BAB
II
PEMBAHASAN
Pengertian Pendidikan
Kewarganegaraan
Sejak kelahirannya tahun 1973 sampai sekarang
pendidikan kewarganegaraan
(duhulu
pendidikan kewiraan, bahkan pernah berlebel pendidikaan kewarganegaraan /
kewiraan) mengalami perkembangan yang menentukan bagi perjalanan system
pendidikan nasional Indonesia. Hal ini terbukti bahwa dalam penyelenggaraan
pendidikan tinggi, pendidikan kewarganegaraan senantiasa ditemukan sebagai mata
kuliah yang berdiri sendiri.
Secara akademik,
pendidikan kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berfungsi untuk
membina kesadaran warga Negara dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai
dengan jira dan nilai konstitusi yang berlaku (UUD 1945).Dalam penjelasan pasal
37 (2) UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang system pendidikan nasional, ditegaskan
bahwa pendidikan kewarganegaraan, dimasukkan untuk membentuk peserta didik
menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Sebagai program
pendidikan.
Menurut para ahli
·
Azyumardi Azra:
“Pendidikan
kewarganegaraan adalah pendidikan yang mengkaji dan membahas tentang
pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, HAM, hak dan kewajiban
warganegara serta proses demokrasi.”
·
Pendidikan demokrasi
menyangkut: Sosialisasi; Diseminasi dan aktualisasi konsep; Sistem; Nilai;
Budaya; dan Praktek demokrasi melalui pendidikan.
·
Pendidikan HAM mengandung
pengertian,
“sebagai aktivitas mentransformasikan nilai-nilai HAM agar tumbuh kesadaran akan penghormatan, perlindungan dan penjaminan HAM sebagai sesuatu yang kodrati dan dimiliki setiap manusia”.
·
Zamroni:
“Pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis.”
“Pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis.”
·
Merphin Panjaitan:
“Pendidikan kewarganegaraan
adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mendidik generasi muda menjadi
warganegara yang demokratis dan partisipatif melalui suatu pendidikan yang
dialogial.”
·
Soedijarto:
“Pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan politik yang bertujuan untuk membantu peserta didik untuk menjadi warganegara yang secara politik dewasa dan ikut serta membangun sistem politik yang demokratis.”
“Pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan politik yang bertujuan untuk membantu peserta didik untuk menjadi warganegara yang secara politik dewasa dan ikut serta membangun sistem politik yang demokratis.”
Berdasarkan
pengertian diatas dapat ditegaskan bahwa program pendidikan kewarganegaraan,
menekankan pada kompetensi (kemampuan ) peserta didik (subjek belajar) untuk
memiliki wawasan , kebangsaan dan cinta tanah air. Kompetensi merupakan
panggilan kontitusi dan ketentuan perundangan yang harus di realisasi dalam
praktik dan kinerja pendidikan dan pengajaran tidak hanya bagi mahasiswa
perguruan tinggi , namun siswa di sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) , siswa
di sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), dan anak-anak sekolah dasar (SD).
Sebagai
progam pendidikan , pendidikan kewarganegaraan tergolong dalam mata kuliah yang
strategis dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia ,
disamping dua mata kuliah yang lain , yakni Pendidikan Pancasila dan Pendidikan
Agama . Pendidikan Kewarganegaraan mengemban misi dalam mempersiapkan bangsa
Indonesia yang tangguh dalam mengatasi ancaman , tantangan , dan ganggungan
(ATHG) yang berpengaruh pada eksistensi pada dirinya.
Kompetensi yang demikian mesti diimbangi
dengan kemampuan berpikir ke arah pemahaman dan pengalaman jiwa dan nilai-nilai
ajaran agama yang diyakini oleh masing-masing pribadi bangsa Indonesia.
Pendidikan
kewarganegaraan termasuk pendidikan untuk menjadi educational for becoming ,
yang menekankan garapannya pada upaya pemnentukan manusia yaknio mahasiswa yang
memiliki kesadaran dalam melaksanakan hak dan kewajibannya , terutama kesadaran
atas akan wawasan nasional dan pertahanan keamanan nasional . Secara
demikian progam pendidikan
kewarganegaraan dalam pelaksanaanya mengharuskan perhatian yang seksama bagi
penggunanya dengan pemikiran yang cermat diharapkan proses pembelajaran
pendidikan kewarganegaraan mampu mencapai misi yang telah ditetapkan.
Demikian pentingtugas yang harus dilaksanakan
oleh mata kuliah pendidikan kewarganegaraan, maka penyelenggaraannya
mengharuskan adanya persamaan persepsi diantara dosen Pembina baik terhadap
eksistensi (keberadaan) mata kuliah maupun cara dalam pengambilan keputusan
dalam proses pembelajaran mahasiswa terhadap materi mata kuliah pendidikan
kewarganegaraan.
B.Tujuan
Pendidikan Kewarganegaraan
Secara programatik, pendidikan
kewarganegaraan ditujukan pada garapan akhir yaitu pembentukkan warga negara
yang baik sesuai dengan jiwa dan nilai pancasila dan UUD 1945. Tujuan utama pendidikan kewarganegaraan adalah untuk membangun dan
menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, sikap serta perilaku yang
mencintai tanah air dan bersendikan kebudayaan bangsa, wawasan nusantara, serta
ketahanan nasional dalam diri para calon-calon penerus bangsa yang sedang dan
mengkaji dan akan menguasai ilmu pengetahuaan dan teknologi serta seni (Muchji, Achmad dkk, 2007).
Ada
beberapa pendapat menurut para ahli :
· Djahiri (1994/1995:10)
adalah sebagai berikut:
a. Secara umum. Tujuan PKn harus ajeg dan mendukung keberhasilan pencapaian Pendidikan Nasional, yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki kemampuan pengetahuann dan keterampilan, kesehatan jasmani, dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”
b. Secara khusus. Tujuan PKn yaitu membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perseorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran pendapat ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.
·
Sapriya (2001), tujuan pendidikan Kewarganegaraan adalah:
Partisipasi yang penuh nalar dan tanggung jawab dalam kehidupan politik dari warga negara yang taat kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar demokrasi konstitusional Indonesia. Partisipasi warga negara yang efektif dan penuh tanggung jawab memerlukan penguasaan seperangkat ilmu pengetahuan dan keterampilan intelektual serta keterampilan untuk berperan serta. Partisipasi yang efektif dan bertanggung jawab itu pun ditingkatkan lebih lanjut melalui pengembangan disposisi atau watak-watak tertentu yang meningkatkan kemampuan individu berperan serta dalam proses politik dan mendukung berfungsinya sistem politik yang sehat serta perbaikan masyarakat.
Partisipasi yang penuh nalar dan tanggung jawab dalam kehidupan politik dari warga negara yang taat kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar demokrasi konstitusional Indonesia. Partisipasi warga negara yang efektif dan penuh tanggung jawab memerlukan penguasaan seperangkat ilmu pengetahuan dan keterampilan intelektual serta keterampilan untuk berperan serta. Partisipasi yang efektif dan bertanggung jawab itu pun ditingkatkan lebih lanjut melalui pengembangan disposisi atau watak-watak tertentu yang meningkatkan kemampuan individu berperan serta dalam proses politik dan mendukung berfungsinya sistem politik yang sehat serta perbaikan masyarakat.
Rasionalnya, bahwa
pancasila UUD 1945 ditempatkan sebagai norma dan para metrik kehidupan nasional
indonesia dalam wadah NKRI. Di tinjau dari cara kerjanya yang bergerak dalam
lingkungan pendidikan, pendidikan kwarganegaraan bertujuan membentuk kualiatas
kepribadian bagi warga negara baik.
Kriteria warga negara yang baik dapat di
gali dari beberapa kualitas kepribadian sebagai perwujuda dari potensi yang
melekat pada diri seseorang warga negara. Stanley E.Dimond (1970), memberikan deskripsi kualitas kepribadian
warga negara yang baik, meliputi beberapa atribut (1) loyal ; (2) orang yang
selalu belajar ; (3) seorang pemikir ; (4) bersikap demokratis ; (5) gemar
melakukan tindakan kemanusian ; (6) pandai mengatur diri ;(7) seorang
pelaksana.
Disamping itu Nasional Council For The
Social Studies (NCSS), memberikan tujuan civic education (pendidikan kewarganegaraan), dengan rumusan
“ .....civic education today seeks create citizens who are infromated analitic,
commited to democratic values, and actively involved in society (ROBINSON,
1967).Ada tiga target dari rumusan tujuan itu yang bisa mengantarkan warga
negara memiliki kualitas pribadi, yakni (1) warga negara yang terinformasi ;
(2) bersikap analitis; (3) melaksanakan nilai demokrasi dan aktif dalam
kehidupan masyarakat. Menurut
Branson (1999:7) tujuan civic education adalah partisipasi yang bermutu dan
bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik tingkat lokal,
negara bagian, maupun nasional. Tujuan pembelajaran PKn
dalam Depdiknas (2006:49) adalah untuk memberikan kompetensi sebagai berikut:
a.
Berpikir
kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu Kewarganegaraan.
b.
Berpartisipasi
secara cerdas dan tanggung jawab, serta bertindak secara sadar dalam kegiatan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
c.
Berkembang secara
positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter
masyarakat di Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.
d.
Berinteraksi
dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Warga
negara yang terinformasi, hendaknya memiliki kualitas kepribadian dalam
beberapa hal, yaitu :
a)
Memiliki pengetahuan dan kecakapan
memecahkan masalah
b)
Memiliki kesadaran akan peranan ilmu
npengrtahuann kontenporer.
c)
Memiliki kesiapan terhadap efektifitas
kehidupan ekonomo.
Warga negara bersikap analitis, paling
tidak memiliki
kualitas dalam hal:
a)
Kemampuan mengambil keputusan nilai
terhadap dunia yang senantiasa berubah.
b)
Penerimaan terhadap faktor baru, gagasan
baru dan cara hidup baru.
Sedangkan warganegara
yang mampu melaksanakan nilai demokrasi
dan aktif dalam kehidupan masyarakat, di harapkan memiliki kualitas
kepribadain, antara lain:
Partisipasi
dalam pembuatan keputusan.
a)
Meyakini akan asas persamaan dan kebebasan.
b)
Menumbuhkan kebanggaan nasional dan
kerja sama inter nasional.
c)
Menumbuhkan seni kreatif dan perasaan
humanistis.
d)
Memiliki perasaan kemanusiaan terhadap
sesama warga negara.
e)
Pengembangan dan aplikasi prinsip
demokrasi.
Senada dengan itu, Cogan 1998 menegaskan bahwa
warga negara yang baik harus memiliki kemampuan untuk.
1. Menjawab
tantangan global.
2. Bekerja
sama dengan orang lain.
3. Menerima
dan tileransi terhadap perbrdaan budaya.
4. Berfikir
kritis dan sistematis.
5. Menyelesaikan
konflik antara kekerasan.
6. Mengubah
gaya hidup konsuntif guna me;indungi lingkungan.
7. Kepekaan
terhadap hal asasi manusia.
8. Partisipasi
dalam pemerintahan lokal, nasional dan global.
Bertolak
dari tujuan civic education di atas, maka tujuan pendidikan kewarganegaraan di
indonesia hendaknya selalu mengacu terhadap tujuan pendidikan nasional
sebagaiman yang telah di isyaratkan oleh UU NO 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional
Dalam
penjelasan pasal 37 UU NO 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
ditegaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan, dim aksudkan untuk membentuk
peserta didik menjadi mansusia yang memiliki rasa kebangsan dan cinta tanah
air. Sebagai program pendidikan, pendidikan kewarganegaraan tergolong dalam
mata kuliah yang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara indonesia
disamping dua mata kuliah yang lain yakni pendidikan pancasila dan pendidikan
agama. Kopetensi yang demikian mesti di imbangi dengan kemampuan berpikir ke
arah pemahaman dan pengalaman jiwa dan nilai pancasila dan pengenalan nilai
ajaran agama yang di yakini oleh masing-masing pribadi bangsa indonesia.
Target
pendidikan warga negara dalam perangka sistem pendidikan nasional dipusatkan
pada redibilitas kepribadian warga negara dan mampu berpartisipasi dalam
kehidupan bernegara, berbangsa dan bermsyarakat indonesia menurut kriteria
konstitusi. Pendidikan kewarganegaraan juga bertujuan untuk memperluas wawasan
dan menumbuhkan kesadaran warga negara, sikap serta perilaku cinta tanah air,
yang bersendikan pada kebudayaan bangsa, wawasan nusantara dan ketahanan
nasional. Secara demikian, warga negara diharapkan memiliki kemampuan untuk
memahami, menganalisis dan memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat,
bangsa dan negara secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita
nasional sebagai mana digariskan dalam pembukaan UUD 1945.
C.Embrio
Materi
Kewarganegaraan
Beranalog dengan konsep dan tujuan
pendidikan kewarganegaraan diatas , maka embrio materi pendidikan
kewarganegaraan , adalah berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara dan
negara. Analisis materi tersebut hendaknya dilakukan melalui dua kajian.
Pertama, dengan kajian kronologis yang meliputi: pengertian hak dan kewajiban,
latar belakang timbulnya hak dan kewajiban, pelaksanaannya dan hambatan yang
timbul dan pelaksanaan hak dan kewajiban. Kedua, melalui kajian bidang
kehidupan, yang meliputi hak dan kewajiban warga negara dalam bidang ideologi,
politik,sosial –budaya dan pertahanan keamanan.
Perpaduan
antara materi kajian kronologis
hak dan kewajiban dengan kajian bidang kehidupan warga negara hendaknya selalu dimaknai
dalam konteks bernegara. Itulah sebabnya, analisis hak dan kewajiban sebagai
materi pendidikan kewarganegaraan hendaknya bisa diartikan sebagai materi
hubungan ketika warga negara hendak mengadakan hubungan dengan organisasi
negaranya. Dalam kaitan ini, kajian terhadap hak dan kewajiban warga negara
berikut juga hak dan kewajiban negara, lebih dipusatkan pada upaya memberikan
informasi tentang potensi apa yang dimiliki warga negara dan negara, dan apa
yang harus dilakukan oleh keduanya.Selanjutnya, kajian hak dan kewajiban warga
negara dan negara, diharapkan mampu mengantarkan keduanya menjalin hubungan
secara wajar, demokratis, transparan, jujur serta adil. Sedangkan kajian
terhadap bidang – bidang kehidupan warga negara, dapat digunakan sebagai upaya
pembuktian apakah hak dan kewajiban mereka telah ditampakkan dalam hubungan
dialogis dengan negara secara wajar, demokratis, transparan,jujur serta adil.
Embrio
materi hak dan kewajiban dalam pendidikan kewarganegaraan sudah seharusnya
dikembangkan secara luas dan mendalam, agar mampu memberikan wawasan warga
neagara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
D.Paradigma
Baru Pendidikan Kewarganegaraan
Paradigma
adalah kerangka berfikir sistematis yang digunakan sebagai kerangka bertindak.
Ada tiga paradigma baru bagi pendidikan kewarganegaraan, yang secara singkat
dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1.Paradigma
ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi
Dunia memang selalu berubah seirama dengan perubahan
masyarakat global.Bersamaan dengan itu, ideology dunia juga merambah dikawasan
global yang siap menyebarkan virus perubahannya keseluruh penjuru dunia yang
meliputi seluruh aspek kehidupan. Perkembangan informasi dan globalisasi adalah
sebuah realitas, tak ada satu bangsa didunia ini yang mampu menolaknya.Dalam
kaitan ini, sebuah bangsa harus memiliki kecermatan dan ketegaran dalam menatap
kehidupan global dan tuntutan dunia yang tidak kenal batas itu. Membangun
sebuah pendirian nasional, ketika isu – isu global itu mulai ditawarkan,
menjadi keperluan yang sangat mendesak bagi bangsa Indonesia, agar jati diri
bangsa tidak terhempas angin dan terkikis oleh arus global. Pendidikan yang
berbasis pada nilai luhur bangsa Indonesia, sebagaimana terkristal dalam
pancasila, hendaknya dijadikan komitmen bangsa yang mencerminkan identitas
nasional.
Sebagai
warga dunia, setiap warga Negara dan bangsa (termasuk Indonesia) hendaknya
mampu berfikir kritis terhadap kemajuan dunia, agar mereka selalu memiliki
pandangan dunia secara mantap dan tidak ketinggalan oleh kemajuan bangsa lain.
Namun demikian, perspektif global juga tidak lepas dengan sebuah paradox yang
kadang bisa membingungkan masyarakat dunia. Dalam rangka ini, kematangan
pendirian sebuah bangsa menjadi penting, karena dengan itu, suatu bangsa akan
mampu melakukan pilihan secara rasional terhadap apa yang sedang muncul sebagai
‘gebyar jaman’ (dunia).
2.Paradigma
Reformasi
Perguliran
reformasi “total” tahun 1998 , terfokus pada 4 agenda besar :
Demokratisasi 2) Supremasi hukum 3) Penghormatan HAM 4)
Pembentukan masyarakat kesederajatan dalam format chivil society. Reformasi
harus di beri energi dengan berbasis nilai luhur bangsa Indonesia yang telah
dijadikan sebagai kepribadian, moral , falsafah pemersatu bangsa dan perjanjian
luhur bangsa dalam mendirikan Negara . Itulah sebabnya, pendidikan
kewarganegaraan tidak bisa ditawar untuk mengandaikan pancasila tersebut ,
justru bagaimana mevitalisasi posisi pancasila dalam kerangka pendidikan
nasional dan pendidikan kewarganegaraan . Pendidikan kewarganegaraan,tidak
boleh dijadikan mata pelajaran “termajinalisasi” sehingga cenderung tidak
popular di mata subyek belajar(siswa/mahasiswa).Di Indonesia, kata Reformasi umumnya merujuk pada gerakan mahasiswa pada tahun1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau era setelah Orde baru. Kendati demikan, Kata Reformasi sendiri pertama-tama muncul dari gerakan pembaruan di kalangan Gereja Kristen di Eropa Barat pada abad ke-16,yang dipimpin oleh Marti luther, Ulrich Zwingli, Yohanes Calvin, dll. Reformasi adalah mengembalikan tatanan kenegaraan kearah sumber nilai yang merupakan platform kehidupan bersama bangsa Indonesia, yang selama ini diselewengakan demi kekuasaan sekelompok orang, baik pada masa orde lama maupun orde baru. Proses reformasi harus memiliki platform dan sumber nilai yang jelas dan merupakan arah, tujuan, serta cita-cita yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sebagaimana tujuan awal ideal para pendiri bangsa terdahulu. Suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat:
- Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan- penyimpangan. Masa pemerintahan Orba banyak terjadi suatu penyimpangan misalnya asas kekeluargaan menjadi “nepotisme”, kolusi dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan semangat UUD 1945.
- Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasar pada suatu kerangka struktural tertentu, dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa dan Negara Indonesia. Jadi reformasi pada prinsipnya suatu gerakan untuk mengembalikan kepada dasar nilai- nilai sebagaimana yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia.
- Gerakan reformasi akan mengembalikan pada dasar serta sistem Negara demokrasi, bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat, sebagaimana terkandung dalam pasal 1 ayat (2). Reformasi harus melakukan perubahan kea rah sistem Negara hukum dalam penjelasan UUD 1945, yaitu harus adanya perlindungan hak-hak asasi manusia, peradilan yang bebas dari penguasa, serta legalitas dalam arti hukum. Oleh karena itu reformasi sendiri harus berdasarkan pada kerangka dan kepastian hukum yang jelas.
- Reformasi dilakukan kearah suatu perubahan kearah kondisi serta keadaan yang lebih baik, perubahan yang dilakukan dalam reformasi harus mengarah pada suatu kondisi kehidupan rakyat yang lebih baik dalam segala aspek, antara lain bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, serta kehidupan keagamaan.
- Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etika sebagai manusia yang berketuhanan bangsa Indonesia.
3.
Paradigma Nation and Character Building
Sejak Indonesia berdir, hari ini dan kedepan,
pembangunan karakter bangsa selalu ditempatkan sebagai prioritas utama.Betapa
tidak? Potensi karakter bangsa merupakan modal social yang tidak bias
diminimalkan oleh kepentingan yang bersifat material.Kiranya bukan tanpa alas an,
kredibilitas moral dan karakter bangsa akan menentukan dan sekaligus menjadi
‘taruhan’ bangsa ketika bangsa Indonesia memasuki
peraturan global.
Dalam
masa transisi atau proses perjalanan menuju format baru dalam bentuk masyarakat
madani, pendidikan kewarganegaraan sebagai salah satu mata pelajarandi dunia
persekolahan (baca:SD/MI,SMP/MTs dan SMA/MA) dan dunia perguruan tinggi,harus
mampu menjadi ‘pengawal’ moral dan karakter bangsa Indonesia selaras dengan
tuntutan dunia yang selalu berubah. Proses pembangunan karakter bangsa yang
sejak proklamasi kemerdekaan RI hendaknya selalu menjadi prioritas, perlu
direvitalisasi dan diselenggarakan sesuai dengan arah dan panggilan jiwa
konstitusi.
Tugas
PKN dengan paradigma barunya mengemban tiga fungsi pokok, yakni
mengembangkan kecerdasan warga Negara dan mendorong partisipasi warga Negara.
Dalam rangka ini, praktik belajar kewarganegaraan hendaknya diberi tekanan dan
nuansa selalu menggambarkan ‘gerakan social budayakewarganegaraan’ yang
berbasis pada nilai-nilai pancasila.
E.Pendekatan Pendidikan Kewarganegaraan
Berdasarkan
embrio materi dan tujuan yang telah dijabarkan di atas, maka pendidikan
kewarganegaraan memerlukan pendekatan yang jelas. Beberapa pendekatan yang
digunakan dalam pendidikan kewarganegaraan tidak bias dipisahkan dengan
orientasi garapan akhirnya, yakni dalam membina kepribadian warga Negara yang
baik dan bertanggung jawab sesuai dengan criteria konstitusi.
1.Pendekatan
Yuridis
Pendekatan ini mengantarkan warga
negara untuk memahami norma-norma formal yang selanjutnya dengan norma itu, akan memiliki sikap
loyal terhadap konstitusi. Patut saudara catat, bahwa UUD 1945 sebagai hukum
dasar yang tertinggi di negara indonesia yang di dalamnya memuat hak-hak
kebebasan individu (warga negara),
seyogyanya digunakan sebagai rujukan norma dalam kehidupan warga negara
indonesia.
Penempatan posisi UUD 1945 tersebut sangat logis, karena dalam
undang-undang dasar itu telah dijiwai oleh nilai-nilai pancasila, yang secara
yuridis yang digunakan sebagai sumber dari segala sumber hukum di indonesia.
Kedudukan pancasila sebagai Dasar negara, juga terefleksikan ke dalam
konstitusi negara indonesia,yang memiliki kekuatan bagi seluruh warga negara indonesia.
Dengan demikian, tindakan warga
negara indonesia dalam melaksanakan hak dan kewajibannya hanya bisa di benarkan
sepanjang sesuai dengan norma-norma formal sebagaimana dituangkan dalam ‘aturan
main’ konstitusi (UUD 1945) dan peraturan –peraturan yang bersumber pada UUD
1945 itu. Dengan pendekatan in, warga negara diharapkan mampu memahami proses
politik, perbedaan antara praktik politik dan teori politik serta mampu
mencocokan kebijakan politik yang di ambil oleh pemerintah (negara) dengan jiwa
konstitusi yang digunakan.
2.Pendekatan Struktural Fungsional
Pemikiran yang melatari pendekatan ini dapat
dielaborasi dari tradisi teori sosiologi, antara lain yang dikembangkan oleh
Emile Durkheim, Vilfredo Pareto, Parsons dan Merton. Dalam tradisi structural
fungsional, masyarakat dipandang sebagai suatu system yang didalamnya memiliki
bagian yang saling berhubungan(Ritzer,1985).Sementara itu, system social harus
dipahami atas dasar pentingnya keseimbangan antara bagian dalam sebuah system
tadi.
Titik
sentral pendekatan structural fungsional, memberikan perhatian utama pada
keteraturan, meredam konflik,mengandalkan consensus, mempertahankan pola
keseimbangan dan mengagungkan fungsi.Talcott Parsons (dalam Hoogevelt,1985),
dalam melakukan analisis system masyarakat memperkanalkan adanya empat
sub-sistem dari system umum tindakan manusia,yaitu:organisme,personalitas,
system social dan system cultural.Keempat sub-sistem tindakan manusia itu
dilihat sebagai susunan mekanis yang saling berkaitan dan menunjukkan tata
urutan yang bersifat sibernetik yang masing-masing memiliki fungsi.Organisme
memiliki fungsi adaptasi;personalitas berfungsi untuk pencapaian tujuan;system
social memiliki fungsi integrasi dan system cultural berperan sebagai fungsi
latensi untuk mempertahankan pola dan norma kehidupan.Senada dengan itu, Robert
K.Merton(dalam soekanto,1989),melatari pemikirannya pada beberapa hal sebagai
berikut:
1.
Struktur
system social senantiasa memiliki fungsi agar mampu mempertahankan kestabilan;
2.
Semakin
besar perhatian kepada fungsi,semakin besar kemungkinan hidupnya sebuah system
social.Lebih lanjut, Merton mewanti wanti, bahwa fungsi social yang dinyatakan
secara Nampak,seringkali mengalami disfungsi, lantaran kurangnya perhatian
terhadap fungsiterselubung.
Dalam pendidikan Kewarganegaraan,pendekatan structural-fungsional
diproyeksikan dalam menganalisis nilai fungsional terhadap system politik yang
digunakan sebagai wacana demokrasi.Sukarna (1981), menegaskan bahwa sebuah
system politik memiliki fungsi, antara lain:
1.Mengembangkan aturan umum dan kebijaksanaan untuk
mempertahankan ketertiban dan memenuhi tuntutan yang harus dilaksanakan secara
wajar.
2.Merumuskan kepentingan rakyat
3.Pemilihan pemimpin atau pejabat pembuat keputusan.
Setiap
system politik, bagaimanapun juga, harus
Merumuskan kepentingan dasar dalam mempersatukan warga Negara. Hal ini
mengandung makna bahwa hak dasar warga Negara harus diakui sebagai sebuah
potensi individual yang pada gilirannya akan diapresiasikan dalam menjaring
kewajiban yang harus mereka lakukan.Secara demikian,sosialisasi politik
yang bersumber pada hak dan kewajiban
warga Negara tidak bias ditawar lagi, agar setiap warga Negara menyadari hak
yang disandang dan kewajiban yang harus diemban dalam proses politik negaranya.
Pemikiran
ini sangat relevan dengan program pendidikan kewarganegaraan terutama tentang
pembinaan warga Negara,agar mampu berpartisipasi dalam membentuk bangunan
struktur politik (baca;antara:parpol,DPR/MPR,Presiden serta institusi
lain),sebagai komponen system politik Negara.Tindakan warga Negara dalam
melaksanakan hak dan kewajiban hendaknya dianggap sebagai sebuah fakta social
yang harus diintegrasikan dengan gerak system politik yang ada.Hal ini berarti
dalam membangun sebuah struktur politik pemerintahan demokrasi, pemilihan
pemimpin politik (pemerintah Negara) tidak saja ditentukan oleh organisasi
politik dan lembaga resmi Negara, akan tetapi suara pemilih atau rakyat juga
memegang peranan yang sangat penting.
3.Pendekatan
etika-moral
Pendekatan ini dibangun dari sebuah paradigma definisi
social dan perilaku social yang banyak digali dari tradisi Waber dan Skiner
(Ritzer,1980). Waber, dalam menganalisis tindakan social menemukan lima cirri
pokok yang menjadi sasaran kajiannya:
1.
Tindakan
social menurut Si actor mengandung makna subyektif
2.
Tindakan
nyata maupun yang bersifat membatin, sepenuhnya bersifat subyektif
3.
Tindakan
itu harus mempunyai pengaruh positif yang dapat diulang-ulang yang muncul
sebagai bentuk persetujuan
4.
Tindakan
itu diarahkan kepada seseorang atau beberapa individu
5.
Tindakan
itu harus memperhatikan orang lain dan terarah kepada orang lain. Sementara
itu, Skiner (sebagai tokoh paradigma perilaku social), mencoba menerjemahkan
prinsip psikologi behavioris kedalam ilmu social terutama sosiologi.
Menurutnya, obyek sosiologi bersifat konkrit-realistis dalam bentuk perilaku manusiadan kemungkinan
pengulangannya yang dipusatkan pada perilaku individu terhadap lingkungannya
baik berupa obyek social maupun non-sosial.
Di samping itu,
banyak tokoh lain yang memiliki komitmen dengan persoalan tindakan social dan
perilaku social ini.Virginia Held (1989), menegaskan bahwa pendekatan ‘etika
moral’ justru digunakan sebagai wacana pembenar terhadap tindakan social.Dia
memerinci bahwa tindakan social itu harus mencakup substansi,antara lain:
1.
Hak-hak
atas kebebasan yang sama
2.
Perlunya
pengalaman moral bagi seseorang
3.
Dasar-dasar
adanya kepercayaan social
4.
Adanya
praktik penyelidikan moral.
Sementara itu,
Poedjawijatna (1984) menyebut ‘etika’ sebagai perwujudan dari filsafat tingkah
laku manusia.Bahkan secara eksplisit dia menegaskan bahwa yang dijadikan objek
etika adalah berkaitan dengan tindakan manusia, yang muncul sebagai wujud
kesadaran etis (moral). Dari sini dapat ditangkap bahwa tindakan moral bukan bebas
nilai karena muncul dari kesadaran manusia.Oleh sebab itu tindakan manusia itu
bias berwujud tindakan baik-buruk, tindakan wajib,tindakan netral serta
tindakan yang bertanggung jawab.
Secara logika,
munculnya tindakan moral tidak bias dipisahkan dengan argumen moral. Vloemans
& Jolivet (dalam Cahyoto, 1993) menegaskan bahwa logika merupakan ilmu
berpikir yang tepat dan hanya bisa dibahas atau dibicarakan jika ada pemikiran
dan perkataan dalam bentuk bahasa. Argumentasi moral adalah uraian yang membahas
pengembangan moral dengan cara menurut (menurut cara logika) yang didukung oleh
fakta dan bukti, sehingga dapat dihindari adanya kekeliruan berpikir.
Dalam kaitan
itu, Bertens (1993) menegaskan bahwa argumentasi moral merupakan unsure keempat
dalam proses terbentuknya pertimbangan moral: sesudah ketiga unsure yang lain
yaitu: sikap awal, informasi moral dan norma moral. Sejalan dengan itu, Jacob
Bronowski(dalam Haricahyono,1995). Menegaskan bahwa kualitas tindakan moral
akan dibentuk oleh seberapa besar perhatian actor terhadap suatu objek moral
dan terbentuknya pertimbangan moral.
Dengan
menggunakan pendekatan ‘etika moral’ pendidikan kewarganegaraan, menempatkan
tindakan social warga Negara hendaknya diberi penjelasan berdasarkan proses
terbentuknya pertimbangan moral. Dengan pendekatan ini, pelaksanaan hak dan
kewajiban oleh warga Negara Indonesia hendaknya diartikan sebagai sebuah
kristalisasi tindakan moral yang diproses melalui pertimbangan moral dengan
menggunakan bahan informasi moral
Pancasila dan UUD 1945 sebagai etika nasional bangsa Indonesia. Etika nasional
ini digunakan sebagai ‘parametrik’ apakah tindakan moral warga Negara Indonesia
dapat dibenarkan atau ditolak, sehingga menggambarkan baik dan buruknya
tindakan yang dilakukan.
Sebuah contoh,
apakah tindakan moral seorang pemilih dalam pemilihan umum, menyoblos dengan
benar atau memilih sebagai golongan putih, kiranya harus menggambarkan
kristalisasi pilihan moral yang diambil dan diwujudkan dalam tindakan mereka.
Contoh lain, apakah semaraknya peristiwa ‘unjuk rasa’ yang dilakukan oleh
sekelompok mahasiswa dan pemuda Indonesia dalam menuntut terwujudnya cita-cita
reformasi, yang misalnya disertai dengan perusakan fasilitas umum dan bentrok
massa dengan aparat keamanan sehingga memakan korban jiwa, dapat digunakan
sebagai sebuah wacana pencerminan tindakan moral? Hal demikian, memerlukan
analisis kritis bagi saudara dengan memanfaatkan informasi ilmu perilaku,
misalnya psikologi social, sosiologi dan antropologi.
4.Pendekatan
Psikologis-Pedagogis
Pendekatan ini lebih menekankan pada latar dunia
belajar dan lingkungan dimana peserta didik melakukan kegiatan itu.Pendekatan
‘psikologis-pedagogis’ diartikan sebagai pendekatan yang dilakukan dengan
mempertimbangkan tingkat perkembangan kejiwaan peserta didik yang dikaitkan
dengan jenjang pendidikan yang mereka ikuti.
Secara
makro, materi Pendidikan Kewarganegaraan, banyak berkaitan dengan fakta, konsep
dan generalisasi, yang kesemuanya senantiasa merujuk pada hak dan kewajiban
(sebagai embrio materi Pendidikan Kewarganegaraan) yang telah kita bicarakan di
atas.”Trio” materi ini hendaknya diberikan pada setiap jenjang pendidikan, baik
pada jenjang pendidikan dasar, menengah maupun perguruan tinggi. Topik kajian
dan bobot materi yang dibicarakan bisa berbeda, ketika kajian itu dikaitkan
dengan kondisi kejiwaan peserta didik dan aspek garapan yang menjadi target
serta karakteristik masing-masing jenjang pendidikan yang ada.Dengan kata lain,
pembelajaran hak dan kewajiban yang dicerminkan dalam bentuk fakta, konsep dan
generalisasi selalu digunakan analisis dengan mempertimbangkan tingkat
jangkauan, luas dan kedalaman materi dan urutan pemberiannya yang relevan
dengan jenjang pendidikan.
Aplikasi
pendekatan psikologis-paedagogis dalam Pendidikan Kewarganegaraan,dapat
digambarkan sebagai berikut :
PT
|
GENERALISASI
|
Pengetahuan
|
PM
|
KONSEP
|
keterampilan
|
PD
|
FAKTA
|
Sikap
|
|
Materi
|
|
Jenjang Pendidikan Dasar,oreintasi garapanya ditekankan pada aspek sikap
(tanpa meninggalkan kedua aspek yang lain,yaitu keterampilan dan aspek pengetahuan).Materi
yang digunakan banyak berkaitan dengan ‘fakta’,yaitu berkaitan dengan
penggalian kasus atau peristiwa serta pengalaman emperik peserta didik sebagai
realitas kehidupan.Penyajian fakta ini hendaknya memiliki signifikandengan
tingkat perkembangan moral peserta didik,sehingga mereka akan lebih mudah
menginternalisasi bahan ajar Penddidikan Kewarganegaraan dalam proses
pembelajaran di sekolah.
Jenjang Pendidikan Menengah,lebih banyak berorientasi pada aspek pemahaman/keterampilan
(tanpa mengesampingkan kedua aspek yang lain,yakni aspek sikap dan aspek
pengetahuan).Tingkat pekembangan moral usia jenjang pendidikan menengah lebih
banyak menuntut bagaimana peserta didik terampil melakuakan suatu tindakan
moral yang diawali dengan melakukan pertimbangan moral yang damereka tetapkan.Untuk memahami hal
itu,diperlukan materi yang berkaitan dengan konsep,yang di dalamnya selalu
mengandung pengertian.Kerangka penemuan atau pencapaian konsep (concept
attainment) dapat dilakuakn dengan cara dialog mendalam (deep dialoque) dan
tentunya mengandalkan pada motivasi peserta didik untuk berpikir kritis
(critical thingking)Sebagai contoh,peserta didik tidak akan mampu melaksanakan
pemilihan pengurus Senat Mahasiswa atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
atau Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ)
dengan demokratis,jika mereka tidak mengetahui makna dan karakteristik perilaku
demokratis.Untuk mewujudkan perilaku demokratis ,seharusnya mengundang dialog
secara mendalam dan dilandasi oleh cara cara berpikir kritis.
Jenjang Pendidikan Tinggi,lebih banyak menggarap aspek pengetahuan (dengan tetap
tidak meniggalkan kedua aspek yang lain: aspek sikap dan keterampilan) dengan
focus pada materi generalisasi,yaitu,kerangka pengambilan kesimpulan dan
formulasi dalil/ketentuan serta bagaiman solusi pemikiran,pendapat dan tindakan
ditetapkan/dilakukan.Prosedur kognisi,lebih banyak diorentasikan agar peserta
didik mampu berpikir kritis (baik secara induktif,deduktif maupun
keduanya),yang pada giliranya akan mampu mengambil kesimpulan yang bersifat
rasional.Hal ini diselaraskan dengan karakteristik pendidikan tinggi sebagai
lembaga ilmiah dan kampus sebagai masrakat ilmiah.
Penetapan
rangkaian materi Pendidikan Kewarganegaraan yang menyangkut fakta,konsep dan
generalisasi dalam pendekatan ‘psikologis-paedagigis’dapat dicontohkan sebai
berikut :
(1) Fakta:
pengumpulan massa
dan kemudian turun ke jalan (long march) dengan membawa spanduk yang
bertuliskan tuntutan tertentu serta dengan yel-yel tertentu;
(2) Konsep: peristiwa tadi mengandung konsep demontrasi atau
unjuk rasa;
(3) Generalisasi: setiap warga Negara berhak berkumpul dan mengeluarkan
pikiran dengan lisan maupun tulisan.
Kiranya
masih banyak contoh lain yang bisa saudara inventarisasi dalam pemetaan materi
Pendidikan Kewarganegaraan, terutama jika dikaitakan dengan aspek aspek
kehidupan warga Negara yang sejajar dengan hak dan kewajiban.
Pemisahan
ketiga aspek garapan dan muatan materi Pendidikan Kewarganegaraan yang
diberikan dalam setiap jenjang pendidikan yang ada,tidak harus disikapi secara
ekstrem/absolut.Karena ketiga garapan itu saling berhubungan dan saling
mengisi.Perbedaan yang tampak,semata mata didasarkan pada pebedaan tingkat
perkembangan psikologis yang melekat pada masing masing individu peserta didik
terkait dengan jenjang pendidikan yang alami.
good job
BalasHapusDaftar Pustaka untuk hlaman ini mana ka
BalasHapusSangat membantu
BalasHapus