Kamis, 30 April 2015

Power Point Kewarganegaraan

https://docs.google.com/presentation/d/1AzVGM5n9-OSTJPfcQpZi1Kp2E1mXR_KYYUQYj_pKB6M/edit#slide=id.p7 https://docs.google.com/presentation/d/1AzVGM5n9-OSTJPfcQpZi1Kp2E1mXR_KYYUQYj_pKB6M/edit#slide=id.p4 https://docs.google.com/presentation/d/1TwFWvrKg0h4AXo3a_hkMQyvXpPjL8m3q2zyYkQ09u8I/edit#slide=id.p3

PUISI

                                                                   "Doaku"
                                                              (Frindi Dochter)


Tuhan...
Aku ingin mengenalkan imamku kepadaMu.
Dia yang menyayangiku selalu.
Seakan kebahagiaan hanyalah milikku.

Tuhan...
Air mataku tak henti jatuh.
Menemani setiap doaku kepadaMu.
Yang selalu tahu semua isi hatiku.

Tuhan...
Izinkan dia menemaniku setiap waktu.
Karena aku dan dia ingin menyatu.
Untuk saat ini, hingga kita bercucu.

Rabu, 29 April 2015

“Konsep Dasar, Tujuan dan Pendekatan Pendidikan Kewarganegaraan



BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
Sejak kelahirannya tahun 1973 sampai sekarang pendidikan kewarganegaraan
(duhulu pendidikan kewiraan, bahkan pernah berlebel pendidikaan kewarganegaraan / kewiraan) mengalami perkembangan yang menentukan bagi perjalanan system pendidikan nasional Indonesia. Hal ini terbukti bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, pendidikan kewarganegaraan senantiasa ditemukan sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri.
  Secara akademik, pendidikan kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berfungsi untuk membina kesadaran warga Negara dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan jira dan nilai konstitusi yang berlaku (UUD 1945).Dalam penjelasan pasal 37 (2) UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang system pendidikan nasional, ditegaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan, dimasukkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Sebagai program pendidikan.
 Menurut para ahli
·                 Azyumardi Azra:
“Pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan yang mengkaji dan membahas tentang pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, HAM, hak dan kewajiban warganegara serta proses demokrasi.”
·  Pendidikan demokrasi menyangkut: Sosialisasi; Diseminasi dan aktualisasi konsep; Sistem; Nilai; Budaya; dan Praktek demokrasi melalui pendidikan.
·                      Pendidikan HAM mengandung pengertian,

“sebagai aktivitas mentransformasikan nilai-nilai HAM agar tumbuh kesadaran akan penghormatan, perlindungan dan penjaminan HAM sebagai sesuatu yang kodrati dan dimiliki setiap manusia”.
·         Zamroni:
“Pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis.”
·         Merphin Panjaitan:
“Pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mendidik generasi muda menjadi warganegara yang demokratis dan partisipatif melalui suatu pendidikan yang dialogial.”
·  Soedijarto:
“Pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan politik yang bertujuan untuk membantu peserta didik untuk menjadi warganegara yang secara politik dewasa dan ikut serta membangun sistem politik yang demokratis.”
Berdasarkan pengertian diatas dapat ditegaskan bahwa program pendidikan kewarganegaraan, menekankan pada kompetensi (kemampuan ) peserta didik (subjek belajar) untuk memiliki wawasan , kebangsaan dan cinta tanah air. Kompetensi merupakan panggilan kontitusi dan ketentuan perundangan yang harus di realisasi dalam praktik dan kinerja pendidikan dan pengajaran tidak hanya bagi mahasiswa perguruan tinggi , namun siswa di sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) , siswa di sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), dan anak-anak sekolah dasar (SD).
          Sebagai progam pendidikan , pendidikan kewarganegaraan tergolong dalam mata kuliah yang strategis dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia , disamping dua mata kuliah yang lain , yakni Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama . Pendidikan Kewarganegaraan mengemban misi dalam mempersiapkan bangsa Indonesia yang tangguh dalam mengatasi ancaman , tantangan , dan ganggungan (ATHG) yang berpengaruh pada eksistensi pada dirinya.                                                                                
Kompetensi yang demikian mesti diimbangi dengan kemampuan berpikir ke arah pemahaman dan pengalaman jiwa dan nilai-nilai ajaran agama yang diyakini oleh masing-masing pribadi bangsa Indonesia.
Pendidikan kewarganegaraan termasuk pendidikan untuk menjadi educational for becoming , yang menekankan garapannya pada upaya pemnentukan manusia yaknio mahasiswa yang memiliki kesadaran dalam melaksanakan hak dan kewajibannya , terutama kesadaran atas akan wawasan nasional dan pertahanan keamanan nasional . Secara demikian  progam pendidikan kewarganegaraan dalam pelaksanaanya mengharuskan perhatian yang seksama bagi penggunanya dengan pemikiran yang cermat diharapkan proses pembelajaran pendidikan kewarganegaraan mampu mencapai misi yang telah ditetapkan.
   Demikian pentingtugas yang harus dilaksanakan oleh mata kuliah pendidikan kewarganegaraan, maka penyelenggaraannya mengharuskan adanya persamaan persepsi diantara dosen Pembina baik terhadap eksistensi (keberadaan) mata kuliah maupun cara dalam pengambilan keputusan dalam proses pembelajaran mahasiswa terhadap materi mata kuliah pendidikan kewarganegaraan.



B.Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
            Secara programatik, pendidikan kewarganegaraan ditujukan pada garapan akhir yaitu pembentukkan warga negara yang baik sesuai dengan jiwa dan nilai pancasila dan UUD 1945. Tujuan utama pendidikan kewarganegaraan adalah untuk membangun dan menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, sikap serta perilaku yang mencintai tanah air dan bersendikan kebudayaan bangsa, wawasan nusantara, serta ketahanan nasional dalam diri para calon-calon penerus bangsa yang sedang dan mengkaji dan akan menguasai ilmu pengetahuaan dan teknologi serta seni (Muchji, Achmad dkk, 2007).
Ada beberapa pendapat menurut para ahli :

·  Djahiri (1994/1995:10) adalah sebagai berikut:
 
a. Secara umum.  Tujuan PKn harus ajeg dan mendukung keberhasilan pencapaian Pendidikan Nasional, yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki kemampuan pengetahuann dan keterampilan, kesehatan jasmani, dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”

b. Secara khusus. Tujuan PKn yaitu membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perseorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran pendapat ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.

·           Sapriya (2001), tujuan pendidikan Kewarganegaraan adalah:
Partisipasi yang penuh nalar dan tanggung jawab dalam kehidupan politik dari warga negara yang taat kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar demokrasi konstitusional Indonesia. Partisipasi warga negara yang efektif dan penuh tanggung jawab memerlukan penguasaan seperangkat ilmu pengetahuan dan keterampilan intelektual serta keterampilan untuk berperan serta. Partisipasi yang efektif dan bertanggung jawab itu pun ditingkatkan lebih lanjut melalui pengembangan disposisi atau watak-watak tertentu yang meningkatkan kemampuan individu berperan serta dalam proses politik dan mendukung berfungsinya sistem politik yang sehat serta perbaikan masyarakat.

Rasionalnya, bahwa pancasila UUD 1945 ditempatkan sebagai norma dan para metrik kehidupan nasional indonesia dalam wadah NKRI. Di tinjau dari cara kerjanya yang bergerak dalam lingkungan pendidikan, pendidikan kwarganegaraan bertujuan membentuk kualiatas kepribadian bagi warga negara baik.
            Kriteria warga negara yang baik dapat di gali dari beberapa kualitas kepribadian sebagai perwujuda dari potensi yang melekat pada diri seseorang warga negara. Stanley E.Dimond  (1970), memberikan deskripsi kualitas kepribadian warga negara yang baik, meliputi beberapa atribut (1) loyal ; (2) orang yang selalu belajar ; (3) seorang pemikir ; (4) bersikap demokratis ; (5) gemar melakukan tindakan kemanusian ; (6) pandai mengatur diri ;(7) seorang pelaksana.
       Disamping itu Nasional Council For The Social Studies (NCSS), memberikan tujuan civic education  (pendidikan kewarganegaraan), dengan rumusan “ .....civic education today seeks create citizens who are infromated analitic, commited to democratic values, and actively involved in society (ROBINSON, 1967).Ada tiga target dari rumusan tujuan itu yang bisa mengantarkan warga negara memiliki kualitas pribadi, yakni (1) warga negara yang terinformasi ; (2) bersikap analitis; (3) melaksanakan nilai demokrasi dan aktif dalam kehidupan masyarakat. Menurut Branson (1999:7) tujuan civic education adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik tingkat lokal, negara bagian, maupun nasional. Tujuan pembelajaran PKn dalam Depdiknas (2006:49) adalah untuk memberikan kompetensi sebagai berikut:
a.         Berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu Kewarganegaraan.
b.        Berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab, serta bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
c.         Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.
d.        Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Warga negara yang terinformasi, hendaknya memiliki kualitas kepribadian dalam beberapa hal, yaitu :
a)           Memiliki pengetahuan dan kecakapan memecahkan masalah
b)          Memiliki kesadaran akan peranan ilmu npengrtahuann kontenporer.
c)           Memiliki kesiapan terhadap efektifitas kehidupan ekonomo.
Warga negara bersikap analitis, paling tidak memiliki kualitas dalam hal:
a)         Kemampuan mengambil keputusan nilai terhadap dunia yang senantiasa berubah.
b)        Penerimaan terhadap faktor baru, gagasan baru dan cara hidup baru.

Sedangkan warganegara yang mampu melaksanakan nilai demokrasi  dan aktif dalam kehidupan masyarakat, di harapkan memiliki kualitas kepribadain, antara lain:
Partisipasi dalam pembuatan keputusan.
a)         Meyakini akan asas persamaan dan kebebasan.
b)        Menumbuhkan kebanggaan nasional dan kerja sama inter nasional.
c)         Menumbuhkan seni kreatif dan perasaan humanistis.
d)        Memiliki perasaan kemanusiaan terhadap sesama warga negara.
e)         Pengembangan dan aplikasi prinsip demokrasi.

Senada dengan itu, Cogan 1998 menegaskan bahwa warga negara yang baik harus memiliki kemampuan untuk.

1.      Menjawab tantangan global.
2.      Bekerja sama dengan orang lain.
3.      Menerima dan tileransi terhadap perbrdaan budaya.
4.      Berfikir kritis dan sistematis.
5.      Menyelesaikan konflik antara kekerasan.
6.      Mengubah gaya hidup konsuntif guna me;indungi lingkungan.
7.      Kepekaan terhadap hal asasi manusia.
8.      Partisipasi dalam pemerintahan lokal, nasional dan global.

Bertolak dari tujuan civic education di atas, maka tujuan pendidikan kewarganegaraan di indonesia hendaknya selalu mengacu terhadap tujuan pendidikan nasional sebagaiman yang telah di isyaratkan oleh UU NO 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional 
Dalam penjelasan pasal 37 UU NO 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional ditegaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan, dim aksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi mansusia yang memiliki rasa kebangsan dan cinta tanah air. Sebagai program pendidikan, pendidikan kewarganegaraan tergolong dalam mata kuliah yang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara indonesia disamping dua mata kuliah yang lain yakni pendidikan pancasila dan pendidikan agama. Kopetensi yang demikian mesti di imbangi dengan kemampuan berpikir ke arah pemahaman dan pengalaman jiwa dan nilai pancasila dan pengenalan nilai ajaran agama yang di yakini oleh masing-masing pribadi bangsa indonesia.
Target pendidikan warga negara dalam perangka sistem pendidikan nasional dipusatkan pada redibilitas kepribadian warga negara dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermsyarakat indonesia menurut kriteria konstitusi. Pendidikan kewarganegaraan juga bertujuan untuk memperluas wawasan dan menumbuhkan kesadaran warga negara, sikap serta perilaku cinta tanah air, yang bersendikan pada kebudayaan bangsa, wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Secara demikian, warga negara diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami, menganalisis dan memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa dan negara secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita nasional sebagai mana digariskan dalam pembukaan UUD 1945.

C.Embrio Materi Kewarganegaraan
Beranalog dengan konsep dan tujuan pendidikan kewarganegaraan diatas , maka embrio materi pendidikan kewarganegaraan , adalah berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara dan negara. Analisis materi tersebut hendaknya dilakukan melalui dua kajian. Pertama, dengan kajian kronologis yang meliputi: pengertian hak dan kewajiban, latar belakang timbulnya hak dan kewajiban, pelaksanaannya dan hambatan yang timbul dan pelaksanaan hak dan kewajiban. Kedua, melalui kajian bidang kehidupan, yang meliputi hak dan kewajiban warga negara dalam bidang ideologi, politik,sosial –budaya dan pertahanan keamanan.
Perpaduan antara materi kajian kronologis hak dan kewajiban dengan kajian bidang kehidupan warga negara hendaknya selalu dimaknai dalam konteks bernegara. Itulah sebabnya, analisis hak dan kewajiban sebagai materi pendidikan kewarganegaraan hendaknya bisa diartikan sebagai materi hubungan ketika warga negara hendak mengadakan hubungan dengan organisasi negaranya. Dalam kaitan ini, kajian terhadap hak dan kewajiban warga negara berikut juga hak dan kewajiban negara, lebih dipusatkan pada upaya memberikan informasi tentang potensi apa yang dimiliki warga negara dan negara, dan apa yang harus dilakukan oleh keduanya.Selanjutnya, kajian hak dan kewajiban warga negara dan negara, diharapkan mampu mengantarkan keduanya menjalin hubungan secara wajar, demokratis, transparan, jujur serta adil. Sedangkan kajian terhadap bidang – bidang kehidupan warga negara, dapat digunakan sebagai upaya pembuktian apakah hak dan kewajiban mereka telah ditampakkan dalam hubungan dialogis dengan negara secara wajar, demokratis, transparan,jujur serta adil.
Embrio materi hak dan kewajiban dalam pendidikan kewarganegaraan sudah seharusnya dikembangkan secara luas dan mendalam, agar mampu memberikan wawasan warga neagara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.



D.Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan
     Paradigma adalah kerangka berfikir sistematis yang digunakan sebagai kerangka bertindak. Ada tiga paradigma baru bagi pendidikan kewarganegaraan, yang secara singkat dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1.Paradigma ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi
            Dunia memang selalu berubah seirama dengan perubahan masyarakat global.Bersamaan dengan itu, ideology dunia juga merambah dikawasan global yang siap menyebarkan virus perubahannya keseluruh penjuru dunia yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Perkembangan informasi dan globalisasi adalah sebuah realitas, tak ada satu bangsa didunia ini yang mampu menolaknya.Dalam kaitan ini, sebuah bangsa harus memiliki kecermatan dan ketegaran dalam menatap kehidupan global dan tuntutan dunia yang tidak kenal batas itu. Membangun sebuah pendirian nasional, ketika isu – isu global itu mulai ditawarkan, menjadi keperluan yang sangat mendesak bagi bangsa Indonesia, agar jati diri bangsa tidak terhempas angin dan terkikis oleh arus global. Pendidikan yang berbasis pada nilai luhur bangsa Indonesia, sebagaimana terkristal dalam pancasila, hendaknya dijadikan komitmen bangsa yang mencerminkan identitas nasional.
            Sebagai warga dunia, setiap warga Negara dan bangsa (termasuk Indonesia) hendaknya mampu berfikir kritis terhadap kemajuan dunia, agar mereka selalu memiliki pandangan dunia secara mantap dan tidak ketinggalan oleh kemajuan bangsa lain. Namun demikian, perspektif global juga tidak lepas dengan sebuah paradox yang kadang bisa membingungkan masyarakat dunia. Dalam rangka ini, kematangan pendirian sebuah bangsa menjadi penting, karena dengan itu, suatu bangsa akan mampu melakukan pilihan secara rasional terhadap apa yang sedang muncul sebagai ‘gebyar jaman’ (dunia).
2.Paradigma Reformasi
            Perguliran reformasi “total” tahun 1998 , terfokus pada 4 agenda besar :
Demokratisasi 2) Supremasi hukum 3) Penghormatan HAM 4) Pembentukan masyarakat kesederajatan dalam format chivil society. Reformasi harus di beri energi dengan berbasis nilai luhur bangsa Indonesia yang telah dijadikan sebagai kepribadian, moral , falsafah pemersatu bangsa dan perjanjian luhur bangsa dalam mendirikan Negara . Itulah sebabnya, pendidikan kewarganegaraan tidak bisa ditawar untuk mengandaikan pancasila tersebut , justru bagaimana mevitalisasi posisi pancasila dalam kerangka pendidikan nasional dan pendidikan kewarganegaraan . Pendidikan kewarganegaraan,tidak boleh dijadikan mata pelajaran “termajinalisasi” sehingga cenderung tidak popular di mata subyek belajar(siswa/mahasiswa).
 Di Indonesia, kata Reformasi umumnya merujuk pada gerakan mahasiswa pada tahun1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau era setelah Orde baru. Kendati demikan, Kata Reformasi sendiri pertama-tama muncul dari gerakan pembaruan di kalangan Gereja Kristen di Eropa Barat pada abad ke-16,yang dipimpin oleh Marti luther, Ulrich Zwingli, Yohanes Calvin, dll. Reformasi adalah mengembalikan tatanan kenegaraan kearah sumber nilai yang merupakan platform kehidupan bersama bangsa Indonesia, yang selama ini diselewengakan demi kekuasaan sekelompok orang, baik pada masa orde lama maupun orde baru. Proses reformasi harus memiliki platform dan sumber nilai yang jelas dan merupakan arah, tujuan, serta cita-cita yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sebagaimana tujuan awal ideal para pendiri bangsa terdahulu. Suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat:
  1. Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan- penyimpangan. Masa pemerintahan Orba banyak terjadi suatu penyimpangan misalnya asas kekeluargaan menjadi “nepotisme”, kolusi dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan semangat UUD 1945.
  2. Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasar pada suatu kerangka struktural tertentu, dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa dan Negara Indonesia. Jadi reformasi pada prinsipnya suatu gerakan untuk mengembalikan kepada dasar nilai- nilai sebagaimana yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia.
  3. Gerakan reformasi akan mengembalikan pada dasar serta sistem Negara demokrasi, bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat, sebagaimana terkandung dalam pasal 1 ayat (2). Reformasi harus melakukan perubahan kea rah sistem Negara hukum dalam penjelasan UUD 1945, yaitu harus adanya perlindungan hak-hak asasi manusia, peradilan yang bebas dari penguasa, serta legalitas dalam arti hukum. Oleh karena itu reformasi sendiri harus berdasarkan pada kerangka dan kepastian hukum yang jelas.
  4. Reformasi dilakukan kearah suatu perubahan kearah kondisi serta keadaan yang lebih baik, perubahan yang dilakukan dalam reformasi harus mengarah pada suatu kondisi kehidupan rakyat yang lebih baik dalam segala aspek, antara lain bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, serta kehidupan keagamaan.
  5. Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etika sebagai manusia yang berketuhanan bangsa Indonesia.
3. Paradigma Nation and Character Building  
            Sejak Indonesia berdir, hari ini dan kedepan, pembangunan karakter bangsa selalu ditempatkan sebagai prioritas utama.Betapa tidak? Potensi karakter bangsa merupakan modal social yang tidak bias diminimalkan oleh kepentingan yang bersifat material.Kiranya bukan tanpa alas an, kredibilitas moral dan karakter bangsa akan menentukan dan sekaligus menjadi ‘taruhan’ bangsa ketika bangsa Indonesia memasuki peraturan global.
            Dalam masa transisi atau proses perjalanan menuju format baru dalam bentuk masyarakat madani, pendidikan kewarganegaraan sebagai salah satu mata pelajarandi dunia persekolahan (baca:SD/MI,SMP/MTs dan SMA/MA) dan dunia perguruan tinggi,harus mampu menjadi ‘pengawal’ moral dan karakter bangsa Indonesia selaras dengan tuntutan dunia yang selalu berubah. Proses pembangunan karakter bangsa yang sejak proklamasi kemerdekaan RI hendaknya selalu menjadi prioritas, perlu direvitalisasi dan diselenggarakan sesuai dengan arah dan panggilan jiwa konstitusi.
            Tugas PKN dengan paradigma barunya mengemban tiga fungsi pokok, yakni mengembangkan kecerdasan warga Negara dan mendorong partisipasi warga Negara. Dalam rangka ini, praktik belajar kewarganegaraan hendaknya diberi tekanan dan nuansa selalu menggambarkan ‘gerakan social budayakewarganegaraan’ yang berbasis pada nilai-nilai pancasila.
E.Pendekatan Pendidikan Kewarganegaraan
            Berdasarkan embrio materi dan tujuan yang telah dijabarkan di atas, maka pendidikan kewarganegaraan memerlukan pendekatan yang jelas. Beberapa pendekatan yang digunakan dalam pendidikan kewarganegaraan tidak bias dipisahkan dengan orientasi garapan akhirnya, yakni dalam membina kepribadian warga Negara yang baik dan bertanggung jawab sesuai dengan criteria konstitusi.
1.Pendekatan Yuridis
            Pendekatan ini mengantarkan warga negara untuk memahami norma-norma formal yang selanjutnya dengan norma itu, akan memiliki sikap loyal terhadap konstitusi. Patut saudara catat, bahwa UUD 1945 sebagai hukum dasar yang tertinggi di negara indonesia yang di dalamnya memuat hak-hak kebebasan individu  (warga negara), seyogyanya digunakan sebagai rujukan norma dalam kehidupan warga negara indonesia.
            Penempatan posisi  UUD 1945 tersebut sangat logis, karena dalam undang-undang dasar itu telah dijiwai oleh nilai-nilai pancasila, yang secara yuridis yang digunakan sebagai sumber dari segala sumber hukum di indonesia. Kedudukan pancasila sebagai Dasar negara, juga terefleksikan ke dalam konstitusi negara indonesia,yang memiliki kekuatan bagi seluruh warga negara indonesia.
            Dengan demikian, tindakan warga negara indonesia dalam melaksanakan hak dan kewajibannya hanya bisa di benarkan sepanjang sesuai dengan norma-norma formal sebagaimana dituangkan dalam ‘aturan main’ konstitusi (UUD 1945) dan peraturan –peraturan yang bersumber pada UUD 1945 itu. Dengan pendekatan in, warga negara diharapkan mampu memahami proses politik, perbedaan antara praktik politik dan teori politik serta mampu mencocokan kebijakan politik yang di ambil oleh pemerintah (negara) dengan jiwa konstitusi yang digunakan.
 2.Pendekatan Struktural Fungsional
            Pemikiran yang melatari pendekatan ini dapat dielaborasi dari tradisi teori sosiologi, antara lain yang dikembangkan oleh Emile Durkheim, Vilfredo Pareto, Parsons dan Merton. Dalam tradisi structural fungsional, masyarakat dipandang sebagai suatu system yang didalamnya memiliki bagian yang saling berhubungan(Ritzer,1985).Sementara itu, system social harus dipahami atas dasar pentingnya keseimbangan antara bagian dalam sebuah system tadi.
            Titik sentral pendekatan structural fungsional, memberikan perhatian utama pada keteraturan, meredam konflik,mengandalkan consensus, mempertahankan pola keseimbangan dan mengagungkan fungsi.Talcott Parsons (dalam Hoogevelt,1985), dalam melakukan analisis system masyarakat memperkanalkan adanya empat sub-sistem dari system umum tindakan manusia,yaitu:organisme,personalitas, system social dan system cultural.Keempat sub-sistem tindakan manusia itu dilihat sebagai susunan mekanis yang saling berkaitan dan menunjukkan tata urutan yang bersifat sibernetik yang masing-masing memiliki fungsi.Organisme memiliki fungsi adaptasi;personalitas berfungsi untuk pencapaian tujuan;system social memiliki fungsi integrasi dan system cultural berperan sebagai fungsi latensi untuk mempertahankan pola dan norma kehidupan.Senada dengan itu, Robert K.Merton(dalam soekanto,1989),melatari pemikirannya pada beberapa hal sebagai berikut:
1.      Struktur system social senantiasa memiliki fungsi agar mampu mempertahankan kestabilan;
2.      Semakin besar perhatian kepada fungsi,semakin besar kemungkinan hidupnya sebuah system social.Lebih lanjut, Merton mewanti wanti, bahwa fungsi social yang dinyatakan secara Nampak,seringkali mengalami disfungsi, lantaran kurangnya perhatian terhadap fungsiterselubung.
Dalam pendidikan Kewarganegaraan,pendekatan structural-fungsional diproyeksikan dalam menganalisis nilai fungsional terhadap system politik yang digunakan sebagai wacana demokrasi.Sukarna (1981), menegaskan bahwa sebuah system politik memiliki fungsi, antara lain:
1.Mengembangkan aturan umum dan kebijaksanaan untuk mempertahankan ketertiban dan memenuhi tuntutan yang harus dilaksanakan secara wajar.
2.Merumuskan kepentingan rakyat
3.Pemilihan pemimpin atau pejabat pembuat keputusan.
            Setiap system politik, bagaimanapun juga, harus  Merumuskan kepentingan dasar dalam mempersatukan warga Negara. Hal ini mengandung makna bahwa hak dasar warga Negara harus diakui sebagai sebuah potensi individual yang pada gilirannya akan diapresiasikan dalam menjaring kewajiban yang harus mereka lakukan.Secara demikian,sosialisasi politik yang  bersumber pada hak dan kewajiban warga Negara tidak bias ditawar lagi, agar setiap warga Negara menyadari hak yang disandang dan kewajiban yang harus diemban dalam proses politik negaranya.
            Pemikiran ini sangat relevan dengan program pendidikan kewarganegaraan terutama tentang pembinaan warga Negara,agar mampu berpartisipasi dalam membentuk bangunan struktur politik (baca;antara:parpol,DPR/MPR,Presiden serta institusi lain),sebagai komponen system politik Negara.Tindakan warga Negara dalam melaksanakan hak dan kewajiban hendaknya dianggap sebagai sebuah fakta social yang harus diintegrasikan dengan gerak system politik yang ada.Hal ini berarti dalam membangun sebuah struktur politik pemerintahan demokrasi, pemilihan pemimpin politik (pemerintah Negara) tidak saja ditentukan oleh organisasi politik dan lembaga resmi Negara, akan tetapi suara pemilih atau rakyat juga memegang peranan yang sangat penting.

3.Pendekatan etika-moral
            Pendekatan ini dibangun dari sebuah paradigma definisi social dan perilaku social yang banyak digali dari tradisi Waber dan Skiner (Ritzer,1980). Waber, dalam menganalisis tindakan social menemukan lima cirri pokok yang menjadi sasaran kajiannya:
1.      Tindakan social menurut Si actor mengandung makna subyektif
2.      Tindakan nyata maupun yang bersifat membatin, sepenuhnya bersifat subyektif
3.      Tindakan itu harus mempunyai pengaruh positif yang dapat diulang-ulang yang muncul sebagai bentuk persetujuan
4.      Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau beberapa individu
5.      Tindakan itu harus memperhatikan orang lain dan terarah kepada orang lain. Sementara itu, Skiner (sebagai tokoh paradigma perilaku social), mencoba menerjemahkan prinsip psikologi behavioris kedalam ilmu social terutama sosiologi. Menurutnya, obyek sosiologi bersifat konkrit-realistis dalam  bentuk perilaku manusiadan kemungkinan pengulangannya yang dipusatkan pada perilaku individu terhadap lingkungannya baik berupa obyek social maupun non-sosial.
Di samping itu, banyak tokoh lain yang memiliki komitmen dengan persoalan tindakan social dan perilaku social ini.Virginia Held (1989), menegaskan bahwa pendekatan ‘etika moral’ justru digunakan sebagai wacana pembenar terhadap tindakan social.Dia memerinci bahwa tindakan social itu harus mencakup substansi,antara lain:
1.      Hak-hak atas kebebasan yang sama
2.      Perlunya pengalaman moral bagi seseorang
3.      Dasar-dasar adanya kepercayaan social
4.      Adanya praktik penyelidikan moral.
Sementara itu, Poedjawijatna (1984) menyebut ‘etika’ sebagai perwujudan dari filsafat tingkah laku manusia.Bahkan secara eksplisit dia menegaskan bahwa yang dijadikan objek etika adalah berkaitan dengan tindakan manusia, yang muncul sebagai wujud kesadaran etis (moral). Dari sini dapat ditangkap bahwa tindakan moral bukan bebas nilai karena muncul dari kesadaran manusia.Oleh sebab itu tindakan manusia itu bias berwujud tindakan baik-buruk, tindakan wajib,tindakan netral serta tindakan yang bertanggung jawab.
Secara logika, munculnya tindakan moral tidak bias dipisahkan dengan argumen moral. Vloemans & Jolivet (dalam Cahyoto, 1993) menegaskan bahwa logika merupakan ilmu berpikir yang tepat dan hanya bisa dibahas atau dibicarakan jika ada pemikiran dan perkataan dalam bentuk bahasa. Argumentasi moral adalah uraian yang membahas pengembangan moral dengan cara menurut (menurut cara logika) yang didukung oleh fakta dan bukti, sehingga dapat dihindari adanya kekeliruan berpikir.
Dalam kaitan itu, Bertens (1993) menegaskan bahwa argumentasi moral merupakan unsure keempat dalam proses terbentuknya pertimbangan moral: sesudah ketiga unsure yang lain yaitu: sikap awal, informasi moral dan norma moral. Sejalan dengan itu, Jacob Bronowski(dalam Haricahyono,1995). Menegaskan bahwa kualitas tindakan moral akan dibentuk oleh seberapa besar perhatian actor terhadap suatu objek moral dan terbentuknya pertimbangan moral.
Dengan menggunakan pendekatan ‘etika moral’ pendidikan kewarganegaraan, menempatkan tindakan social warga Negara hendaknya diberi penjelasan berdasarkan proses terbentuknya pertimbangan moral. Dengan pendekatan ini, pelaksanaan hak dan kewajiban oleh warga Negara Indonesia hendaknya diartikan sebagai sebuah kristalisasi tindakan moral yang diproses melalui pertimbangan moral dengan menggunakan bahan informasi  moral Pancasila dan UUD 1945 sebagai etika nasional bangsa Indonesia. Etika nasional ini digunakan sebagai ‘parametrik’ apakah tindakan moral warga Negara Indonesia dapat dibenarkan atau ditolak, sehingga menggambarkan baik dan buruknya tindakan yang dilakukan.
Sebuah contoh, apakah tindakan moral seorang pemilih dalam pemilihan umum, menyoblos dengan benar atau memilih sebagai golongan putih, kiranya harus menggambarkan kristalisasi pilihan moral yang diambil dan diwujudkan dalam tindakan mereka. Contoh lain, apakah semaraknya peristiwa ‘unjuk rasa’ yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa dan pemuda Indonesia dalam menuntut terwujudnya cita-cita reformasi, yang misalnya disertai dengan perusakan fasilitas umum dan bentrok massa dengan aparat keamanan sehingga memakan korban jiwa, dapat digunakan sebagai sebuah wacana pencerminan tindakan moral? Hal demikian, memerlukan analisis kritis bagi saudara dengan memanfaatkan informasi ilmu perilaku, misalnya psikologi social, sosiologi dan antropologi.

4.Pendekatan Psikologis-Pedagogis
            Pendekatan ini lebih menekankan pada latar dunia belajar dan lingkungan dimana peserta didik melakukan kegiatan itu.Pendekatan ‘psikologis-pedagogis’ diartikan sebagai pendekatan yang dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan kejiwaan peserta didik yang dikaitkan dengan jenjang pendidikan yang mereka ikuti.
            Secara makro, materi Pendidikan Kewarganegaraan, banyak berkaitan dengan fakta, konsep dan generalisasi, yang kesemuanya senantiasa merujuk pada hak dan kewajiban (sebagai embrio materi Pendidikan Kewarganegaraan) yang telah kita bicarakan di atas.”Trio” materi ini hendaknya diberikan pada setiap jenjang pendidikan, baik pada jenjang pendidikan dasar, menengah maupun perguruan tinggi. Topik kajian dan bobot materi yang dibicarakan bisa berbeda, ketika kajian itu dikaitkan dengan kondisi kejiwaan peserta didik dan aspek garapan yang menjadi target serta karakteristik masing-masing jenjang pendidikan yang ada.Dengan kata lain, pembelajaran hak dan kewajiban yang dicerminkan dalam bentuk fakta, konsep dan generalisasi selalu digunakan analisis dengan mempertimbangkan tingkat jangkauan, luas dan kedalaman materi dan urutan pemberiannya yang relevan dengan jenjang pendidikan.
            Aplikasi pendekatan psikologis-paedagogis dalam Pendidikan Kewarganegaraan,dapat digambarkan sebagai berikut :
  
PT
GENERALISASI
Pengetahuan
PM
KONSEP
keterampilan
PD
FAKTA
Sikap

Materi


Jenjang Pendidikan Dasar,oreintasi garapanya ditekankan pada aspek sikap (tanpa meninggalkan kedua aspek yang lain,yaitu keterampilan dan aspek pengetahuan).Materi yang digunakan banyak berkaitan dengan ‘fakta’,yaitu berkaitan dengan penggalian kasus atau peristiwa serta pengalaman emperik peserta didik sebagai realitas kehidupan.Penyajian fakta ini hendaknya memiliki signifikandengan tingkat perkembangan moral peserta didik,sehingga mereka akan lebih mudah menginternalisasi bahan ajar Penddidikan Kewarganegaraan dalam proses pembelajaran di sekolah.
Jenjang Pendidikan Menengah,lebih banyak berorientasi pada aspek pemahaman/keterampilan (tanpa mengesampingkan kedua aspek yang lain,yakni aspek sikap dan aspek pengetahuan).Tingkat pekembangan moral usia jenjang pendidikan menengah lebih banyak menuntut bagaimana peserta didik terampil melakuakan suatu tindakan moral yang diawali dengan melakukan pertimbangan moral yang  damereka tetapkan.Untuk memahami hal itu,diperlukan materi yang berkaitan dengan konsep,yang di dalamnya selalu mengandung pengertian.Kerangka penemuan atau pencapaian konsep (concept attainment) dapat dilakuakn dengan cara dialog mendalam (deep dialoque) dan tentunya mengandalkan pada motivasi peserta didik untuk berpikir kritis (critical thingking)Sebagai contoh,peserta didik tidak akan mampu melaksanakan pemilihan pengurus Senat Mahasiswa atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau  Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dengan demokratis,jika mereka tidak mengetahui makna dan karakteristik perilaku demokratis.Untuk mewujudkan perilaku demokratis ,seharusnya mengundang dialog secara mendalam dan dilandasi oleh cara cara berpikir kritis.
Jenjang Pendidikan Tinggi,lebih banyak menggarap aspek pengetahuan (dengan tetap tidak meniggalkan kedua aspek yang lain: aspek sikap dan keterampilan) dengan focus pada materi generalisasi,yaitu,kerangka pengambilan kesimpulan dan formulasi dalil/ketentuan serta bagaiman solusi pemikiran,pendapat dan tindakan ditetapkan/dilakukan.Prosedur kognisi,lebih banyak diorentasikan agar peserta didik mampu berpikir kritis (baik secara induktif,deduktif maupun keduanya),yang pada giliranya akan mampu mengambil kesimpulan yang bersifat rasional.Hal ini diselaraskan dengan karakteristik pendidikan tinggi sebagai lembaga ilmiah dan kampus sebagai masrakat ilmiah.
Penetapan rangkaian materi Pendidikan Kewarganegaraan yang menyangkut fakta,konsep dan generalisasi dalam pendekatan ‘psikologis-paedagigis’dapat dicontohkan sebai berikut :
(1)   Fakta: pengumpulan massa dan kemudian turun ke jalan (long march) dengan membawa spanduk yang bertuliskan tuntutan tertentu serta dengan yel-yel tertentu;
(2)   Konsep: peristiwa tadi mengandung konsep demontrasi atau unjuk rasa;
(3)   Generalisasi: setiap warga Negara berhak berkumpul dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan.
Kiranya masih banyak contoh lain yang bisa saudara inventarisasi dalam pemetaan materi Pendidikan Kewarganegaraan, terutama jika dikaitakan dengan aspek aspek kehidupan warga Negara yang sejajar dengan hak dan kewajiban.
Pemisahan ketiga aspek garapan dan muatan materi Pendidikan Kewarganegaraan yang diberikan dalam setiap jenjang pendidikan yang ada,tidak harus disikapi secara ekstrem/absolut.Karena ketiga garapan itu saling berhubungan dan saling mengisi.Perbedaan yang tampak,semata mata didasarkan pada pebedaan tingkat perkembangan psikologis yang melekat pada masing masing individu peserta didik terkait dengan jenjang pendidikan yang alami.