewarganegaraan
sebagai acuan dan pedoman kita dalam menghadapi pengaruh globalisasi dan
mengukuhkan kesadaran bela negara
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar