Selasa, 28 April 2015

KEDUDUKAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL



BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha dasar dan berencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya saat hidup bermasyarakat. Pembekalan pendidikan kepada peserta didik di Indonesia dengan pemupukan nilai-nilai sikap dan kepribadian sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung didalam sila-sila Pancasila yang bertujuan untuk menumbuhkan cinta tanah air dengan berwawasan kebangsaan yang luas.

Masyarakat dan pemerintah berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup terutama kepada generasi muda penerus bangsa untuk hidup lebih berguna dan bermakna serta mampu mengantisipasi perkembangan dan perubahan masa depannya. Hal ini sangat memerlukan pembekalan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang seharusnya secara sadar setiap insan manusia memiliki motivasi bahwa Pendidikan Kewarganegaraan yang diberikan kepada mereka sebagai individu, anggota keluarga, anggota masyarakat, dan sebagai warga negara yang terdidik serta bertekad untuk mewujudkannya.

Pendidikan Kewarganegaraan yang diberikan tidak hanya teori saja melainkan harus memberikan sentuhan moral dan bersikap sosial. Sentuhan moral dan sosial akan mendapat perhatian besar agar pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan mampu menuju sasaran tujuan yaitu membentuk pola generasi muda yang baik dan bertanggung jawab, melahirkan generasi muda yang memiliki rasa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimanakah Rasional Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi ?
2.      Bagaimanakah Kedudukan Matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum Perguruan Tinggi?
3.      Bagaimanakah Kedudukan Pendidikan  Kewarganegaraan dalam Sistem Pendidikan Nasional?
4.      Apa sajakah Komponen Sistem Pendidikan Nasional ?
5.      Apa karakteristik dalam Pendidikan Kewarganegaraan ?
C.     Tujuan
Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan berdasarkan Kep. Dirjen No. 267/Dikti/2000, tujuan Pendidikan Kewarganegaraan mencakup :
1. Tujuan Umum
Untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada siswa mengenai hubungan antara warga negara dengan negara serta PPBN agar menjadi warga negara yang diandalkan oleh bangsa dan Negara.
2. Tujuan Khusus
  • Agar siswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur, dan demokratis serta ikhlas sebagai WNI terdidik dan bertanggung jawab
  • Agar siswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggung jwab yang berlandaskan Pancasila, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional
  • Agar siswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air, serta rela berkorban bagi nusa dan bangsa

D.     Manfaat
Diharapkan dalam makalah ini sebagai calon guru yang profesional kita dirunutut dan sifatnya wajib dalam menerapkan nilai-nilai kewarganegaraan terhadap semua elemen dalam dunia pendidikan nasional, dan makalah ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi pengembangan ilmu Pendidikan kewarganegaraan.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Rasional Pendidikan Kewarganegraan di Perguruan Tinggi

Embrio konsepsi (pemikiran) mengapa pendidikan kewarganegaraan di berikan di perguruan tinggi, semata-mata di upayakan dalam menjawab tantangan regenerasi. Yaitu suatu proses penyiapan generasi muda yang pada gilirannya akan mengganti sebagai pemegang tampuk kepemimpinan nasional. 
Kendatipun demikian, proses regenerasi tidaklah segampang seperti yang kita bayangkan. Regenerasi tidak bisa hanya dipandang dari konsep yang sempit, bahwa generasi tua harus diganti dengan mereka yang berusia muda. Dengan kata lain, konsep regenerasi tidak sekedar upaya penyiapan kepemimpinan secara biologis (perkembangan fisik dan usia), melainkan lebih di tekankan pada proses penyiapan “mentalitas” generasi muda yang benar-benar mampu memimpin bangsa ini, mengganti para generasi pendahulunya.
Sebagai rasional penetapan pendidikan Kewarganegaraan di berikan di perguruan tinggi (baca: mahasiswa sebagai sasaran binanya), didasarkan pada tingkat perkembangan kepribadian mahasiswa yang secara kualitas dapat diamati dalam kehidupan mereka. Ada perbedaan penampilan sebagai cerminan kepribadiannya, antara yang di tampilkan oleh mahasiswa dengan penampilan pemuda lain, katakanlah pelajar. Apabila ditilik dari pola pikirnya, kedua kelompok pemuda ini sama-sama memiliki “daya kritis”. Namun sifat kritis yang mereka miliki tentu berbeda. Sifat kritis yang ditampilkan oleh pelajar masih nampak kecenderungan ke arah emosional, sedangkan mahasiswa telah mampu menampilkan pola pikir yang bersifat kritis yang rasional.
Dengan mengandalkan kemampuan penlarannya, mahasiswa dipandang telah mampu menyelesaikan segala persoalan yang timbul dalam kehidupannya. Itulah sebabnya, mahasiswa diprediksi lebih mampu mengekspresikan diri untuk berfikir ilmiah ketimbang generasi pemuda yang lain.
Secara demikian, pilihan pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi, bukanlah sekedar retorika, akan tetapi memang benar-benar didasarkan atas totalitas kepribadian yang melekat pada diri mahasiswa yang dipandang layak dalam mendukung upaya percepatan program regenerasi.
B.     Kedudukan Matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum Perguruan Tinggi
Sebagaimana di ketahui, Pendidikan Kewarganegaraan termasuk sebagai Matakuliah Pengembang kepribadian (MPK), di samping matakuliah-matakuliah MPK yang lain, antara lain Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris.
Dalam kaitan itu, bersama Pendidikan Kewarganegaraan bertugas memberikan bekal dasar kepada mahasiswa tentang seperangkat pengetahuan mengenai hubungan antara negara dengan warga negara dan pengetahuan pendidikan pendahuluan bela negara (PPBN), terutama yang berkaitan dengan wawasan berfikir nasional, kesadaran moralnya terhadap cara pandang kebangsaan dan cinta tanah air serta pertahanan dan keamanan nasional. Begitu persoalan keamanan mulai muncul, maka getarannya langsung menyentuh segala aspek kehidupan bangsa indonesia.
Terkait dengan itu, sebagai bagian dari matakuliah pengembang kepribadian,Pendidikan Kewarganegaraan tidaklah bekerja sendirian. Pendidikan Kewarganegaraan harus mampu berdialog dengan matakuliah-matakuliah MPK  yang lain, dalam memberikan bekal dasar kepada mahasiswa yang latar belakang disiplin ilmunya  berbeda-beda.









C.     Kedudukan Pendidikan  Kewarganegaraan dalam Sistem Pendidikan Nasional

Pendidikan adalah usaha dalam menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pembelajaran dan pembentukan. Dalam kaitan  itu, pendidikan sering di artikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujutkan  suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif  mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, aklak mulia, serta keterampilan yang di perlukan dirinya, masyarakan bangasa dan  negara ( Pasal 1 UU  No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Dalam konteks Indonesia, pendidikan nasional dapat dikatakan sebagai pendidikan yang di selenggarakan oleh pemerintah negara Indonesia, dalam wilayah negara Indonesia yang di dasarkan pada Pancasila sebgai kepribadian bangsa. Oleh karena itu, pendidikan nasional Indonesia hendaknya berakar pada budaya bangsa yang berdasarkan pada pancasila (sebagai falsafah dan  pandangan hidup) dan UUD 1945 (sebagai konstitusi negara).
Perbedaan kepribadian, falsafah dan  pandangan  hidup bangsa dan konstitusi yang digunakan dalam suatu negara, akan mewarnai perbedaan pendidikan nasional yang diselenggarakan pada suatu negara itu dengan negara lain. Dalam konteks ini, tidak bisa pula bahwa pembangunan pendidikan atau pengembangan pendidikan di suatu negara (termasuk indonesia), hanya di lakakukan dengan cara “mengadopsi” sistem pendidikan yang di terapkan di negara lain.
Sebagai gambaran bahwa pendidikan di Indonesia tidak bisa di samakan dengan negara lain, dapat ditegaskan bahwa pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan  nasional yang berlandaskan pancasila, bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yang memiliki atribut, antara lain: beriman dan bertaqwa terhadap  Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti yang luhur, berkepribadian, disiplin, kerja keras, tangguh, bertanggung  jawab, mandiri, cerdas, dan terampil, sehat jasmani dan rohani. Selain itu, secara kualitatif lewat tanah airnya, tebal semangat kebangsaan, tinggi rasa kesetiakawanan sosial, percaya pada diri sendiri dan bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan negara dan bangsa.
Secara demikian dapat di tegaskan bahwa kinerja pendidikan dalam konteks sistem pendidikan nasional adalah  suatu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan antara yang satu dengan yang lain untuk mengusahakan tercapinya tujuan pendidikan nasional.

D.    Komponen  Sistem Pendidikan Nasional

Sebagai suatu  sistem,  pendidikan  nasional  harus dioperasikan  secara  sistemik  dengan menginteraksikan nilai fungsional yang  melekat  pada masing-masing komponen –komponen sistem pendidikan nasional yang di maksut adalah:

1.      Komponen  ideologis (Pancasila)
Pancasila adalah  dasar  negara, ideologi negara dan bangsa, kepribadian  serta pandangan hidup bangsa yang mampu mengantarkan dan memberi corak kehidupan bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan hidupnya. Dalam  rangka ini, garapan pendidikan nasional Indonesia hendaknya diberi motivasi atas dasar ideologis pancasila, baik sebagai ideologi negara maupun kepribadian bangsa.

2.      Komponen Kostitusi (UUD 1945)
Sebagai kerja nasional, pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan  rakyat Indonesia, harus memiliki sandaran konstitusi (hukum dasar). Itulah sebabnya, UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi di negara kita harus ditempatkan sebagai dasar hukum penyelenggaraan pendidikan  nasional di Indonesia. Jika tidak, maka bisa di katakan bahwa penyelenggraan pendidikan sama sekali tidak memiliki kekuatan yuridis dan hukum dasar (inkostitusional).
Panggilan konstitusi bagi penyelenggaraan pendidikan nasional oleh pemerintah negara Indonesia, secara eksplisit dapat digali  lewat jiwa 31 UUD 1945, yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Secara demikian, UUD 1945 memberikan pembenar (justifikasi) secra konstitusi bagi penyelenggaraan  sistem  pendidikan nasional Indonesia.

3.      Komponen  perundangan (UU Nomor 20 Tahun 2003)
Sebagai konsekuensi logis, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran, maka pemerintah wajib menyelenggarakan sistem pendidikan  nasional yang diatur dalam undang-undang.produk perundangan yang dimaksut, adalah UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang ini, mempunyai kekuatan  mengikat bagi siapa saja yang terlibat dalam penyelenggaraan  pendidikan. Oleh karena jiwa dari undang-undang itu memberikan “aturan main” bagaimana seharusnya prktik pendidikan nasional itu dilakukan. 

4.      Komponen Wawasan  (Wawasan Nusantara)
Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indnesia terhadap diri dan lingkunganya yang serba nusantara, yang berdasarkan pada pancasila dan UUD 1945 untuk mencapai tujuan  pembangunan nasional dalam rangka mencapai tujuan  negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan sistem pendidikan  nasional, wawasan nsantara memiliki nilai fungsional, yakni sebagai “wawasan nasional”, dalam memandang persoalan pendidikan yang berlaku di seluruh daerah dan masyarakan Indonesia, tanpa membedakan kondisi geografis di mana mereka bertempat tinggal.Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan nasional, haruslah dilaksanakan secara demokratis, adil dan merata yang mampu  menembus ke segala lapisan masyarakat sesuai dengan hak-hak pendidikan yang dimiliki oleh setiap warga negara. Dengan wawasan nusantara, para penyelenggara pendidikan nasional hendaknya menyadari, bahwa “virus pendidikan nasional” yang berdasarkan  pancasila harus mampu tersebar ke seluruh penjuru tanah air Indonesia (nusantara). 
5.      Sasaran pendidikan nasional ditunjukan kepada warga negara Indonesia. Dia adalah peserta didik dalam kerangka sistem pendidikan nasional yang di tempatkan sebagai masukan dasar (raw input) bagi penyelnggaraan sistem pendidikan nasional. Rasionalnya, sesuai dengan jiwa konstitsi bahwa setiap warga negara berhak mendapat ganjaran (pasal 31 ayat UUD 1945). Persamaan hak untuk mendapatkan pengajaran yang melekat pada diri warga negara ndonesia, hendaknya harus dijadikan “komitmen” sekaligus “solusi” oleh pemerintah dan penyelenggara pendidikan terkait serta bersandar pada hak- Hak rakyat Indonesia seluruhnya. Itulah sebabnya, layanan pendidikan kepada warga Negara Indonesia, harus dimaknai sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintah yang tidak bisa ditawar – tawar bahkan harus diartikan sebagai kebutuhan yang paling mendesak

6. Komponen pelaksana pendidikan
Boleh jadi, yang paling berkompeten dalam komponen terutama pada tataran atas, adalah Menteri Pendidikan Nasional, dan pada tataran atau lapangan terbawah adalah guru-guru. Sebagai bagian dari eksekutif, Mendiknas akan mengambil kebijakan yang terbaik dalam bidang pendidikan dalam menangkap aspirasi yang telah tercantum dalam UUD 1945 dan yang terkonseptualkan dalam Rencana Pembangunan Nasional (baca: pembangunan bidang pendidikan).

Dalam rangka ini, sebuah kebijakan pendidikan hendaknya diterapkan dengan memperhatikan beberapa pertimbangan antara lain: manusiawi, demokratis dan memperhatikan prinsip keadilan serta nondeskriminatif. Pertimbangan ini menjadi penting, karena kebijakan pendidikan harus bersifat humanistis yang selalu bersandar pada potensi warga Negara Indonesia sebagai manusia dan komponen peserta didik.Sementara itu, kebijakan pendidikan yang demokratis, digunakan sebagai wacana bahwa penyelenggraan pendidikan tidak dibenarkan jika bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada diri warga Negara Indonesia.Sedangkan layanan atas dasar prinsip keadilan, mengisyaratkan bahwa setiap kebijakan pendidikan harus menghindarkan perilaku deskriminatif Negara atau pemerintah (mulai pemerintah pusat sampai ke pemerintah daerah), baik dalam penjaringan animo pendidikan maupun perekrutan peserta pendidikan.Sebuah contoh, kebijakan munculnya ‘Sekolah Unggulan’ di Indonesia harus humanistic, demokratis dan prinsip keadilan. Lebih dari itu, ‘menjamurnya’ pengembangan Rencana Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), belakangan ini sudah mulai banyak yang mempertanyakan kinerja dan kualitas praktik pembelajarannya, sehingga terjadi praktik-praktik yang melanggar demokratisasi pendidikan, keadilan dan cenderung deskrimintif. Pengembangan RSBI, harus dimaknai tidak hanya mengejar ‘standarisasi formalitas internasional’, yang justru mengarah pada kehidupan bangsa dan mencetak generasi yang tereliminasi kehidupan bangsa sendiri dan tercerabut dari nilai-nilai dan akar-akar cultural bangsanya.

Dalam konteks ini, pada penyelenggara pendidikan tingkat bawah (guru dan dosen), justru menempati posisi yang paling strategis dalam mengantarkan pembentukan generasi bangsa yang ‘andal’, sebagai upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional, terutama dalam membentuk manusia Indonesia yang cerdas, bermoral dan bereligius. Dengan kata lain, guru dan dosen merupakan ‘ujung tombak’ bagi berhasil-tidaknya penyelenggaraan pendidikan nasional.
7. Komponen institutive (lembaga pendidikan)
Institusi pendidikan merupakan sebuah ‘ajang’ di mana kegiatan pendidikan itu dilaksanakan. Itulah sebabnya, lembaga-lembaga pendidikan yang ada, mulai pendidikan dasar, pendidikan menengah sampai lembaga pendidikan tinggi, hendaknya secara fungsional mampu menyiapkan lingkungan belajar yang kondusif  bagi terselenggaranya proses pendidikan. Tidak saja sarana dan prasarana pendidikan perlu dipersiapkan relatif memadai, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kinerja pendidikan bisa diciptakan sebagai layanan humanistis dan mampu menghadirkan rasa aman sekaligus nyaman bagi masyarakat belajar (learning community).
Dengan berbagai karakteristik yang melekat pada setiap lembaga pendidikan dalam ketiga jenjang di atas, juga diharapkan mampu bersinergi dalam rangka memersiapkan warga Negara yang handal, yang memiliki wawasan kebangsaan luas, memiliki kesadaran akan cinta tanah air dan bangsanya, tanpa menanggalkan wawasam (aspirasi) lokalnya yang tumbuh dan berkembang di daerah mereka bertempat tinggal.


8. Komponen instrumental (kurikulum pendidikan)
Kurikulum pendidikan ibarat ‘menu’ yang harus diberikan kepada peserta didik.Sebab, dalam kurikulum terkandung seperangkat pengetahuan dan sejumlah pengalaman belajar yang harus disosialisasikan kepada peserta didik. Jika menu pendidikan tidak ‘bergizi’, maka akan mempengaruhi output pendidikan, yaitu menghasilkan peserta didik yang ‘kurus’ pengetahuan dan pengalaman. Hasil pendidikan juga akan berpengaruh terhadap kompetensi peserta didik dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan dan proses pelibatan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itulah sebabnya, kurikulum pendidikan mampu menggambarkan rangkaian perjalanan kehidupan peserta didik mulai dari kemampuan awal sampai dengan kompetensi akhir yang didapat dalam mengikuti proses pembelajaran.
Berkaitan dengan itu, isi kurikulum harus disusun sedemikian rupa agar tidak merugikan output pendidikan nasional.Pendekatan-pendekatan materi dalam kurikulum pendidikan harus selalu berorientasi pada pertimbangan ‘kualitas’ ketimbang ‘kuantitasnya’.Dengan demikian pengetahuan dan pengalaman yang dipersiapkan dalam kurikulum, mampu membawa peserta didik dalam menatap kehidupan dengan cerah, arif dan bijaksana. Hubungan sinergitas kedelapan komponen di atas dapat digambarkan sebagai berikut







KERANGKA SISTEMATIK



 




















E. Eksistensi Program Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kerangka Kurikulum
Beberapa persolan yang hendak kita jawab untuk menempatkan Pendidikan Kewarganegaraan, meliputi: (1) pendidikan macam apakah Pendidikan Kewarganegaraan itu?; (2) bagaimana posisi programatik Pendidikan Kewarganegaraan terhadap program Pendidikan Nasional? Dan (3) adakah signifikansi aspek kurikuler Pendidikan Kewarganegaraan dengan aspek kurikuler yang dikembangkan dalam dunia persekolahan (baca: pendidikan dasar dan menengah)?
Karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan
a.      PKn sebagai pendidikan nilai dan moral
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia selama ini diarahkan pada pembentukan manusia Indonesia yang berkualitas, yakni manusia yang beriman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, cerdas, terampil berbudi pekerti luhur, kreatif, inovatif dan bertanggung jawab terhadap pembangunan bangsa. Hal ini selaras dengan keberadaan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), yaitu mata pelajaran yang digunakan sebagai wahana mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia. Nilai-nilai moral yang luhur tersebut diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku sehari-hari siswa, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (Depdiknas,1990).

Dalam Kaitan itu, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bertujuan membentuk kepribadian warga Negara yang baik (desirable personal qualities) selaras dengan jiwa dan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. PKn harus mampu membekali kompetensi peserta didik terhadap pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), ketrampilan kewarganegaraan (civic ethic atau civic disposition) (KBK,2001). Dengan demikian sangat potensial disebut sebagai pendidikan nilai dan moral.

Nilai atau dalam bahasa Inggris disebut value, diartikan sebagai harga, penghargaan, atau taksiran.Maksudnya adalah harga atau penghargaan yang melekat pada suatu obyek.Obyek yang dimaksudkan di sini bisa berbentuk benda, barang, keadaan, perbuatan, perilaku, peristiwa dan lain-lain. Dengan demikian seseorang dapat berbicara tentang nilai sebuah rumah, nilai dari sebuah tanda penghargaan, nilai dari kehadiran seorang pemimpin di tengah-tengah rakyatnya, nilai dari peristiwa pembakaran pencuri sepeda motor yang tertangkap, nilai dari penyerangan para pejuang di markas tentara colonial dan lain-lain.

Manusia dalam hubungannya dengan sesame, dan alam semesta, selalu mengadakan penilaian. Sikap menilai dari manusia terhadap segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik materill (jasmaniah) maupun spiritual (rohaniah) selalu dihubungkan dengan kemanfaatan (kegunaan) dari segala sesuatu bagi manusia , baik secara langsung aspek-aspek yang terdapat  di dalam dirinya, yakni aspek rasio (cipta), rasa, karsa dan budi nurani.

Menurut Widjaja (1985) menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan membanding-kan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain (sebagai standard), untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan itu dapat berupa baik atau buruk, benar atau salah, indah atau tidak indah, berguna atau tidak berguna dan sebagainya.

Nilai adalah sesuatu yang abstrak, bukan sesuatu yang kongkrit, yang hanya bisa difikirkan, dipahami, dan dihayati.Nilai berkaitan dengan cita-cita, harapan, keyakinan, dan hal-hal lain yang bersifat batiniah.Nilai adalah suatu kualitas, bukan kuantitas.Nilai adalah sesuatu yang bersifat ideal, bukan factual. Nilai berkaitan dengan das sollen (apa yang seharusnya), bukan das sein (apa yang senyatanya), (Muchson, 2002).

Sedangkan kata moral , sebagaimana dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1989), yang menjelaskan kata moral sebagai sinonim dengan akhlak, budi pekerti, atau susila. Menurut Wijaya (1985), moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan atau kelakuan (akhlak). Sementara itu menurut Ghazali (1994), akhlak (sebagai padanan kata moral) adalah views about good and bad, right and wrong, what ought or ought not do…(Djahiri, 1992). Dalam konteks yang lain, kata moral juga sering digunakan sebagai pengganti kata mental atau spirit. Konsep moral tidak bisa dilepaskan dengan nilai.Keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan, apalagi dalam konteks pendidikan. Berbicara tentang perilaku baik tidak baik, manusia bermoral, ajaran baik dan buruk dan  sebagainya, tidak dapat dilepaskan dengan norma dan nilai sebagai kriteria, indicator untuk mengidentifikasi perilaku manusia yang baik dan tidak baik.

Nilai merupakan sesuatu yang paling dasar, sesuatu yang bersifat hakiki, esensi, intisari, atau makna yang terdalam (Muchson, 2002).Sebagaimana telah dikemukakan, nilai adalah sesuatu yang abstrak, yang berkaitan dengan cita-cita, harapan, keyakinan, dan hal-hal yang bersifat ideal. Agar hal-hal yang bersifat abstrak itu menjadi kongkrit, dan apa yang menjadi harapan itu menjadi kenyataan, maka diperlukan formulasi yang lebih kongkrit. Formulasi yang lebih kongkrit dari nilai itu berwujud norma dengan berbagai jenisnya.


Norma yang berisi perintah atau larangan, didasarkan pada suatu nilai, yang dihargai atau dijunjung tinggi, karena dianggap baik, benar, atau bermanfaat bagi umat manusia atau lingkungan masyarakat. Dengan demikian, hubungan antara nilai dengan norma dapat dinyatakan bahwa nilai merupakan sumber dari suatu norma. Norma merupakan aturan-aturan atau standar penuntun tingkah laku agar harapan-harapan menjadi kenyataan. Agar lebih jelas dapat dicontohkan bahwa kejujuran merupakan suatu nilai dan larangan menipu atau anjuran untuk bersikap jujur (fair play dalam olahraga misalnya) merupakan suatu norma. Demikian pula halnya dengan kebersihan yang merupakan suatu nilai dan anjuran membuang sampah di tempat sampah atau larangan membuang sampah di sembarang bilamana anda membuang bungkus permen di sembarang tempat (moral), berarti anda melanggar norma kesusilaan, serta melanggar nilai kebersihan.

Adapun moral dalam pengertian sikap dan perbuatan yang baik, akhlak, budi pekerti, watak, tabiat adalah merupakan perwujudan dari suatu norma. Perlu dikemukakan kembali bahwa moral juga dapat dipahami dalam tataran nilai, sehingga disebut nilai moral, serta dapat pula dipahami dalam tataran norma, sehingga disebut nilai moral. Dengan demikian secara hirakhis dapat dikemukakan bahwa nilai merupakan landasan  dari norma, selanjutnya norma menjadi dasar penuntun dari moral atau sikap dan perbuatan yang baik.(Rochmadi, 2008).










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Rasional diberikannya Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi, pada dasarnya untuk menjawab tantangan ‘regenerasi’. Yaitu dalam mempersiapkan generasi muda sebagai calon pemimpin bangsa, yang pada gilirannya akan mengganti dalam memegang kepemimpinan nasional.

B.     Saran
Kita sebagai generasi muda wajib hukumnya unuk mempelajari ilmu kewarganegaraan sebagai acuan dan pedoman kita dalam menghadapi pengaruh globalisasi dan mengukuhkan kesadaran bela negara













DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar