Senin, 22 Juni 2015

“BUDAYA POLITIK, BUDAYA DEMOKRASI dan CIVIL SOCIETY”

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Demokrasi merupakan sarana guna terciptanya partisipasi politik masyarakat secara luas. Negara adalah pusat kekuasaan, kewenangan dan kebijakan untuk mengatur (mengelola) alokasi barang-barang (sumberdaya) publik pada masyarakat. Masyarakat sendiri terdapat hak sipil dan politik, kekuatan massa, kebutuhan hidup, dan lain-lain. Banyak aliran pikiran yang mengatasnamakan demokrasi, tetapi ada dua aliran penting yaitu demokrasi konstitusional dan satu kelompok yang mengatasnamakan dirinya “demokrasi” tetapi yang pada hakikatnya mendasarkan dirinya atas komunisme. Kedua kelompok aliran demokrasi mula – mula berasal dari Eropa, tetapi sesudah perang dunia ke II juga didukung oleh Negara-Negara baru di Asia. Indonesia, Pakistan, dan Indonesia mencita-citakan demokrasi konstitusional, sekalipun terdapat bermacam-macam bentuk pemerintahan maupun gaya hidup di dalam negara-negara tersebut. Demokrasi yang dianut Indonesia yaitu demokrasi yang berdasarkan Pancasila. Upaya pencarian model demokrasi merupakan sebuah proses yang berlangsung terus – menerus, dan di dalam proses terjadinya, melalui sejumlah pergumulan dan dialikta. Bagi Indonesia yang memiliki sejumlah realitas geo – politik dan geo – strategi yang khas, maka model demokrasi yang diterapkan hendaknya meminimalisasi kontradiksi. Pilihan Negara Indonesia terhadap demokrasi menempatkanya sebagai “the only game in town” justru ditengah – tengah geo politik masyarakat yang plural. Demokrasi di Indonesia mewadahi corak pluralisme bangsa. Demokrasi memang memberikan tempat bagi kekuasaan kaum mayoritas tetapi kekuasaan tidak boleh digunakan secara mutlak dan memberangus hak – hak kaum minoritas. Demokrasi politik, idealnya harus selaras denagn demokrasi ekonomi, sehingga antara politik dan ekonomi tidak saling kontradiktif. Budaya politik kita harus dikembangkan untuk memperkokoh tradisi demokrasi. Di Indonesia proses kearah pembudayaan politik itulah yang kini sedang terjadi, yang menjadi soal adalah akselerasi politik dalam arti kehadiranya banyak tata aturan politik sebagai sebuah reformasi , ternyata belum disertai akselerasi budaya. Karena di suatu pihak masa reformasi semestinya diisi dengan pembangunan budaya demokrasi kearah civil society. B. Rumusan masalah 1. Apa yang dimaksud dengan budaya politik beserta komponen- komponen politik? 2. Apa yang dimaksud budaya demokrasi beserta karasteristiknya? 3. Bagaimana pemberdayaan civil society beserta pendekatannya? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian budaya politik beserta komponen-komponennya. 2. Untuk mengetahui karasteristik budaya demokrasi. 3. Untuk mengetahui apa itu civil society dan pendekatan yang dipakai. BAB II PEMBAHASAN A. Budaya politik Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi diluar pemerintah (non formal) telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasan, proses pembuatan kebiajkan pemerintah, kegiatan partai-partai politik perilaku aparat negara serat gejoalk masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah. Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan ,kegiatan ekonomi dan sosial , kehidupan sosial secara luas . dengan demikian budaya, budaya politik langsung memengaruhi kehidupan politik dan menetukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber –sumber masyarakat Pengertian Budaya politik Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimilki oleh masyarakat , namun , setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakatnya umum dengan para elitnya. Beberapa konsep budaya politik dapat dielaborasi dari beberapa pendapat berikut. • Nico budi : serangakaian tingkah laku, kepercayaan, perasaan yang memberi makna dan mengatur serta landasan tingkah laku dalam sistem politik • Rusadi Sumintapura : budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota sistem politik • Sidney verba: budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik , simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan • Alan R.BALL :Budaya politik adalah sikap, kepercayaan , emosi, dan nilai-nilai kemasyarakatan yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik • Austin ranney :budaya politik adalah seperangkat pandangan tentang politik dan pemerintahan dan sebuah pola orientasi-orientasi terhdap sistem politik • Gabriel A.almond : Budaya politik berisiskan sikap, keyakinan, keterampailan dan poal-poal perilaku masyarakat terhadap politik. Budaya politik banyak menekankan pada dimensi psikologi dari sebuah sisitem politik kedua orientasi budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap bicara budaya politik tidak lepas dari sisitem politik. Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif, eksekutif, dan sebagainya dan ;ketiga budya politik merupaakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen budaya politik dalam tataran masif(dalam jumlah besar) atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan perindividu. 1) Komponen budaya politik Budaya politik mengandung dimensi psikologi dalam dalam suatu sistem politik,Sebagai suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang dikategorikan menjadi beberapa unsur : 1. Orientasi politik: yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan politik , peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya ;2 orientasi efektif: yaitu perasaan terhadap sistem politik, perannya, para aktor dan penampilannnya ;3 orientasi evaluatif :yaitu keputusan dan pendapat tentang objek-objek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan 2) Tipe-Tipe budaya politik i. Berdasarkan sikap yang ditujukan Atas dasar ini , budaya politik memilki kecenderungan tipe sikap (1) sikap militansi;(2) toleransi;(3) sikap absolut; dan (4)sikap akomodatif. Budaya politik militan, adalah budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik , tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang . bila terjadi krisis , maka yang dicari adalah kambing hitamnya , bukan diakibatkan oleh peraturan yang salah , dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi. Budaya politik toleransi , dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konseksus yang wajar mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atu kritis terhadap ide orang, tetapi tidak curiga terhadap orang. Budaya politik absolut, adalah budaya politik yang mempunyai sikap yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang dianggap selalu sempurna dan tak dapat diuabah lagi . usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dan kepercayaan , bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal yang yang baru atau yang berlainan (bertentangan) . budaya politik yang bernada absolut tumbuh dari tradisi,Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan yang baru. Sedangkan budaya politik akomodatif biasanya. Ia dapat melepaskan tradisi , kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini. ii. Berdasarakan orientasi politik . Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat Gabriel Almond mengklassifikasikan budaya politik sebagai berikut (1) budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonomi) tetapi masih bersifat pasif. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memilki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif,. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politiknya negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik. Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif; dan (2)budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang tinggi. Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memilki kebanggaan terhadap sitem politik dan memiliki kemauaan untuk mendiskusikan hal tersebut. B. Budaya Demokrasi 1. Konsep dasar demokrasi Secara etimologis, demokrasi berasal dari kata Yunani ‘demos’yang berarti rakyat dan ‘kretos’ yang berarti kekuasaan atau berkuasa. Demokrasi dapat diartikan sebagai ‘rakyat berkuasa’, yaitu keadaan Negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, keputusan tertinggi berada dalam keputusan oleh rakyat (Rosyada, 2005).Dalam pandangan Nurcholish Madjid (sebagaimana dikutip oleh Sukron Kamil, 2002), ditegaskan bahwa demokrasi bukanlah kata benda, tetapi lebih merupakan kata kerja yang mengandung makna sebagai proses dinamis. Karena itu demokrasi harus diupayakan. Demokrasi dalam kerangka diatas berarti sebuah proses melaksanakan nilai-nilai civility (keadaban) dalam bernegara dan bermasyarakat. Demokrasi adalah proses menuju dan menjaga civil society yang menghormati dan berupaya merealisasikan nilai-nilai demokrasi. 2. Karakteristik Masyarakat Prakondisi Demokrasi Masyarakat demokrasi kekuasaan pemerintah secara hukum diuraikan secara jelas dan dibatasi secara tegas, sehingga organisasi di luar pemerintahan yang jumlahnya ribuan tersebut bekerja untuk urusan mereka masing-masing di luar kontrol pemerintahan, bahkan sebagian berusaha untuk mengontrol pemerintahan agar pemerintah bekerja secara bertanggung jawab. Agar kondisi ini tidak menjadi bumerang yang menyiderai dan menyengsarakan rakyat diperlukan kekuatan penyeimbang (balancing force) terhadap hegemoni Negara. Masyarakat yang dimaksud harus memiliki kemandirian, menghargai pluralitas, serta mempunyai keyakinan dan kemampuannya untuk berpartisipasi politik, memiliki keberadaban sebagai warga berbudaya atau sebutan yang dilontarkan oleh Nurcholish Madjid (dalam Adi Suryadi Culla, 1999) yang kemudian dikenal sebagai masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society. 3. Pilar-pilar dan Prinsip Demokrasi Sepuluh Pilar Demokrasi Konstitusional Indonesia yang dikenal pula dengan ‘’The Ten Pilars of Indonesian Constitutional Democracy’’, berdasarkan Filsafat Pancasila dan Konstitusi Negara Republic Indonesia tahun 1945, sebagai berikut: (1) demokrasi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) demokrasi berdasarkan Hak Asasi Manusia; (3) demokrasi berdasarkan Kedaulatan Rakyat; (4) demokrasi berdasarkan Kecerdasan Rakyat; (5) demokrasi berdasarkan Pemisahan Kekuasaan; (6) demokrasi berdasarkan Otonomi Daerah; (7) demokrasi berdasarkan Supremasi Hukum; (8) demokrasi berdasarkan Peradilan yang bebas; (9) demokrasi berdasarkan Kesejahteraan Rakyat; dan (10) demokrasi berdasarkan Keadilan Sosial. Di samping itu, demokrasi yang juga mengandung prinsip atau sebagai ‘soko guru demokrasi’ adalah: (1) kedaulatan rakyat; (2) pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; (3) kekuasaan mayoritas; (4) hak-hak minoritas; (5) jaminan hak-hak asasi manusia; (6) Pemilihan yang bebas dan jujur; (7) persamaan di depan hokum; (8) proses hukum yang wajar; (9) pembatasan pemerintahan secara konstitusional; (10) pluralisme social, ekonomi dan politik; dan (11) Nilai-nilai toleransi, kerjasama, dan mufakat (USIA, 1991). Dari uraian diatas dapat ditegaskan bahwa praktik demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak sama dengan di Negara-negara barat, karena landasan pelaksanaan demokrasinya Nampak berbeda. Demokrasi di Indonesia menggunakan landasan dan dasar hokum sebagai berikut. (1) Pembukaan UUD 1945, ‘’……… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat…….’’ (2) Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, ‘’kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang dasar’’ (3) Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, ‘’Negara Indonesia adalah Negara hukum’’ (4) Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, ‘’Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa’’ Secara demikian, dapat ditegaskan bahwa praktik demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang berdasar pada potensi (kekuatan) menusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa 4. Nilai-nilai Demokrasi Demokrasi sebagai system penyelenggaraan kehidupan masyarakat tidak bebas nilai (velue free), melainkan sarat (penuh) dengan nilai-nilai (value laden). Henry B. Maryo (dalam Miriam Budiardjo, 1996) secara panjang lebar menguraikan nilai-nilai demokrasi itu sebagai berikut: a. Nilai yang bersifat umum, bahwa demokrasi itu bekerja untuk rakyat. Nilai ini masih kabur, Walaupun nilai umum ini masih kabur, nilai itu tetap bermanfaat, untuk diperinci lebih lanjut menjadi nilai-nilai yang lebih khusus. b. Nilai-nilai khusus system demokrasi (1) Demokrasi menyelesaikan pertikaian secara damai dan suka rela. Penyelesaian pertikaian secara damai dan terlembaga, dengan suara bukan dengan peluru, dengan menghitung kepala bukan dengan memecah kepala. (2) Demokrasi menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang selalu berubah. Metode demokrasi seperti fleksibilitas, kepekaan terhadap pendapat umum dan pengaruh kepemimpinan, keterbukaan terhadap pendapat yang berbeda, semuanya menjamin penyesuaian diri terhadap hal-hal yang menimbulkan perubahan. (3) Demokrasi menjamin pergantian penguasa dengan teratur. Demokrasi merupakan jawaban terhadap masalah yang tidak ada satu system lainpun yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan, bagaimanakah mencari dan mengganti penguasa dengan damai dan sah atau legal. (4) Dalam demokrasi penggunaan paksaan sesedikit mungkin. Kebijaksanaan demokrasi memang bukan merupakan keputusan yang memberikan kepada semua yang dituntut orang; ia merupakan kompromi mekanis yang dibentuk dari dialog dan perjuangan terus-menerus. (5) Demokrasi menghargai nilai keanekaragaman. Demokrasi mengakui bahwa keanekaragaman itu ada dan menganggap sah bila terdapat pendapat dan kepetingan yang berlain-lain. (6) Demokrasi menegakkan keadilan. Dalam sistem demokrasi kemungkinan terjadinya ketidakadilan jauh lebih kecil dibandingkan dengan sistem yang lain. Demokrasi menghargai manusia satu sama lain sama (asas equity). (7) Sistem politik demokrasi paling baik dalam memajukan ilmu pengetahuan. Metode ilmiah itu mengandung nilai tidak memihak, tekun, jujur, bersifat sementara, berintegritas, adil, maupun patuh pada tradisi ilmiah. (8) Dalam demokrasi terdapat kebebasan, terutama dalam politik. Kebebasan sebagai alat agar para warga Negara mendapat bagian dalam kekuasaan politik. (9) Akirnya nilai dapat diberikan kepada demokrasi karena kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam sistem lain. Pamudji (1985) menyatakan ada lima komponen kinerja kekuatan sosisal (infra struktur politik), yaitu; (1) Partai Politik (Political Party); (2) kelompok kepentingan (interest group) (3) kelompok penekan (pressure group); (4) media komunikasi politik (political communication media); dan (5) tokoh politik (political figure). Demokratisasi merupakan perjuangan yang panjang dan kompleks, yang tidak datang begitu saja dengan mudah. Demokrasi harus bangkit dari keinginan individu untuk berpartifipasi dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka (Harold Hongju Koh, 2000). Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat madani, masyarakat sipil (civil society) mutlak diperlukan. C. CIVIL SOCIETY Pendidikan kewarganegaraan hendaknya mampu mempersiapkan warga negara untuk menyongsong terbentuknya masyarakat madani (civil society) bagi era masyarakat Indonesia baru. Dalam rangka ini, program pendidikan kewarganegaraan harus lebih dikonsentrasikan sebagai: (1) bidang kajian ilmiah yang difokuskan terhadap aspek sosio-kultural multicultural; (2) program dalam upaya membangun ‘kebijakan multicultural warga negara’ (civil society) dan ‘budaya multikultural’ (civil society); dan (3) program kurikuler yang memiliki visi dan misi dalam mengembangkan kualitas warga negara yang cerdas, demokratis dan religius (Winataputra, 1999). Pengertian Civil Society Gagasan civil society di Indonesia diletakkan pada pemberdayaan masyarakat pluralis-multikultural dalam hubungannya dengan organisasi negara (penguasa). Konseptualisasi civil society, dapat dikemukakan sebagai wilayah-¬wilayah kehidupan social yang terorganisasi yang bercirikan, antara lain: kesukarelaan (voluntary) keswasembadaan (self-generating) dan ke¬swadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dari keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum rang diikuti oleh warganya (Hikam, 1996). Langenberg (dalam Subandi, 1996; Budinian, 1990) mengklasifikasi civil society yang terdiri dari kelompok-kelompok dan perkumpulan, pendidikan, tenaga kerja, bisnis, partai politik, organi¬sasi keagamaan, profesi, perdagangan, media, seni, kelompok lokal, keluarga dan perkumpulan kekerabatan. 1. Pemberdayaan Civil Society Beberapa aspek strategis pendidikan kewarganegaraan dalam rangka pemberdayaan civil society dapat dirunut pada hal-hal berikut ini. a. Membangun Hubungan Negara dan Masyarakat Untuk membangun hubungan negara dengan masyarakat (warga negara) dalam kerangka civil society secara adil dan berimbang se¬cara normatif dan etik, dapat ditempuh melalui langkah-langkah berikut: (1) inventarisasi variabel yang melekat pada diri warga negara; (2) inventarisasi variabel yang melekat pada organisasi negara; (3) menghubungkan variabel yang melekat pada warga negara dengan variabel yang melekat pada organisasi negara; (4) mempersepsikan hubungan kedua variabel (negara dan warga ne¬gara), identik dengan hubungan hak dan kewajiban antara kedua¬nya; (5) mencari dasar norma sebagai pembenar hubungan antara warga negara dengan negara, yang bersumber dari jiwa dan nilai konstitusi (Diadaptasi dari Sanusi, 1972). b. Optimalisasi Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Civil Society Sebuah kata kunci konsep civil society senantiasa berkait dengan hak-hak dasar manusia yang sering disebut dengan civil rights (Budiman, 1990:3). Pemberdayaan civil society sama halnya dengan melakukan kerja programatik bagaimana mengoptimalisasi hak dan kewajiban sebuah komunitas sosial warga negara (1) tahap internalisasi, yaitu tahap pemaha-man konsep masyarakat pluratis-multikultural; (2) tahap aplikasi, yakni tahap pelaksanaan nilai-nilai budaya lokal dalam konteks membangun wawasan kebangsaan; dan (3) tahap kristalisasi, sesuai tahap dimana warga negara/masyarakat telah mampu mencapai predikat sebagai manusia pluralis-multikultural, yang mampu ber¬sikap religius, demokratis, adil, terbuka, tidak mudah berpra¬sangka buruk, empati kepada orang lain. 2. Pemberdayaan Civil Society dalam Konteks Pendidikan Kewarganegaraan Pemberdayaan civil society, tidak bisa dilepaskan dengan pende¬katan Pendidikan Kewarganegaraan, sebagaimana dibahas pada Ba¬gian Kesatu, buku dan ditambah dengan pendekatan lain yang se¬laras dengan karakteristik civil society.Beberapa pendekatan yang dimaksud, antara lain sebagai berikut. a. Pendekatan yuridis Pendekatan ini mengantarkan warga negara untuk memahami norma-norma formal yang selanjutnya dengan norma itu akan me¬miliki sikap loyal terhadap konstitusi. Patut dicatat, bahwa UUD 1945 sebagai hukum dasar yang tertinggi di negara Indonesia yang di dalamnya mengakui hak-hak kebebasan individu (warga ne¬gara) seyogyanya digunakan sebagai rujukan norma dalam kehi¬dupan berbangsa dan bernegara yang plu-ralis-multikultural. b. Pendekatan struktural-fungsional Sukarno (1981), menegaskan bahwa sebuah sistem politik memiliki fungsi antara lain: pertama: mengembangkan aturan-aturan umum dan kebijaksanaan untuk mempertahankan ketertiban dan memenuhi tuntutan yang harus dilaksanakan secara wajar; kedua, merumuskan kepentingan rakyat; dan ketiga pemilihan pemimpin atau pejabat pembuat keputusan. c. Pendekatan etika-moral Pendekatan ‘etika-moral’ pada dasarnya digunakan sebagai wacana pembenaran (justification) terhadap tindakan sosial (Held, 1989). Sementara itu, Poedjawijatna (1984) menyebut ‘etika’ sebagai perwujudan dan filsafat tingkah laku manusia. Substansi tindakan sosial mencakup: (1) hak-hak atas kebebasan yang sama; (2) perlunya pengalaman moral bagi seseorang; (3) dasar-dasar adanya kepercayaan sosial; dan (4) adanya praktik penyelidikan moral. Dari sini dapat ditangkap bahwa tindakan sosial tidaklah bebas nilai (value free). Karena muncul dari kesadaran manusia maka tindakan sosial itu bisa berwujud tindakan baik buruk, tindakan wajib, tindakan netral serta tindakan yang bertanggung jawab selaras dengan nilai-nilai dan norma yang telah tumbuh dan berkembang lewat dinamika sosial-budayanya (Al Hakim, 2002). d. Pendekatan psikologis-pedagonis Materi pendidikan kewarganegaraan dalam rangka pemberdayaan civil society lewat pendekatan ‘psikologis-pedagonis’ berupa fakta budaya, konsep dan generalisasi yang kesemuanya dirujuk dari hak dan kewajiban (sebagai embrio materi pendidikan kewarganegaraan). Trio materi ini, hendaknya diberikan pada setiap jenjang pendidikan (pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi). Ekspresi civil society selain disesuaikan dengan jenis lembaga pendidikan yang ada juga perlu memperhatikan aspek ‘substansi’ keberdayaannya. Dengan cara ini seluruh ‘aspirasi’ civil society yang berada di setiap jenjang pendidikan dapat diterjemahkan selaras dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban subyek belajar. e. Pendekatan Pengurangan Prasangka (Buruk) Skeel (1995) mendefinisikan prasangka (pre¬judice) sebagai pertimbangan tentang kelompok sosio-budaya lain tanpa tahu lebih dahulu tentang fakta mengenai kelompok itu. Penelitian tentang pengurangan prasangka menunjukkan bahwa fakta yang berdiri sendiri tidak mampu mengurangi prasangka, prasangka kelas sosial jauh lebih kuat daripada prasangka ras atau agama; seseorang yang penerimaan dirinya lebih kuat cenderung memiliki prasangka yang lemah; komponen kognisi, afeksi, dan aksi dari kognisi cenderung tidak berkaitan; films dan media lain mampu meningkatkan sikap positif terhadap kelompok-kelompok yang berbeda budaya; dan kontak budaya antar kelompok etnis juga mampu mengurangi prasangka (Skeel, 1995). f. Pendekatan Empati Pendekatan pendidikan kewarganegaraan dirasakan juga sesuai dengan realitas majemuk dan asumsi perbedaan adalah empati Bennett (1979) mendefinisikan empati sebagai berada pada posisi orang lain. Dalam empati berarti kita ‘berpartisipasi’ pada pengalaman orang lain. Komunikasi empati mendorong kepekaan interrasial dan interkultural.Kemampuan empati dapat dikembangkan dengan mengikuti enam langkah yang saling berkaitan Langkah-langkah empati yang di¬maksud adalah sebagai berikut. • Mengasumsikan perbedaan, • Mengenali diri, • Mengenali diri, • Melakukan imajinasi terbimbing • Melakukan imajinasi terbimbing • Membiarkan pengalaman empati • Meneguhkan kembali diri BAB III PENUTUP Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimilki oleh masyarakat , namun , setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, masyarakat terhadap politik. Budaya politik banyak menekankan pada dimensi psikologi dari sebuah sisitem politik kedua orientasi budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap bicara budaya politik tidak lepas dari sisitem politik. 1) Komponen budaya politik komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang dikategorikan menjadi beberapa unsur : 1. Orientasi politik:2 orientasi efektif:3 orientasi evaluatif Tipe-Tipe budaya politik a) Berdasarkan sikap yang ditujukan Atas dasar ini , budaya politik memilki kecenderungan tipe sikap (1) sikap militansi;(2) toleransi;(3) sikap absolut; dan (4)sikap akomodatif. b)Berdasarakan orientasi politik Gabriel Almond mengklassifikasikan budaya politik sebagai berikut (1) budaya politik parokial (parochial political culture),dan (2)budaya politik partisipan (participant political culture). Budaya Demokrasi 1.Konsep dasar demokrasi Demokrasi dapat diartikan sebagai ‘rakyat berkuasa’, yaitu keadaan Negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, keputusan tertinggi berada dalam keputusan oleh rakyat (Rosyada, 2005). 2. Karakteristik Masyarakat Prakondisi Demokrasi Masyarakat demokrasi kekuasaan pemerintah secara hukum diuraikan secara jelas dan dibatasi secara tegas, sehingga organisasi di luar pemerintahan yang jumlahnya ribuan tersebut bekerja untuk urusan mereka masing-masing di luar kontrol pemerintahan, bahkan sebagian berusaha untuk mengontrol pemerintahan agar pemerintah bekerja secara bertanggung jawab. 3. Pilar-pilar dan Prinsip Demokrasi Sepuluh Pilar Demokrasi Konstitusional Indonesia yang dikenal pula dengan ‘’The Ten Pilars of Indonesian Constitutional Democracy’’, berdasarkan Filsafat Pancasila dan Konstitusi Negara Republic Indonesia tahun 1945, sebagai berikut: (1) demokrasi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) demokrasi berdasarkan Hak Asasi Manusia; (3) demokrasi berdasarkan Kedaulatan Rakyat; (4) demokrasi berdasarkan Kecerdasan Rakyat; (5) demokrasi berdasarkan Pemisahan Kekuasaan; (6) demokrasi berdasarkan Otonomi Daerah; (7) demokrasi berdasarkan Supremasi Hukum; (8) demokrasi berdasarkan Peradilan yang bebas; (9) demokrasi berdasarkan Kesejahteraan Rakyat; dan (10) demokrasi berdasarkan Keadilan Sosial. 4.Nilai-nilai Demokrasi Henry B. Maryo (dalam Miriam Budiardjo, 1996) secara panjang lebar menguraikan nilai-nilai demokrasi itu sebagai berikut: a. Nilai yang bersifat umum b. Nilai-nilai khusus system demokrasi Pengertian Civil Society Gagasan civil society di Indonesia diletakkan pada pemberdayaan masyarakat pluralis-multikultural dalam hubungannya dengan organisasi negara (penguasa). Konseptualisasi civil society, dapat dikemukakan sebagai wilayah-¬wilayah kehidupan social yang terorganisasi yang bercirikan, antara lain: kesukarelaan (voluntary) keswasembadaan (self-generating) dan ke-swadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dari keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum rang diikuti oleh warganya (Hikam, 1996). 2.Pemberdayaan Civil Society a. Membangun Hubungan Negara dan Masyarakat b. Optimalisasi Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Civil Society 3. Pemberdayaan Civil Society dalam Konteks Pendidikan Kewarganegaraan a. Pendekatan yuridis b. Pendekatan struktural-fungsional c. Pendekatan etika-moral d. Pendekatan psikologis-pedagonis e. Pendekatan Pengurangan Prasangka (Buruk) f. Pendekatan Empati DAFTAR PUSTAKA Al-hakim, S2014. Pendidikan kewarganegaraan dalam konteks Indonesia. Malang:Madani

1 komentar: