Senin, 22 Juni 2015

“MANAJEMEN KONFLIK DAN KETAHANAN NASIONAL”

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat di Indonesia terkenal dengan kemajemukannya, hal ini ditandai dengan beragamnya suku bangsa, ras/etnis. Oleh karena itu masyarakat di Indonesia rentan akan konflik. Selain hal tersebut fenomena konflik memang bersifat inhern (melekat dan menyerap) dalam kehidupan masyarakat. Hampir seluruh masyarakat di dunia ini yang sama sekali tidak terlepas dari konflik. Contoh terkecil mengenai ada tidaknya konflik dalam kehidupan kita sekarang ialah ketika kita masih duduk di bangku sekolah baik SD, SMP, SMA, maupun Perguruan Tinggi hampir bisa dipastikan bahwa kita telah mengalami yang namanya konflik. Sama halnya negara kita (Indonesia) sebelum merdeka hingga merdeka konflik dari dalam maupun luar pun senantiasa mendampinginya. Karena konflik yang senantiasa ada dalam kehidupan bermasyarakat dan konflik tidak selamanya berdampak negatif maka hendaknya diperlukan suatu manajemen konflik agar tidak menimbulkan disintegrasi sosial. Selain itu karena konflik juga terdapat dalam suatu negara maka diperlukannya juga ketahanan nasional agar negara tersebut tetap eksis dan damai, aman, serta kebal akan konflik. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana konsep dasar dari konflik dan ketahanan nasional? 2. Bagaimana pandangan beberapa ahli mengenai konflik? 3. Apa saja yang melatar belakangi terjadinya konflik? 4. Apa saja dampak yang ditimbulkan dari konflik? 5. Bagaimana cara mengatasi konflik? C. Tujuan 1. Memahami konsep dasar dari konflik dan ketahanan nasional 2. Mengemukakan beberapa pandangan mengenai konflik 3. Memahami hal-hal yang menyebabkan konflik 4. Memahami dampak dari adanya konfli 5. Memahami pentingnya manajemen konflik dan ketahanan nasional BAB II PEMBAHASAN MANAJEMEN KONFLIKDAN KETAHANAN NASIONAL A. Konsep Dasar Konflik dan Ketahanan Nasional Konflik biasanya didefinisikan sebagai bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, paham dan kepentingan di antara dua pihak atau lebih. Pertentangan ini bisa berbentuk fisik dan non-fisik, yang pada umumnya berkembang dari pertentangan non-fisik menjadi benturan fisik, yang bisa berkadar tinggi dalam bentuk kekerasan (violent), dan bisa berkadar rendah yang tidak menggunakan kekerasan (nonviolent). Selain itu, konflik juga dapat didefinisikan sebagai interaksi antara individu, kelompok atau organisasi dan golongan yang membuat tujuan atau arti yang berlawanan, dan merasa bahwa orang atau kelompok lain dianggap sebagai penganggu yang potensial tehadap pencapaian tujuan mereka (M.S Pook, dalam sujak, 1990). Senada dengan ini, Brown dan Moberg (1980), mendefiniskan konflik sebagai “disagreement between two or more persons or work, groups resulting from an incompatibility of goals, resources, expectations, perceptions, or values” (perselisihan di antara dua orang atau lebih atau di antara kelompok-kelompok kerja disebabkan oleh pertentangan tujuan-tujuan, sumber-sumber, harapan-harapan, persepsi atau nilai-nilai). Para teoritisi mendefinisikan pertentangan sebagai konflim manakala pertentangan itu bersifat langsung, yakni ditandai interaksi timbal-balik di antara pihak-pihak yang bertentangan. Di samping itu, pertentangan juga dilakukan di atas kesadaran pada masing-masing pihak di antara mereka saling berbeda atau berlawanan (Fatah, 1994). Dalam kaitannya dengan pertentangan sebagai konflik, Marck, Syinder dan Gurr (1980), membuat kriteria yang menandai suatu pertentangan sebagai konflik. Pertama, sebuah konflik harus melibatkan dua atau lebih pihak di dalamnya; kedua, pihak-pihak tersebut saling tarik-menarik dalam aksi-aksi saling memusuhi (mutualy opposing actions); Ketiga, mereka biasanya cenderung menjalankan perilaku koerif untuk menghadapi dan menghancurkan ‘sang musuh’; Keempat, interaksi pertentangan diantara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas, karena itu keberadaan peristiwa pertentangan tadi dapat dideteksi dan dimufakati dengan mudah oleh para pengamat yang tidak terlibat dalam pertentangan. Dalam kehidupan bermasyarakat, konflik juga dapat berupa proses instrumental yang mengarah pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial serta dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Dengan konflik antara kelompok dengan kelompok lain misalnya, suatu kelompok dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingya. Sementara itu, konsep Ketahanan Nasional, sering diartikan sebagai kondisi dinamik yang berisi tentang ‘keuletan’ dan ‘ketangguhan’ suatu bangsa dalam mengembangkan kemampuan untuk mengatasi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG), baik yang muncul dari dalam maupun dari luar, baik yang langsung atau tidak langsung yang membahayakan terhadap identitas, integritas dan kelangsungan hidup suatu bangsa dalam mengejar cita-cita nasionalnya. Substansi pokok ketahanan nasional,mencakup seluruh aspek kehidupan bangsa yang tergambar dalam bidang-bidang ideologi, politik,ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan keamanan(ipolek-sosbudhankam). Dengan substansi itu, maka tujuan ketahanan nasional Indonesia, adalah menciptakan prakondisi kehidupan yang aman dan sejahtera bagi bangsa dan negara. Kondisi yang demikian, pada gilirannya juga menjadi prasarat, ketika bangsa Indonesia akan melakukan pemikiran-pemikran politik terbaik bagi kebijakan nasional yang terjabar dalam politik dan strategi nasioanalnya. Jika ketahanan nasioanal Indonesia tidak mampu menciptakan kondisi yang aman, maka perumusan politik dan strategi nasional tadi, tidak akan bisa dilakukan dengan cermat dan penuh dengan pertimbangan. Akibatnya, kebijakan nasional tidak memiliki nilai fungsional, terutama dalam meberikan layanan serta pemberdayaan masyarakat, rakyat dan warga negara. Itulah sebabnya, penyelenggaraan ketahanan nasional harus mempertimbangkan secermat mungkin, tentang kemungkinan antisipasi dan munculnya konflik di kalangan masyrakat bangsa Indonesia. B. Beberapa Pandangan tentang Konflik Masyarakat Indonesia yang majemuk, yang ditandai oleh beragamnya suku, agama, ras/ etnis dan antar golongan (SARA), pada dasarnya merupakan masyarakat yang rentan akan konflik. Mengapa demikian? Jika saudara kaji secara mendalam, bahwa dalam setiap masyarakat, fenomena konflik memang bersifat inhert (melekat dan menyerta) dalam kehidupan masyarakat. Hampir tidak ada masyarakat di dunia ini yang sama sekali terlepas dengan fenomena konflik ini. Coba saudara lakukan refleksi dengan diri saudara. Pernahkah saudara berkonflik dengan teman saudara, ketika saudara masih di Sekolah Dasar, SLTP, SMU dan sampai jenjang akademik perguruan tinggi ini? Hampir bisa dipastikan, bahwa semuanya pernah mengalami. Jika itu benar, berarti konflik memang benar-benar adanya dalam kehidupan masyarakat. Persoalannya sekarang, apakah konflik itu pasti buruk dan apakah selalu sukses dalam menghindarkan konflik dalam kehidupannya? Inilah persoalan yang menjadi pembahasan kajian kita dalam bagian ini. Dalam kaitan itu, Cribbin(1985), memberikan pandangan terhadap konflikbagaikan virus. Dia tidak bisa dibasmi sama sekali, tetapi jika tidak dikendalikan, bisa menjadi epidemi. Oleh karena itu strategi yang terbaik adalah memanajemen yang efektif. Hampir kebanyakan orang mempersepsikan bahwa konflik itu sebagai fenomena yang membahayakan, padahal kondisi yang sebenarnya tidaklah demikian. Konflik juga diartikan sebagai bahaya merusak. Hal ini nampak pada beberapa pernyataan bahwa ‘siapa yanng bukan teman’ adalah ‘musuh saya’. Jika pernyataan itu dikembangkan terus-menerus dalam kehidupan bisa melahirkan konflik yang berkepanjangan, atau bahkan orang selalu menghitung-hitung siapa saja yang menjadi musuh saya dan konsekuensinya juga siap untuk berkonflik. Mungkin cara ini dapat dipandang sebagai cara lama, yang memandang konflik sebagai sesuatu yang harus ditiadakan. Dalam kaitan itu, Abi Sujak (1990) sempat mengidentifikasi perbedaan cara pandang terhadap konflik menurut cara lama dan cara baru sebagai berikut: 1. Menurut cara pandang lama, konflik harus dihilangkan karena dapat menganggu organisasi dan merusak prestasi; sedangkan cara baru, konflik sesungguhnya meningkatkan prestasi organisasi karena itu harus dikelola dengan baik. 2. Dalam cara pandang lama, organisasi atau kelompok atau komunitas yang baik seharusnya tidak ada konflik; sedngkan dalam pandangan baru bahwa dalam organisasi yang baik konflik yang memuncak dapat mendorong anggotanya untuk memacu prestasi. 3. Dalam pandangan lama, konflik harus dibasmi atau dielakkan; sedangkan dalam pandangan baru konflik merupakan bagian integral dari kehidupan organisasi, kelompok dan komunitas tertentu. 4. Menurut pandangan lama, konflik itu jelek karena dapat menjurus ke tingkat stress yang lebih tinggi, memunculkan kejahatan dan sabotase berbagai [rogram kegiatan; sedangkan pandangan baru mengatakan konflik itu baik karena dapat merangsang orang untuk memecahkan persoalan dan penyebab timbulnya konflik. Selain pandangan di atas, Ralf Dahrendorf (dalam Poloma, 1994) menegaskan bahwa masyarakat pada dasarnya terdiri dari dua muka, yakni ‘muka konsensus’ dan ‘muka konflik’. Antara keduanya selalu melekat dalam kehidupan masyarakat. Karena konflik selalu ada dalam kehidupan masyarakat, maka Danrendorf memandang konflik merupakan fenomena sosial yang harus diperhatikan. Lebih lanjut dia menegaskan, bahwa konsep sentral dari teori konflik berpusat pada ‘wewenang’ dan ‘posisi’, yang keduanya merupakan fakta sosial. Beberapa tesis yang dikeluarkan dapat ditegaskan sebagai berikut: (1) distribusi wewenang dan kekuasaan yang tidak merata dapat menimbulkan konflik sosial; (2) kekuasaan dan wewenang selalu menempatkan individu dalamstruktur sosial pada posisi atas, atau sebaliknya berada posisi bawah; (3) kekuasaan dan wewenang akan melahirkan kelompok penguasa dan kelompok yang dikuasai yang rentan akan konflik. Kendatipun demikian, Dahrendorf mengakui, bahwa faktor ekonomi, hukum, dan sosial budaya dapat memicu munculnya konflik sosial. Sementara itu, Lewis A. Coser, memandang konflik sebagai sesuatu yag bersifat fungsional. Coser ingin menempatkan fenomena konflik sebagai gejala yang positif, dan oleh karena itu harus agar tidak mengakibatkan disintegrasi sosial. Menurutnya, apakah konflik itu dapat bersifat fungsional, tergantung pada tipe atau isu yang menjadi subyek konflik. Konflik bisa bersifat positif jika memliki nilai-nilai fungsional dalam hal: (1) sebagai alat untuk memelihara solidaritas; (2) menjadi jembatan aliansi dengan kelompok lain; (3) mengaktifkan individu yang semula terisolasi dengan kelompoknya; dan (4) sebagai sarana komunikasi untuk mengetahui pihak lawan atau yang terlibat konflik. Dalam kaitannya dengan fungsi, Robeth K. Merton, pernah membedakan menjadi dua, yakni fungsi manifest dan fungsi latent. Fungsi manifest, adalah fungsi yang direncanakan, ditampakkan atau ditunjukkan secara tegas; sedangkan fungsi latent adalah fungsi yang tidak diperhitungkannya dalam proses pencapaian tujuan kehidupan sosial. Contoh, fungsi manifest sebuah Undang-undang Anti Judi, adalah untuk menghapus praktik perjudian; sedangkan fungsi latentnya adalah bisa menciptakan kerajaan ilegal dan sindikat-sindikat judi. Ada lagi contoh lain, misalnya ‘Membeli Mobil Mewah’. Fungsi manifestnya adalah untuk alat transportasi; sedangkan fungsi latentnya, bisa jadi membeli mobil mewah adalah untuk memamerkan kekayaan dan status sosial kepada orang lain. Kegiatan penataran misalnya, juga mempunyai fungsi manifest untuk meningkatkan SDM agar mampu bekerja secara pofesional; sedangkan dibalik itu bisa terselip fungsi latent untuk menghabiskan anggaran rutin. Terhadap dua fungsi tadi, Merton mewanti-wanti dalam beberapa hal: (1) fungsi-fungsi yang dinyatakan secara manifest, seringkali mengalami disfungsi, lantaran kurangnya perhatian terhadap fungsi latent yang ada di balik itu; (2) tajamnya perbedaan antara fungsi manifest dan fungsi latent, akan berpengaruh terhadap keseimbangan kehidupan masyarakat; (3) semakin jelas dalam menditeksi fungsi manifest dan fungsi latent, maka semakin jelas dalam menditeksi tindakan manusia dalam masyarakat. Karena konflik selalu ada dalam kehidupan masyarakat dan dia juga memiliki fungsi-fungsi positif, maka konflik hendaknya tidak serta merta harus ditiadakan. Persoalan yang harus diperhatikan adalah, bagaimana konflik itu bisa dimanajemen sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan disintegrasi sosial (bangsa). Dalam kaitan itu, setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (negara) hendaknya mampu dijadikan sebagai sarana dalam memanajemen konflik-konflik sosial yang sedang atau dimungkinkan akan muncul. Itulah sebabnya, agar setiap kebijakan yang dikeluarkan hendaknya juga memiliki fungsi dengan baik, dan harus dipikirkan dengan jelas fungsi manifestnya dan kemungkinan juga munculnya fungsi latent dari kebijakan itu. Jika hal ini tidak dilakukan dengan cermat, maka penetapan kebijakan nasional, bukan tidak mungkin justru akan menimbulkan konflik baik vertikal maupun horisontal dikalangan masyarakat Indonesia yang majemuk. C. Manajemen Konflik dan Ketahanan Nasional Konflik dapat berpengaruh baik dan atau jelek, tetapi konflik adalah suatu kondisi yang alamiah dalam kehidupan. Setiap orang harus dapat memahami situasi semacam ini dan memberikan perhatian tersendiri untuk dapat menetapkan cara yang tepat, bagaimana konflik bisa dikelola sedemikian rupa, agar tidak menimbulkan perpecahan antar manusia dan disintegrasi bangsa. Dalam kaitannya dengan pengelolahan konflik tersebut, Hodge dan Anthony (1991), memberikan gambaran melalui berbagai metode penyelesaian konflik (confict resolution methods). Pertama, setiap orang menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar konflik dapat diredam atau dipadamkan. Sebenarnya dalam banyak hal, manajemen konflik tidak cukup hanya mengandalkan kekuasaan semata-mata, karena bisa jadi konflik akan terus berlanjut dan orang akan kehilangan kekuasaan di mata orang lain yang terlibat konflik. Kedua, penyelesaian konflik dengan menggunakan metode penghalusan (smoothing). Pihak-pihak yang berkonflik hendaknya saling memahami konflik dengan menggunakan ‘bahasa cinta’, untuk memecahkan dan memulihkan hubungan yang bersifat perdamaian. Membiasakan bersikap dan mengembangkan kehidupan yang penuh dengan suasana kekeluargaan dirasakan sangat bermanfaat dalam penyelesaian konflik. Lewat metode ini, dimungkinkan bisa dilakukan cara-cara kompromis dalam menyelesaikan konflik, sehingga dapat disepakati apa yang terbaik. Ketiga, penyelesaian konflik dengan cara demokratis, artinya memberikan perluang kepada masing-masing pihak untuk mengemukakan pendapat dan memberikan keyakinan akan kebenaran pendapatnya sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak. Dengan cara demokrasi, masing-masing pihak juga saling memahami potensi masing-masing, misalnya berkaitan aspek kultural yang menggambarkan aspirasi,cita-cita serta ideologi mereka. Oleh sebab itu, strategi penyelesaian konflik hendaknya perlu dipertimbangkan dengan matang, termasuk mencari alternatif yang dianggap paling efektif. Berkaitan dengan ini, Cribbin (1985) mengolaborasi terhadap tiga hal, yaitu mulai yang paling tidak efektif, yang efektif dan yang paling efektif. Strategi yang dipandangnya paling tidak efektif, meliputi: (1) dengan paksaan. Strategi ini umumnya tidak disukai oleh kebanyakan orang. Dengan paksaan, mungkin konflik bisa diselesaikan dengan cepat, namun bisa menimbulkan reaksi kemarahan atau reaksi negatif lainnya; (2) dengan penundaan, yang mengakibatkan penyelesaian konflik menjadi berlarut-larut; (3) dengan bujukan, bisa berakibat secara psikologis, dimana orang akan kebal dengan berbagai bujukan sehingga perselisihan akan semakin tajam; (4) dengan koalisi, yaitu suatu bentuk persekutuan untuk mengendalikan konflik. Akan tetapi strategi ini bisa memaksa orang untuk memihak, yang pada gilirannya bisa menambah kadar konflik menjadi sebuah ‘perang’; (5) dengan tawar-menawar distribusi. Strategi sering tidak menyelesaikan masalah karena masing-masing pihak saling melepaskan beberapa hal penting yang menjadi haknya; dan jika terjadi berarti masing-masing pihak merasa menjadi ‘korban’ konflik. Selanjutnya strategi yang dipandangnya lebih efektif, meliputi: (1) koeksistensi damai, yaitu mengendalikan konflik dengan cara tidak saling menganggu dan saling merugikan, dengan menetapkan ‘peraturan’ yang mengacu pada perdamaian serta diterapkan secara ketat dan konsekuen’ (2) dengan mediasi (pengantaraan). Jika penyelesaian konflik dianggap menemui jalan buntu, masing-masing pihak bisa menunjuk pihak ketiga untuk menjadi perantara yang berperan secara jujur dan adil dan tidak memihak. Terakhir, strategi yang dipandangnya paling efektif, antara lain meliputi: (1) tujuan sekutu besar, yaitu dengan melibatkan pihak-pihak yang berkonflik ke arah tujuan yang lebih besar dan kompleks, misalnya dengan cara membangun sebuah kesadaran nasioanal yang lebih luas dan mantap; (2) tawar-menawar integrative, yaitu dengan menggiring pihak-pihak yang berkonflik, untuk lebih berkonsentrasi pada kepentingan yang lebih luas, dan tidak hanya berkisar pada kepentingan yang lebih luas, dan tidak hanya berkisar pada kepentingan sempit misalnya kepentingan individu, kelompok, golongan atau suku bangsa tertentu. Selain itu, Nasikun (1993), mengidentifikasi pengendalian konflik melalui tiga cara, yaitu dengan konsiliasi (conciliation), mediasi (mediation), dan perwasitan (arbitration). Pengendalian konflik dengan cara konsiliasi, terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan. Lembaga-lembaga yang dimaksud diharapkan berfungsi secara efektif, yang sedikitnya memenuhiempat hal: (1) harus merupakan lembaga bersifat otonom dengan wewenang untuk mengambil keputusan, tanpa campur tangan dari badan-badan lain; (2) lembaga harus bersifat monopolistis, dalam arti hanya lembaga-lembaga itulah yang berfungsi demikian; (3) lembaga harus mampu mengikat kepentingan pihak-pihak yang berkonflik; dan (4) lembaga-lembaga tersebut harus bersifat demokratis. Tanpa hadirnya keempat hal tersebut, maka konflik yang terjadi di antara beberapa kekuatan social akan ‘menyelinap’ ke bawah permukaan, yang pada saatnya dapat diduga akan meledak kembali dalam bentuk kekerasan. Pengendalian dengan cara mediasi, dengan maksud bahwa pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga yang akanmemberikan ‘nasihat-nasihat’, berkaitan dengan penyelesaian terbaik terhadap pertentangan yang mereka alami. Sekalipun nasihat-nasihat pihak ketika tidak bersifat mengikat bagi mereka yang terlibat konflik, namun cara pengendalian diri, dapat memberikan kemungkinan penyelesaian yang cukup efektif. Karena cara ini memberikan kemungkinan pihak-pihak yang bertentangan untuk menarik diri tanpa harus kehilangan muka, mengurangi pemborosan untuk membiayai dan lain sebagainya. Pengendalian konflik dengan cara perwasitan (arbitrasi), dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang berkonflik sepakat untuk menerima pihak ketiga, yang akan berperan untuk memberikan keputusan-keputusan, dalam rangka menyelesaikan konflik yang ada. Berbeda dengan mediasi, cara perwasitan mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik untuk menerima keputusan-keputusan yang diambil oleh pihak wasit. Persoalan kita sekarang, bagaimana mengelola konflik dalam kerangka Konflik Nasional? Dengan beranalog dengan konsep TANNAS, yang telah dikemukakan di muka, maka kemungkinan konflik yang timbul di dalam masyarakat Indonesia hendaknya dikembalikan dalam menangkal ATHG, dan untuk mempertahankan identitas, integritas dan kelangsungan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita nasionalnya. Hal ini berarti bahwa penyelesaian konflik dalam rangka TANNAS Indonesia, harus memperhatikan faktor-faktor kesejahteraaan dan keamanan seluruh bangsa Indonesia. Memperhatikan salah satu faktor saja, dipandang belum cukup (menjamin) untuk membangun kondisi dinamis bangsa Indonesia memiliki keuletan, ketanguhan, dan kemampuan untuk mengatasi ATHG. Jika ATHG tidak diantisipasi dengan cermat, maka akan bisa menjadi sumber pemicu munculnya konflikbaik vertikal maupun horizontal. Itulah sebabnya, Ketahanan Nasional Indonesia, berkomitmen untuk menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan keamanan (security approach). Aplikasi dua pendekatan ini harus dilakukan dengan melakukan observasi keadaan lokasi suatu tempat, komunitas dan daerah-daerah yang dipandang rawan tehadap konflik. Dari hasil observasi itu, akan ditemukan aspek mana yang dipandang menjadi prioritas pelaksanaan ketahanan nasional (aspek kesejahteraan atau aspek keamanan). Jika temuan kerawanan jatuh pada aspek kesejahteraan misalnya, maka aspek ini yang perlu digarap lebih dahulu, termasuk upaya pengendalian konflik yang muncul dari persoalan kesejahteraanbagi rakyat. Hasil dari pelaksanaan ketahanan nasioanal yang menggunakan aspek kesejahteraan, akan diguanakan dalam memikirkan penanganan persoalan-persoalan yang dirasakan muncul dalam aspek keamanan. Jadi kesejahteraan (JAH) digunakan dalam mendukung keamanan (KAM). Demikian seterusnya berjalan secara bergantian, pendekatan yang menjadi prioritas awal akan berfungsi mendukung dalam menciptakan kondisi dengan penggunaan pendekatan berikutnya. Secara demikian, persoalan pendekatan yang mana yang didahulukan dalam Ketahanan Nasional Indonesia, tergantung dari hasil pemetaan prioritas di lapangan. Kondisi di lapangan, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia ditandai dengan cirinya yang bersifat ‘unik’. Secara horizontal, ia ditandai dengan kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku-bangsa, agama, ras/etnis dan antar golongan yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan secara vertika, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Perbedaan-perbedaan yang pertama seringkali mewarnai ciri masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk (plural societies), yaitu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen. Masyarakat majemuk, adalah sejauh masyarakat tersebut secara structural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat diverse. Biasanya, masyarakat yang demikian ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai atau konsensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa masyrakat tipe majemuk, memiliki potensi dan kerawanan akan konflik. Lebih tegas lagi, Clifford Geertz (dalam Nasikun, 1993) mengatakan bahwa masyarakat majemuk adalah merupakan masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub system yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, yang masing-masing sub-sistem terikat ke dalam ikatan-ikatan yang bersifat primordial. Bagaiaman sifat priordialisme ini agar tidak berkembang menjadi ekstrem, dan memperbesar potensi konflik di kalangan masyarakat Indonesia. Kiranya ini yang perlu menjadi perhatian yang seksama dan kesadaran bersama bagi masyarakat Indonesia yang bertempat tinggal di seluruh penjuru nusantara. Dalam kehidupan ini, konsep dan aplikasi Ketahanan Nasional Indonesia harus dikonsentrasikan untuk memanajemen konflik, di samping juga sebagai ekspresi ‘daya tahan, sifat ulet dan ketanguhan’ bangsa dalam menangkal Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan (ATHG) yang diperkirakan akan muncul dalam kehidupan bangsa secara nasional. Ambilah sebuah contoh, perbedaan-perbedaan secara horisontal yang tercermin dalam bentuk SARA (Suku, Agama, Ras/Etnis dan Antar Golongan), memang pada kondisi awal memiliki kerawanan akan terjadinya konflik. Memang tidak biasa disangkal, bahwa sumber konflik yang paling mendasar adalah bermula dari adanya perbedaan-perbedaan. Namun demikian, di balik perbedaan itu bangsa Indonesia justru lebih banyak memetik hikmah yang positif, terutama kebermaknaannya bagi energi kemajemukan dan demokrasi yang di terapkan di Indonesia. Hal ini menuntut pengelolahan perbedaan dengan baik, agar potensi konflik yang ada tidak berkembang menjadi realitas konflik yang berkepanjangan. Dalam kasus SARA tadi, bangsa Indonesia tentunya tidak perlu ‘resah’ dengan keberadaannya. Sejak awal bangsa kita memang sudah berangkat dari perbedaan-perbedaan itu. Artinya perbedaan SARA, memang sudah melekat dalam diri bangsa Indonesia sejak jaman nenek moyang kita, dan hal ini lebih nampak pada saat bangsa Indonesia akan memasuki kehidupan nasional (bangsa yang menegara). Tentunya, kita masih ingat, sejarah munculnya ‘Sumpah Pemuda Tahun 1928’, betapa jelasnya perbedaan-perbedaan kita (yang sebelumnya juga tidak jarang yang diwarnai konflik-konflik yang bersifat local), yang kemudian berjalan dengan penuh kesadaran menuju terwujudnya rasa persatuan. Karena itu, sudah seharusnya bagi kita, bahwa ‘kata kunci’ untuk diarahkan dan diberi solusi sepanjang untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Harapan ini, akan dapat difasilitasi dengan memanfaatkan sifat-sifat Ketahanan Nasioanal Indonesia, yang dapat dikemukakan berikut ini. Pertama, sifat manunggal (integratif). Yang dimaksud adalah kemanunggalan anatar potensi TRIGATRA (aspek alamiah: posisi/letak geografis, kekayaan alam dan jumlah penduduk)ndengan potensi PANCAGATRA (aspek sosial: ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan keamanan). Sifat integrative ini tidak dapat diartikan sebagai pencampuradukan seluruh aspek kehidupan (bukan unifikasi), akan tetapi integrasi yang dilaksanakan secara serasi dan selaras dengan tetap mengakui perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Kedua, sifat mawas ke dalam. Ketahanan Nasional Indonesia, terutama diarah-kan kepada diri bangsa dan negara itu sendiri. Sebab TANNAS Indonesia bertujuan untuk mewujudkan hakekat dan sifat nasionalnya sendiri. Hal ini, tidak berarti, bahwa TANNAS Indonesia menganut sikap isolatif apalgi nasionalisme sempit. Sifat ‘mawas ke dalam’ tetap memelihara hubungan internasional yang sebaik-baiknya dengan landasan manusiawi dan atas dasar peradaban kemanusiaan. Namun demikian, sebagai realisasi ke dalam, TANNAS Indonesia diharapkan mampu membawa bangsa Indonesia semakin ‘kokoh’ akan rasa nasionalismenya, agar tidak mudah digoyahkan oleh kasus-kasus yang bernuansa konflik horisontal yang diakibatkan oleh perbedaan SARA. Ketiga, sifat kewibawaan. Ketahanan Nasional Indonesia sebagai hasil pandangan yang bersifat ‘manunggal’ tadi, mewujudkan kewibawaan nasioanl yang harus diperhitungkan oleh pihak lain sekaligus memiliki daya pencegah tersebut. Itulah sebabnya, semakin bangsa Indonesia mampu mengelola konflik yang terjadi di kalangan masyarakat yang ada di nusantara ini, semakin menunjukkan kewibawaannya sebagai bangsa. Dan sebaliknya, semakin bangsa Indonesia tercerai-berai (terancam disintegrasi) akibat konflik horisontal dan vertikal yang berkepanjangan, semakin menunjukkan pada pihak bangsa lain bahwa kita adalah bangsa yang tidak memiliki kewibawaan. Keempat, sifat berubah menurut waktu. Ketahanan Nasional Indonesia, tidaklah tetap adanya. Ia dapat meningkat atau menurun dan bergabtung kepada situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan pengertian bahwa segala sesuatu di dunia ini senantiasa berubah dan bahkan perubahan itu sendiri adalah berubah. Kelima, sifat tidak membenarkan adu kekuasaan dan kekuatan. Konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia dapat dipandang sebagai suatu alternatif dari pada konsepsi yang mengutamakan penggunaan adu kekuasaan dan adu kekuatan (power politics) yang masih dianut oleh negara-negara maju pada umumnya. Jika konsep adu kekuasaan dan adu kekuatan, bertumpu pada konsep kekuatan fisik, maka sebaliknya Ketahanan Nasional Indonesia lebih menekankan pada kekuatan moral (moral force) yang ada bangsa Indonesia. Di samping itu, Ketahanan Nasional Indonesia, lebih mementingkan konsultasi dan saling menghargai pergaulan hidup manusia serta menjauhi antagonisme dan konfrontasi. dari sifat di atas, nampak jelas, bahwa Ketahanan Nasional Indonesia sangat komitmen dalam mengendalikan konflik. Sifat yang mengendalikan pada kekuatan moral ketimbang kekuatan fisik, juga menunjukkan bahwa TANNAS Indonesia lebih mementingkan dialog secara mendalam (deep dialoque) dalam memecahkan persoalan bangsa yang bernuansa konflik. Selain itu, sifat mengandalkan konsultasi dan memberikan penghargaan yang tinggi terhadap urusan kemanusiaan, lebih meyakinkan bahwa TANNAS Indonesia mengajarkan bagi bangsa Indonesia untuk senantiasa menghindarkan diri dari konflik. Semua sifat-sifat Ketahanan Nasional Indonesia sebagaimana di uraikan di atas, senantiasa diarahkan dalam menjaga identitas, integritas dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia dalam mengejar cita-cita nasionalnya. Itulah sebabnya, penggunaaan pendekatan keamanan (security approach) dalam TANNAS Indonesia, boleh jadi mengindikatorkan bahwa dia tidak menyukai danya adu kekuatan. Jadi pendekatan keamanan, tidak harus diartikan sebagai penggunaan kekuatan untuk menyelesaikan konflik. Sebagai konsepsi bangsa, TANNAS Indonesia bukan pemikiran yang bersifat ‘otoriter’, akan tetapi lebih menekankan pada pertimbangan demokrasi yang selalu mengandalkan kekuatan moral sebagai potensi yang luhur bangsa. Dewasa ini, penggunaan pendekatan keamanan (security appoach) dlam memecahkan persoalan bangsa, telah banyak yang mengkritisi. Umumnya, mereka cenderung menolak pendekatan ini. Persepsi yang muncul, lebih banyak mempersoalkan, bahwa dengan pendekatan keamanan pasti akan direalisasi dengan sarana kekuatan fisik. Pemikiran ini, pada dasarnya tidak benar sama sekali. Aspek keamanan bukanlah semata-mata muncul konsepsi militerisme. Sebuah konsepsi, bahwa untuk menciptakan keamanan harus dilakukan, misalnya dengan cara perang, paksaan, dominasi dan bahkan pembunuhan. Konsepsi keamanan, lebih erat hubungannya dengan kebutuhan dasar manusia. Karena itu aktivitas keamanan lebih banyak bersandar pada panggilan jiwa dan upaya pemenuhan atau layanan kebutuhan akan rasa aman. Dalam kensepsi TANNAS Indonesia, masyarakat tidak boleh ‘resah’, gara-gara merasa tidak aman dalam kehidupannya. Masyarakat juga tidak boleh chaos, lantaran keadaan yang diwarnai oleh konflik. Secara demikian, manajemen konflik dalam kerangka Ketahanan Naisonal Indonesia, harus ditangkap sebagai upaya saling memanfaatkan potensi yang melekat pada piahk-pihak yang berkonflik. Kiranya ‘gaya kolaborasi’, dipandang lebih sesuai dengan keperluan ini. Dalam kaitan itu, manajemen dan penyelesaian konflik dalam kerangka TANNAS Indonesia, harus dimaknai secara kritis dengan mengambil keunggulan masing-masing dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Hal ini menunjukkan, bahwa untuk menyelesaikan konflik dalam kerangka TANNAS Indonesia, bukan menggunakan parameter ‘benar salah’, akan tetapi senantiasa lebih banyak dipetakan lewat pemahaman setting kultural, terutama kecanggihan dalam menangkap simbol-simbol budaya yang tumbuh dan berkembang di mayarakat Indonesia. Dengan cara ini, latar belakang konflik dapat diidentifikasi dengan obyektif dan dimungkinkan adanya distribusi informasi secara terbuka. Konflik yang terhajadi, dinyatakan secara terbuka dan dievaluasi dari berbagai sudut pandang budaya masing-masing pihak yang sedang berkonflik. Penyelesaian konflik yang hanya menggunakan pendekatan budaya sepihak, cenderung terperangkap pada pola pikir yang ethonesentris, dan ini menjadika pemecahan persoalan konflik yang mengarah pada ketidak adilan. Karena budaya itu bersifat subyektif, maka tidak dibenarkan penyelesaian konflik hanya dilihat dari satu sisi budaya, karena hal ini justru akan membuka ruang konflik baru. Secara demikian pendekatan ‘multikultural’, dirasakan lebih efektif dan lebih demokratis jika digunakan dalam memecahkan konflik horisontal dalam masyarakat yang hidup di seluruh nusantara. KETAHANAN NASIONAL A. Latar Belakang dan Landasan Ketahanan Nasional 1. Latar Belakang Terbentuknya negara Indonesia dilatar belakangi oleh perjuangan seluruh bangsa. Sudah sejak lama Indonesia menjadi incaran banyak negara atau bangsa karena potensinya yang besar dilihat dari wilayahnya yang luas dengan kekayaan alam yang banyak. Kenyataannya, ancaman yang datang tidak hanya dari luar tetapi dari dalam. Terbukti, setelah perjuangan bangsa tercapai dengan terbentuknya negara Kesatuan Republik Indonesia, ancaman dan gangguan dari luar juga timbul, dari yang bersifat kegiatan fisik sampai yang ideologis. Meskipun demikian, bangsa Indonesia memegang satu komitmen bersama untuk tetap tegaknya negara kesatuan Indonesia. Dorongan kesadaran bangsa yang dipengaruhi kondisi dan letak geografis dengan dihadapkan pada lingkungan dunia yang serba berubah akan memberikan motivasi dalam menciptakan suasana damai, tertib dalam tatanan nasional dan hubungan internasional yang serasi. Beberapa ancaman dalam dan luar negeri telah dapat diatasi bangsa Indonesia dengan adanya tekad bersama menggalang kesatuan dan keutuhan bangsa. Berbagai pemberontakan dan gerakan seperatis pernah muncul seperti pemberontakan PKI, DI/TII Kartosuwiryo, PRRI Permesta dan juga gerakan separatis RMS serta keinginan menyelenggarakan pemerintahan sendiri di Timor Timur yang pernah menyatakan dirinya berintegrasi dengan Indonesia meskipun akhirnya kenyataan politik menyebabkan lepasnya kembali daerah tersebut. Ancaman separatis dewasa ini ditunjukkan dengan banyaknya wilayah atau propinsi di Indonesia yang menginginkan dirinya merdeka lepas dari Indonesia seperti Aceh, Riau, Irian Jaya, dan beberapa daerah lain. Begitu pula beberapa aksi provokasi yang menganggu kestabilan kehidupan sampai terjadinya berbagai kerusuhan yang diwarnai nuansa etnis dan agama. Bangsa Indonesia telah berusaha menghadapi semua ini dengan semangat persatuan dan keutuhan. Meskipun demikian, gangguan dan ancaman akan terus ada selama perjalanan bangsa, maka diperlukannya kondisi dinamis bangsa yang dapat mengantisipasi keadaan apapun yang terjadi di negara ini. Kekuatan bangsa dalam menjaga keutuhan negara Indonesia tentu saja harus selalu didasari oleh segenap landasan baik landasan ideal, konstitusional dan juga wawasan visional. Landasan ini akan memberikan kekuatan konseptual filosofis untuk merangkum, mengarahkan, dan mewarnai segenap kegiatan hidup bermasyarakat, berbagsa dan bernegara. 1. Landasan-landasan Ketahanan Nasional a. Pancasila sebagai Landasan Ideal Peranan pancasila sebagai landasan ideal tidak dapat dipisahkan dari kedudukan pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Menurut Kaelan, pandangan hidup merupakan kesatuan ragakaian nilai-nilai luhur yang merupakan suatu wawasan yang menyeluruh terhadap kehidupan. Pandangan hidup ini berfungsi sebagai kerangka acuan baik untuk menata kehidupan pribadi maupun dalam interaksi antar manusia dalam masyarakat serta alam sekitarnya (Kaelan, 1999:57). Nilai-nilai luhur pancasila akan mewarnai aplikasi nilainya dalam perbuatan manusia Indonesia baik dalam melaksanakannya secara objektif dalam penyelenggaraan negara (yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum positif) maupun dalam kehidupan sehari-hari sebagai individu atau melaksanakan Pancasila secara subjektif. Pelaksanaan Pancasila sebagai pandangan hidup dimaksudkan untuk menyadarkan rakyat bahwa hakikat kehidupan manusia adalah keterkaitan natar manusia dengan Tuhannya, antara manusia satu dengan yang lain, dan antara manusia dengan lingkungan.manusia merupakan sumber kejiwaan masyarakat yang memberi pedoman bahwa kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Pancasila dalam hal ini merupakan asas nilai dan norma dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara (Kelompok Kerja Tannas, 2000:5). Dalam kapasitasnya sebagai ideologi, pancasila merupakan cita-cita bangsa yang merupakan ikrar segenap bangsa dalam upaya mewujudkan masyarakat yang adil makmur yang merata material maupun spiritual. Pancasila merupakan asas kerohanian yang akan membawa bangsa yang aman, tentram, tertib, dan dinamis dalam limgkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai (Kaelan, 1999:62). Peranan pancasila dalam kapasitasnya sebgai dasar negara sebagaimana tersurat dalam Pembukaan UUD 1945 pada hakikatnya mencerminkan nilai-nilai dasar pancasila yaitu keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, persatuan dan kesatuan. Nilai-nilai dasar ini telah mewadahi seluruh kondisi objektif bangsa Indobesia yang terdiri dri berbagai macam suku bangsa dengan berbagai macam corak budayanya. Pancasila jufa menjadi asas kerohanian tertib hukum Indonesia yang dalam Pembukaan UUD 1945 dijelmakan dalam empat pokok pikirannya, yang meliputi suasanan kebatinan dari UUD 1945 dan memberikan acuan dalam mewujudkan cita-cita hukum dasar negara baik yang tertulis mauun yang tidak tertulis. Pancasila juga mengandung norma, bahwa dalam penyelenggaraan negara terus tetap dipelihara budi pekerti dan tetap dipegang teguh cita-cita bangsa. Pancasila hendaknya juga sebagai sumber semangat penyelenggaraan negara (Kelompok Kerja Tannas, 2005:5). b. UUD 1945 sebagai Landasan Konstitusional Bertolak dari pancasila sebagai sumber tertib hukum Indonesia yang sekaligus mengandung cita-cita hukum yang termuat dalam pembukaan UUD 1945 sendiri merupakan keputusan politik ini kemudia diturunkan dalam norma-norma konstitusional (perundangan) untuk menentukan sistem negara dengan bentuk-bentuk konsep pelaksanaannya secara spesifik. Oleh karena itu, maka sudah semestinya seluruh penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara tercakup dalam peraturan perundang-undangan mulai dari lingkup nasional ke bawah, dari yang mengandung pokok-pokok samapi dengan peraturan yang terinci bahkan sampai petunjuk teknisnya. Dengan demikian diharapkan dapat terselenggara kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, yaitu sesuai dengan hukum konstitusional yang diderifasikan dari sistem pemerintahan negara sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan UUD 1945. Negara indonesia bukanlah negara berdasarkan atas kekuasaan. Artinya, penyelenggaraan negara tidak didasarkan atas kekuasaan yang membawa pada sistem pemerintahan yang totaliter (Kelompok Ketahanan Tannas, 2000:6). Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada aturan konstitusional, berdasar ats hukum. Kekuasaan dan kewenangan itu jelas ada tetapi tetap dalam kerangka aturan penyelenggaraan negara menurut hukum atau perundangan yang berlaku. Hukum disini bukan dikuasai golongan sehingga golongan tertentu bisa berlaku sewenang-wenang dengan berdalih dan berkedok hukum. Hukum disini juga tidak hanya untuk menghukum orang yang lemah, tetapi hukum yang berlaku bagi setiap perorangan dan golongan. Semua bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Hukum berlaku bagi seluruh rakyat dan bahkan termasuk pemerintah. Oleh karenanya, pemerintah sebagai institusi yang berwenang mengatur begara juga tidak boleh melawan hukum, begitu pula oknum penguasa secara pribadi. Hukum akan mengatur seluruh kehidupan bangsa dan negara untuk menjaga ketertiban hidup di masyarakat. Sebagaimana disebutkan di atas, pemerintah pun dapat dikenai hukum. Pemerintah, apalagi Presiden sebagai oknum atau institusi, bukanlah penguasa yang bersifat absolut dan tidak terbatas. Presiden adalah penyelenggara pemerintah tertinggi di bawah MPR dan berada sebagai orang nomor satu di Indonesia. Kewenangan memerintah ini pun akan dibagi dalam kekuasaan pemerintah ke bawah dan dalam beberapa institusi kelembagaan tinggi negara lainnya. Dengan dimiliknya ide sistem negarayang demokratis diharapkan dalam prosesnya segala pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan tetap bersumber dan mengacu pada kepentingan dan aspirasi rakyat. c. Wawasan Nusantara Sebagai Landasan Visional Bangsa Indonesia merintis jalan kebangsaannya dengan berjuang mulai dari jaman penjajahan, secara fisik dengan intelek-intelektual. Hal ini ditunjukkan dengan perjuangan dengan berdirinnya beberapa organisasi kebangsaan yang merintis kebangkitan kesadaran kebangsaan dan semangat untuk merdeka. Pada akhirnya titik balik perjuangan tercapai dan peristiwa proklamasi 17 agustus 1945. Meskipun demikian, ini bukan akhir perjuangan. Perjuangan melanggengkan keadilan Negara dengan tetap menjaga kemerdekaan dan keutuhan Negara menjadi tugas kenegaraan berikutnya. Konstelasi geografis Indonesia yang sangat luas dan kondisi objektif sosial budaya yang sangat sarat dengan muatan perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk tetap menjaga kelangsungan dan keserasian hidupnya. Kehidupan Negara yang dinamis dan perjuangan untuk membangun identitas dan integritas bangsa sehingga menjadi bermartabat dan hubungan Negara-negara dunia menjadi semangat perjuangan untuk tetap berkembang maju. Semangat penyelenggaraan Negara ini penting untuk mencapai tujuan Negara sebagaimana yang tersurat dalam pembuaan UUD 1945. Perkembangan lingkungan local, nasional, regional dan internasional yang selalu berubah dan selalu mempengaruhi kehidupan kenegaraan menuntut bangsa Indonesia untuk selalu berkembang pada konsep cara pandang terhadap bangsa dengan segenap lingkungan strategisnya tersebut. Cara pandang atau wawasan national disebut wawasan nusantara sebagaimana sudah diterangkan pada bagian sebelumnya merupakan kebutuhan bagi bangsa untuk menjadi pancaran falsafah pancasila yang diterapkan dalam kondisi objektif bangsa dengan seluruh kondisi dinamisnya. Wawasan nusantara melandasi upaya meningkatkan ketahanan nasional berdasarkan dorongan mewujudkan cita-cita, mencapai tujuan nasional dan menjamin kepentingan nasional. Dalam rangka menjapai cita-cita dan tujuan nasional tersebut cara pandang bangsa sangat diperlukan untuk menjaga kesatuan langkah. Wawasan ini pun harus ditambah konsep pembinaan keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional yang disebut ketahanan nasional (Kelompok Kerja Tannas, 2000:7). B.Ruang Lingkup Pengertian Ketahanan Nasional 1. Pokok-pokok pikiran yang mendasari konsepsi ketahanan nasioanal Konsepsi ketahanan nasioanal mengandung keuletan dan ketangguhan dalam rangka tetap mengembangkan kekuatan nasional untuk menghadapi segala potensi tantangan, ancaman dan gangguan yang berasal dari dalam dan luar negeri. Konsepsi ini sesungguhnya didasarkan atas beberapa pokok pikiran: a. Manusia adalah makhluk yang berbudaya Manusia hidup secara naluriah untuk menjalankan kodrat fisiknya dan lebih dari itu manusia mengaktualisasikan kemampuan dirinya yang lebih dibanding dengan kemampuan mahkluk lain. Manusia memiliki kemampuan akal budi yang memungkinkan ia mengaktualisasikan kreativitasnya dalam berhubungan dengan tuhan, manusia lain, dan alam sekitarnya. Manusia senantiasa mengembangkan kemampuan lahir dan batinnya, untuk mencapai tingkatan martabat lebih tinggi daripada binatang. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang mempunyai naluri, intelegensi dan keterampilan. Dengan kemampuannya ini manusia berjuang mempertahankan eksistensi, kelangsungan aktualisasikan potensi dalam dirinya. Aktivitas manusia dalam mengembangkan potensinya ini akan muncul dalam beberapa bentuk kegiatan yang sering dikelompokkan dalam beberapa bidang. Agama merupakan institusi yang memadai kegiatan manusia dalam berhubungan dengan tuhan atau kekuasaan supranatural yang lain sehingga muncul kepercayaan, agama wahyu atau agama budaya dan sebagainya. Dalam hal ini cita-cita dan gagasan secara konseptual maka akan muncul ideology. Berkait dengan hasrat manusia untuk menguasai orang lain, manusia mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi dan mengatur orang lain akan memunculkan bidang politik. Dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup dengan segala aktivitasnya muncul berkembanglah ekonomi. Bidang sosial adalah bidang yang menyangkut hubungan antar manusia. Terkait dengan kreativitas manusia mengembangkan kebudayaan sebagai hasil pemanfaatan alam dan pengembangan pemikiran manusia muncul bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Berhubungan dengan rasa aman sebagai salah satu kebutuhan manusia, maka berkembanglah istilah pertahanan keamanan (Lemhanas RI 2000:96). Semua hal tersebut terjadi karena manusia ingin memenuhi kebutuhan, ingin berkembang, ingin memperluas pengetahuan, juga ingin menunjukkan kemampuan dan kreasinya. Kesadaran atas potensi manusia dibidang sebagaimana tersebut diatas selaras dengan pemahaman akan pengetahuan nasional yang memungkinkan Negara dihuni beragam manusia ini mengalami dinamika yang cukup fluktuatif. b. Tujuan nasional, falsafah, dan ideology Negara. Tujuan nasional bangsa menjadi pokok pikiran bagi perlunya ketahanan nasional karena Negara Indonesia sebagai suatu organisasi dalam rangka kegiatannya untuk mencapai tujuan akan selalu menghadapi masalah-masalah, baik yang berasal dari dalam maupun yang berasal dari luar. Oleh karena itu Negara yang mempunyai tujuan nasionalnya sendiri dalam rangka aktivitas penyelenggaraan kegiatan kenegaraannya untuk mencapai tujuan, memerlukan kondisi dinamis yang mampu memberikan fasilitas bagi tercapainya tujuan tersebut. Begitu juga falsafah pancasila sebagai pandangan hidup dan sebagai ideology Negara, yang mengandung unsure cita-cita dalam rangka menunjang tercapainya tujuan nasional, merupakan asas kerohanian yang mendasari gerak pencapainnya. Hal itu tersurat dalam pembukaan UUD 1945 yang memuat semangat perjuangan membela hak asasi untuk merdeka, tercantumnya tujuan Negara yang harus dicapai, kepercayaan adanya kuasa allah dan landasan falsafah pancasila yang memuat pada alenia ke empat. Beberpa hal tersebut diatas memberi dasar pemikiran perlunya kondisi dinamis dalam mencapai tujuan Negara bangsa yang tersebut ketahanan nasional. Terkait dengan bahasan tersebut telah ditegaskan dalam pembukaan undang-undung 1945 (Lemhanas RI 2000:97). Alenia I Menyatakan “Bahwa sesungguhnya…..kemerdakaan adalah hak segala bangsa pada intinya: merdeka merupakan hak segala bangsa dan penjajahan bertolak belakang dengan konsep penghargaan hak-hak asasi manusia. Alenia 2 ‘’Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan…telah sampai ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur’’. Pada intinya: kemerdekaan adalah syarat dapat mengadakan pembangunan dalam rangka meraih masa depan dan cita-cita sesuai dengan tujuan nasional. Tidak cukup Negara ini merdeka, tetapi juga harus berdaulat, adil dan makmur. Alenia 3 “atas berkat rahmat allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh sesuatu keinginan luhur maka dengan ini bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya…”. Menunjukkan bahwa pencapaian cita-cita kemerdekaan tidak semata-mata hasil perjuangan, tetapi juga atas karunia dan kekuasaan allah. Disini terlihat adanya dorongan spiritual baik dalam proses kemerdekaan maupun dalam rangka mengisi kemerdekaan. Alenia 4 “Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…(dst)…, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar Negara republic Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada…(pancasila)” pada intinya: cita-cita nasional yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 tersebut harus dicapai dalam wadah Negara kesatuan republic Indonesia dan lalu dilandasi oleh nilai-nilai pancasila. 2. Pengertian Ketahanan Nasioanal dan pengertian konsepsi ketahanan nasional. Ketahanan nasional (Indonesia) adalah kondisi dinamis suatu bangsa (Indonesia) yang meliputi segenap kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghdapi dan mengatasi segala tantangan ancaman, hambatan dan gangguan, baik yang dating dari dalam maupun dari luar, untuk menjamin identitas, integritas, dan kelangsungan hidup bangsa dan Negara serta perjuangan mencapai tujuan nasional (lemhanas, 2000:98). Pernyataan konseptul yang komplek tersebut diatas dapat dijelaskan unsure-unsurnya (Sumarso dan Kus Eddy Sartono, 2000:23) sebagi berikut : Ketangguhan Adalah kekutan yang menyebabkan seseorang atau sesuatu dapat bertahan, kuat menderita, atau dapat menanggulangi beban yang dipukulnya. Keuletan Adalah usaha secara giat dengan kemampuan yang keras dalam menggunakan kemampuan tersebut diatas untuk mencapai tujuan. Identitas yaitu ciri khas suatu bangsa atau Negara dilihat secara keseluruhan (holistic). Negara dilihat dalam pengertian sebagai suatu organisasi masyarakat yang dibatasi oleh wilayah, dengan penduduk, sejarah, pemerintahan dan tujuan nasional serta dengan peran internasionalnya. Integritas yaitu kesatuan menyeluruh dalam kehidupan nasional suatu bangsa baik unsure sosial maupun alamiah, baik yang bersifat potensial maupun fungsional. Ancaman yang dimaksud disini adalah hal/usaha yang bersifat mengubah atau merombak kebijaksanaan dan usaha ini dilakukan secara konseptual, criminal, dan politis. Tantangan yaitu hal atau usaha yang bersifat menggugah kemampuan. Biasanya ini terjadi karena suatu kondisi yang memaksa sehingga menyebabkan seseorang atau kelompok orang merasa harus berbuat sesuatu untuk menghadapi keadaan yang dikarenakannya. Hambatan Adalah hal atau usaha dari diri sendiri yang bersifat dan bertujuan melemahkan atau menghalangi secara tidak konsepsional. Gangguan Adalah hal atau usaha yang berasal dari luar, bersifat dan bertujuan melemahkan dan atau menghalangi secara tidak konsepsional. Ketahanan nasional ini merupakan kondisi dinamis yang harus diwujudkan oleh suatu Negara dan harus dibina secara dini, terus menerus dan sinergis dengan aspek-aspek kehidupan bangsa yang lain. Tentu saja ketahanan Negara tidak semata-mata tugas Negara sebagai institusi, apalagi pemerintah. ketahanan Negara merupakan tanggung jawab seluruh anggota bangsa Indonesia baik dalam lingkup bribadi, keluarga, dan juga lingkungan yang lebih luas local maupun nasional. Apabila modal keuletan dan ketangguhan sudah ada pada bangsa Indonesia maka sudah semestinya kemampuan mengembangkan kekuatan nasional akan bisa dikembangkan dengan baik. Pemikiran konseptual tentang ketahanan Negara ini didasarkan atas konsep geostrategi, yaitu konsep yang dirancang dan dirumuskan dengan memperhatikan kondisi bangsa dan konstelasi geograsi Indonesia yang disebut dengan konsepsi ketahanan nasional. Konsepsi ketahanan nasioanal (Indonesia) adalah konsepsi pengembangan kekuatan nasioanal melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan Negara secara utuh dan menyeluruh terpadu berdasarkan pancasila, UUD 1945 dan wawasan nusantara (lemhanas 2000:99). Konsepsi sebagaimana diuraikan diatas merupakan pedoman atau sarana untuk meningkatkan keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Konsepsi ini dengan demikian menjadi metode yang digunakan dalam rangka mengarahkan usaha mencapai keuletan dan ketangguhan bangsa yang diharapkan. Kesejahteraan yang dimaksud adalah kemampuan bangsa dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai nasioanalnya bagi kemakmuran yang adil merata, jasmani dan rohani. Sedangkan keamanan dalam pengertian ini adalah kemampuan bangsa untuk melindungi nilai-nilai nasionalnya terhadap ancaman dari dalam dan dari luar (Lemhannas, 2000:99). 3. Hakikat Ketahanan Nasional dan Hakikat Konsepsi Ketahanan Nasional Berdasarkan uraian pengertian diatas maka dapat disimpulkan hakikat ketahanan nasional dan konsepsi ketahanan nasional sebagai berikut (Lemhannas, 2000:99). Hakikat Ketahanan Nasioanal Indonesia adalah keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasioanal untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan Negara dalam mencapai tujuan nasional. Hakikat konsepsi nasional Indonesia adalah pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan nasional. Berdasarkan uraian sekitar pengertian ketahanan nasioanal diatas maka dapat dilihat ada tiga ‘’wajah’’ yang digambarkan dalam konteks ketahanan nasional (Sunarso dan Kus Edy Sarsono, 2000:34). a. Ketahanan Nasional sebagai suatu kenyataan nyata atau real Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan ‘’kondisi dinamik…’’ dan adanya ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang dilawankan kemampuan yang ada dalam menghadapinya. b. Ketahanan Nasional sebagai konsepsi Hal ini ditunjukkan dengan definisi tentang konsepsi ketahanan nasional Indonesia sebagai konsep pengaturan dan penyelenggaraan Negara. c. Ketahanan nasional sebagai metode berfikir atau metode pendekatan Hal ini ditunjukkan dengan konsepnya dalam melihat keseluruhan aspek sebagai satu kesatuan untuh yang harus terpelihara dan dijaga keamanannya dan kelangsungannya. KetahananPadaAspekPolitikLuarNegeri 1. System pemerintah yang berdasarkanhukum, tidakberdasarkankekuasaan yang bersifat absolute, dimanakedaulatanberada di tanganrakyatdandilakukansepenuhnyaoleh MPR sebagaipenjelmaanseluruhrakyat. 2. Nekanismepolitik yang memungkinkanadanyaperbedaanpendapat. Namunperbedaantersebuttidakmenyangkutnilaidasar, sehinggatidakmennjuruspadakonfikfisik. Disampingitu, timbulnyadiktaktormayoritasdantiraniminoritasharusdicegah. 3. Kepemimpinannasionalmampumengakomodasikanaspirasi yang hidupdalammasyarakatdantetapberadadalamlingkupfilsafatPancasila, UUd 1945 danwawasan Nusantara. 4. Terjalinkomunikasitimbalbalikantarapemerintahdanmasyarakat, danantarkelompok/golongandalammasyarakatdalamrangkamencapaitujuannasionaldankepentingannasional (lemhamnas, SUSCADOSWAR, 2000). KetahananPadaAspekPolitikLuarNegeri 1. Hubunganluarnegeriditunjukanuntukmeningkatkankerjasamainternasionaldiberbagaibidangatasdasarsikapsalingmenguntungkan, meningkatkancitrapositif Indonesia diluarnegeri, danmemantapkanpersatuansertakeutuhan Negara KesatuanRepublik Indonesia. 2. Politikluarnegeriterusdikembangkanmenurutprioritasdalamrangka, meningkatkanpersahabatandankerjasamaantar Negara berkembangdengan Negara majusesuaidengankemampuan demi kepentingannasional. 3. Citra positif Indonesia terusditingkatkandandierluasantara lain melaluipromosi, peningkatandiplomasi, lobiinternasional, pertukaranpemuda, pelajar, danmahasiswasertakegiatanolahraga. 4. Perkembangan, perubahan, dangejolakduniaterusdiikutidandikajidenganseksama agar dampak negative yang mungkinmempengaruhistbilitasnasionaldannmenghambatkelancaranpembangunandanpencapaiantujuannasionaldapatdiperkirakansecaradini. 5. Langkahbersama Negara berkembangdengan industry majuuntukmemperkecilketimpangandanmengurangiketidakadilanperluditingkatkanmelaluiperjanjianperdaganganinternasionalsertakerjasamalembaga-lembagakeuanganinternasional. 6. Perjuanganmewujudkansuatutatananduniabarudanketertibanduniaberdasarkankemerdekaan, perdamaianabadi, dankeadilan social melaluipenggalangan, pemupukansolidaritas, kesamaansikap, sertakerjasamainternasionaldalamberbagai forum internasionaldan global. Peranaktif Indonesia dalampelucutansenjata, pengirimansertapelibatanpasukanperdamaian, danpenyelesaiankonflikntarbangsaperluterusditingkatkan. Upayarestrukturisasi PBB terutamadewankeamanan agar efektif, efisiendandemokratisharusterusdilaksanakan. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Konflikadalahinteraksi antara individu, kelompok atau organisasi dan golongan yang membuat tujuan atau arti yang berlawanan, dan merasa bahwa orang atau kelompok lain dianggap sebagai penganggu yang potensial tehadap pencapaian tujuan mereka. konsep Ketahanan Nasional, sering diartikan sebagai kondisi dinamik yang berisi tentang ‘keuletan’ dan ‘ketangguhan’ suatu bangsa dalam mengembangkan kemampuan untuk mengatasi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG), baik yang muncul dari dalam maupun dari luar, baik yang langsung atau tidak langsung yang membahayakan terhadap identitas, integritas dan kelangsungan hidup suatu bangsa dalam mengejar cita-cita nasionalnya. B. Saran Berdasarkan isi dari makalah ini kami menyampaikan saran: Sebaikanya kita sebagi warga negara indonesia mengetahui apa yang dimaksud ManajemenKonflik Dan KetahananNasional karena dalam kehidupan ini, konsep dan aplikasi Ketahanan Nasional Indonesia harus dikonsentrasikan untuk memanajemen konflik, di samping juga sebagai ekspresi ‘daya tahan, sifat ulet dan ketanguhan’ bangsa dalam menangkal Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan (ATHG) yang diperkirakan akan muncul dalam kehidupan bangsa secara nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar