Senin, 22 Juni 2015

HUBUNGAN WARGA NEGARA DENGAN NEGARA

Kata Pengantar Pujisyukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kita kelancaran selama kita membuat makalah ini sehingga tugas makalah dalam mata kuliah pendidikan kewarganegaraan yang berjudul “Hubungan Warga Negara dengan Negara” telah kami selesaikan. Tersusunnya makalah ini tidak lepas dari dorongan berbagai pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen kami yang telah memberiakn tugas makalah ini kepada kami sehingga kami bisa menambah wawasan serta pengetahuan kami tentangHubungan Warga Negara dengan Negara . Kami menyadari bahwa makalah ini mungkin banyak kekurangan sehingga kami mengaharap pembaca dapat memberikan kritik yang membangun serta saran untuk menyempurnakan makalah-makalah yang selanjutnya, Jombang, 20Mei 2015 Penyusun DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI iii BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang 3 B. Rumusan Masalah 3 C. Tujuan Makalah 4 D. Manfaat 4 BAB II : PEMBAHASAN A. Peta normatif hubungan Negara dan Warga Negara 5 B. Legitimasi dan korporatisasi 8 C. Negara dan Warga Negara (Refleksi Masa Orde Baru 10 D. Pemerintahan Reformasi 13 E. Kaji Banding Paradigm Hubungan Negara dan Warga Negara ( Kasus Orde Baru dan Pemerintahan Reformasi) 18 BAB III : PENUTUP A. Ringkasan 22 B. Saran 22 DAFTAR PUSTAKA 23 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dibuatnya makalah yang berisi tentang hubungan warga Negara dengan Negara ini, karena untuk memenuhi tugas pendidikan kewarganegaraan. Selain itu mudah-mudahan isi dari makalah ini bermanfaat bagi kita yang membaca dan mempelajarinya. Serta mudah-mudahan bisa menambah wawasan dan pengetahuan tentang hubungan warga Negara dengan Negara. Dalam penjelasan yang akan dijelaskan berikut ini adalah berupa bagian dari pendidikan kewarganegaraan yaitu hubungan warga Negara dengan negara. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana peta normatif hubungan warga Negara dengan Negara ? 2. Apa makna legitimasi dan korporatisasi Negara dalam konteks hubungan Negara dan warga Negara ? 3. Bagaimana hubungan negara dan warga negara pada masa Orde Baru dalam pemerintahan Reformasi? 4. Apa perbandingan paradigma hubungan antara negara dan warga negara dalam pemerintahan Orde Baru dan Reformasi ? 1.3. Tujuan Untuk meningkatkan pembelajaran tentang hubungan warga negara dengan negara, meningkatkan kemampuan kalian dalam pendidikan kewarga negaraan, secara baik dan benar. Baik secara lisan maupun tertulis. Dengan mempelajari hubungan warga negara dengan negara ,mahasiswa di harapkan dapat memiliki kemampuan sebagai berikut 1. Merumuskan peta normatife hubungan antara negara dengan warga negara 2. Menjelaskan makna legitimasi dan korporratisasi negara dalam konteks hubungan negara dan warga negara 3. Merefleksikan hubungan negara dan warga negara pada masa Orde Baru dan pemerintahan Reformasi 4. Membandingkan paradigma hubungan antara negara dan warga negara dalam pemerintahan Orde Baru dan Reformasi 1.4. Manfaat • Menambah wawasan dan pengetahuan tentang hubungan warga negara dengan negara • Sebagai tambahan khazanah keilmuan dalam menulis • Sebagai tambahan pemblajaran mahasiswa prodi bahasa dan sastra Indonesia • Meningkatkan pemblajaran tentang pendidikan kewarganegaraan BAB II PEMBAHASAN A. Peta Normatif Hubungan Negara dan Warga Negara Tugas utama Pendidikan Kewarganegaraan adalah memberika pencerahan informasi hubungan antara warga Negara dan Negara. Hal ini senada dengan konsepnya ,yakni senantiasa komitmen dalam mengajarkan pengetahuan hubungan antara warga Negara dan Negara yang menggunakan embrio materi tentang “hak dan kewajiban “. Kendatipun demikian ,konsep hubungan antara warga Negara dengan Negara masih sering menimbulkan persoalan yang bersifat dilematis. Hubungan antara warga Negara dan Negara,juga kerap kali di persepsikandalam bahasa yang “latah”. Apakah dalam proses hubungan itu Negara harus berbeda di atas warga Negara ataukah justru menempatkan keduanyadalam hubungan kesejajaran . Apakah Negara harus mencapuri urusan asasi warga Negara ataukah sebuah perlakuan yang di “tabukan “. Dalam wacana Pendidikan Kewarganegaraan ,Negara harus di posisikan sejajar dengan warga negaranya . Masyarakat (warga Negara ) tidak di lawankan dengan Negara ,akan tetapi justru dipersepsikan sebagai ‘mitra’ hubungan antar keduannya. Selama Negara masih berada di atas warga Negara atau masyarakat,maka hubungan antar keduanya tidak akan bisa berlangsung secara harmonis . padahal, keharmonisan ini menjadi kata kunci yang menentuka segala-galanya. Dalam kaitan itu, Gouldner (1998) menegaskan bahwa hu bungan antara masyarakat dan Negara tidak selalu selamanya berkonotasi normatif ,tetapi juga bersifat empirik.secara normatif,bahwa hubungan Negara dan warga Negara harus selalu berpegang pada hak dan kewajiban yang melekat antara keduanya.sehingga proses dialogisnya berlangsung secara demokratis ,adil dan harmonis dengan bersandar pada norma yang di persyaratkan oleh konstitusi . etika hubungan yang hendak di kembangkan dalam proses komunikasi antara Negara dan warga Negara (masyarakat) harus berlangsung secara ‘resiprositet’ (timbale balik). Sebaliknya, secara empirik bisa jadi hubungan antara Negara dan warga Negara bisa jadi justru melanggar norma bangsa dan Negara yang telah di sepakati bersama .jika hal ini terjadi maka pola hu bungan Negara dan warga Negara harus di kemballikan pada hubungan yang bersifat konstitusional dan bukan inkonstitusional . Ketika salah satu di antaranya mengingkari komitmen konstitusi sebagai dasar dan standar normatif ,maka hubungan itu mulai terkoyak dan biasanya warga Negara (masyarakat ) selaluberada pada posisi yang lemah (memang sengaja di lemahkan ).melalui instrument kekuasaan,Negara bisa melakukan cara-cara yang kasar (represif) atau bisa juga dengan cara yang paling ‘halus’ (hegemonik) untuk mengelabuhi warga Negara atau masyarakat agar legitimasi masyarakat selalu mengalir kepada Negara . akibatnya keberadaan masyarakat (warga Negara) menjadi ‘tak berimbang’ dengan Negara. Untuk membangu hubungan antar Negara dengan warga Negara secara adil dan berimbang ,normative dan etik ,dapat di tempuh melalui langkah-langkah berikut : 1. inventarisasi variabel yang melekat pada diri warga Negara 2. inventarisai variabel yang melekat pada organisasi Negara 3. menghubungkan variabel yang melekat pada diri warga Negara dengan variabel yang melekat pada organisasi Negara. 4. Mempersiaapkan hubungan kedua variabel (warga Negara dan Negara) identik dengan hubungan hak dan kewajiban antara keduanya,dan 5. Mencari dasar norma sebagai ‘pembenar’ hubungan antara warga Negara dengan Negara ,yang bersumber dari jiwa dan nilai-nilai konstitusi. Langkah-langkah tersebut hendaknya di maknai sebagai pencerminan hubungan antara hak dan kewajiban warga Negara di satu pihak dengan hak dan kewajiban Negara di pihak lain. Negara dan warga Negara mengadakan hubungan timbale balik,dan antara keduannya memposisikan dirinya sebagai komponen sistem yang memiliki kesejajaran .dalam kaitan itu ,yang perlu di cermati adalah, bahwa hubungan Negara dan warga Negara tidak berlangsug menurut gradasi (tingkatan) yang vertikal, melaikan menjadi hubungan yang sederajat.masing-masing memiliki nilai fungsional sendiri dan terjalin secara interaktif dalam pemetaan secara sistemik . Negara tidak di benarkan mendominasi warga Negara , begitu juga warga Negara tidak di benarkan secara anarkis, menjatuhkan Negara. Matriks Hubungan Warga Negara dan Negara B. Legitimiasi dan Korporatisasi Negara Hubungan antar Negara (pemerintah) dengan warga Negara (rakyat atau masyarakat) berkaitan dengan persoalan ‘pengakuan’ antara dua komponen itu. Ditilik dari sisi Negara , maka legistimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat (yang pimpin) terhadap Negara atau hak-hak yang memimpin (subakti ,1992).oleh sebab itu,legistimasi selalu mempersoalkan sikap masyarakat atas kewenangan pemerintah dalam membuat dan melaksanakan keputusan polotiknya.jika masyarakat menerima hak dan wewenang pemerintah untuk aktivitas itu ,berarti Negara (pemerintah) telah mendapatkan legitimasi dari masyarakat . sedangkan dari sisi masyarakat,legitimassi muncul lebih banyak berkaitan dengan persoalan pengakuan atas hak-hak yang melekat pada komunitas sosial masyarakat atau warga Negara. Legistimasi selain di perlukan oleh Negara juga di perlukan oleh masyrakat dan sistem politik secara keseluruhan. Dalam kaitan ini , Andrain (dalam surbakti ,1992),menyebut lima obyek sasaran legistimasi ,yakni:komunitas politik ,hukum,lembaga politik, rpemimpin politik dan kebijakan. Kelima obyek tersebut memiliki hubungan secara komulatif dan hirarkhis . artinya ,jika obyek pertama tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat ,maka obyek-obyek berikutnya juga tidak akan mendapatkan dukungan. Dalam mendapatkan atau mempertahankan legitimasinya dari masyarakat,Negara senantiasa melakukan serangkaian upaya untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan berbagai cara ,Negara dapat memanfaatkan potensi masyarakat sebagai instrumen legistimasinya . dengan demikian terjadilah korporatisasi Negara terhadap masyarakat ,pada umumnya,cara-cara memperoleh legistimasi dapat di kelompokkan menjadi tiga jenis,yaitu dengan cara simbolis,cara prosedural,dan dengan cara material .cara pertama,dilakukan memanipulasi kecendrungan-kecendrungan moral,emosional,tradisi,kepercayaan dan nilai –nilai budaya yang pada umumnya bentuk simbol.cara kedua ,dilakukan dengan cara menyelenggarakan pemilihan umum untuk menentukan wakil-wakil rakyat ,presiden dan wakil preseden.dan para anggota para lembaga tinggi lainnya serta referendum untuk mengesahkan kebijakan umum .cara ketiga,dilakukan dengan menjanjikan atau memberikan kesejahteraan material kepda masyarakat seperti jaminan tersediannya kebutuhan dasar (basic needs),fasilitas kesehatan dan pendidikan,sarana komunikasi,trasportasi ,sarana ibadah,seni dan hiburan dan sebagainya. Sementara itu,korporratisasi lebih banyak berlatar dari kondisi sebuah masyarakat yang bersifat pluralistis.Dalam pandangan pluralis,suatu masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok kepentingan (interest group) yang di awasi oleh Negara. Inisiatif dan gaya gerak masyarakat berasal dari kelompok-kelompok yang di jalankan oleh pihak swasta. Dalam pandangan korporatis,Negara tetap di nomor-satukan,dan kepentingan kelompok di tentukan bedasarkan hubunganya dengan Negara. Disamping itu,kaum korporatis beranggapan bahwa hubungan antar Negara dan kelompok kepentingan dalam masyarakat itu di bentuk oleh hubungan tukar-menukar dengan Negara. Menurut Schmitter,sebagaimana di kutip oleh Maswadi Rauf (dalam Budiarjo,1996),korporatisasi mengandung unsure-unsur : (1) sistem perwakilan kepentingan ; (2) pengorganisasian kelompok-kelompok kepentingan dalam jumlah yang kecil oleh Negara dengan sifat non-kompetitif dan berbeda secara fungsional ; (3) organisai-organisasi tersebut diakui,di beri izin atau bahkan di bentuk oleh Negara ; (4) pemberian monopoli untuk mewakili anggota-anggota ; dan (5) adanya kepatuhan kepada pengusaha politik yang menentukan kepemimpinan organisasi dan artikulasi serta dukungannya. Dalam korporaitisasi,peran Negara Nampak besar terutama dalam menggalang kerjasama dalam berbagai kelompok kepentingan di dalam masyarakat. Hal ini lebih menampakkan adanya tradisi demokrasi,khususnya tugas Negara dalam menghormati hak-hak bagi kelompok kepentingan dalam masyarakat. Ketiadaan tradisi demokrasi akan melahirkan dominasi Negara, dan pada gilirannya mendorong Negara untuk mempersempit kebebasan bagi organisasi-organisasi di dalam masyarakat.Itulah sebabnya,berbagai kelompok kepentingan yang muncul di dalam masyarakat perlu di rangkul oleh Negara agar tuntutan-tuntutan mereka tidak menimbulkan konflik,gangguan stabilitas dan politik. Dalam pandangan pendidikan kewarganegaraan,korporatisasi masih di perlukan lebih-lebih bagi masyarakat Indonesia yanng serba majemuk. Namun demikian,ketika Negara ingin mengadakan hubungan dengan masyarakat,warga Negara dan rakyat,nuansa korporatisasi hendaknya selalu di beri label. ‘bukan dominasi’ akan tetapi harus beralangsung lewat ‘dialogis secara mendalam’. Hal ini berarti korporatisasi Negara tidak lagi menggunakan pendekatan ‘gradasional’(bertingkat) akan tetapi lebih di tekankan pada hubungan yang besifat ‘kemitraan dan kesejajaran’. Negara juga lebih banyak memberikan kebebasan pada masyarakat (civil society ) untuk lebih berdaya. Jadi dalam pendidikan kewarganegaraan di harapkan adanya saling memberdayakan dan memberadapkan antara Negara dan warga Negara (empowering and civilizing). C. Negara dan Warga Negara (Refleksi Masa Orde Baru ) ‘Tumbangnya’ pemerintah orde lama,yang di susul dengan lahirnya pemerintah orde baru,pada awalnya memang di harapkan mampu membawa kehidupan politik bangsa ini kearah angin segar. Selama 32 tahun Orde Baru pemerintah bangsa Indonesia,memang cukup menjanjikan bagi kehidupan bangsa dalam menuju taraf kehidupan yang lebih baik. Sebuah ‘Orde’ pemerintahan yang di rancang dan menempatkan dirinya sebagai korektor total terhadap segala penyelewengan Pancasila dan UUD 1945 dari posisi proporsionalnya,yakni sebagai landasan pembangunan di segala bidang. Lebih menarik lagi,terpetanya idialisasi pembangunan yang di peruntukkan bagi kesejahteraan masyarakat secara nyata dan bukan pembangunan yang bersifat semu. Slogan pembangunan di kala itu, boleh jadi mampu memikat rakyat untuk memiliki rasa optimistis dalam menatap sebuah kehidupan ke depan. Dengan slogan ‘pembangunan yes’ dan ‘politik no’,Orde Baru bertekat akan mengantarkan potensi rakyat sebagai modal dalam pembangunan nasional. Pembangunan ekonomi di tempatkannya sebagai ‘spektrum sentral’,dan sementara itu konsep ‘politik sebagai panglima’ tampak di abaikan. Selain itu,Orde Baru telah mampu memotret dirinya sebagai ‘orde pembangunan’ yang memiliki komitmen dalam menegakkan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Logika pembangunan pada gilirannya juga di gunakan sebagai upaya penekanan arti penting persatuan dan kesatuan bangsa serta stabilitas nasional. Lebih tajam lagi, bahwa untuk menciptakan persatuan nasional hanya mungkin di lakukan di bawah kepemimpinan nasional. Dalam kaitan itu, paradigma kenegaraan pada masa Orde Baru dipeta semedikian rupa, dimana Negara (pemerintah) bertanggung jawab sebagai ‘paltron’ (bapak) dan warga Negara (rakyat) di pandang sebagai ‘client’ (anak). Realita ini pada dasarnya merupakan indikator adanya praktik perspektif kultural jawa (terutama konsep ‘momong’ dan ‘momongan’) yang di formatkan dalam politik Orde Baru. Dengan konsep ‘momong’, berarti Negara (pemerintah) akan melakukan tugas sucinya untuk menjaga dengan penuh kasih sayang ; sedangkan konsep ‘momongan’ mengungkapkan tugas dan tangung jawab yang lebih berat pada subyek yang ‘diemong’ (di asuh). Konsep-konsep ini,relevan dengan konsep kepemimpinan nasional yang di kembangkan oleh Orde Baru saat itu. Gagasan pemerintah dan kepemimpinan nasional Orde Baru tersebut, ternyata dalam praktiknya justru banyak mengecewakan rakyat. Hal ini di sebabkan oleh karena solusi pemerintahan dan pembangunan bukan lagi di arahkan demi kesejahteraan rakyat banyak,akan tetapi Nampak sebaliknya yang mengarah pada kepentingan partai pemerintah,golongan,rezim,keluarga serta pemerintah itu sendiri. Sebagai contoh,rekayasa politik penetapan pancasila sebagai ‘azas tunggal’ yang di terapkan dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan. Semua organisasi social poliik di wajibkan karena telah di tetapkan dalam undang-undang mencantumkan pancasila sebagai asas dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara (UU No.3 dan UU No.8 Tahun 1985). Sebenarnya asa tunggal ini,masih sangat mungkin jika dikaitkan dengan tujuan ketetapan MPR tentang P-4 saat itu,yang menjadi kesepakatan nasional agar bangsa Indonesia memiliki satu gerak langkah,kesamaan dalam mengamalkan Pancasila. Namun demikian,munculnya ketetapan MPR tentang P-4,justru lebih memaknai sebagai permainan kelompok berkuasa (Orde Baru dan Golkarnya), yang memakai ideologi pancasila sebagai ‘justifikasi’ dan upaya memperoleh ‘legitimasi’ kepentingan dari masyarakat. Cara-cara koersif (mungkin juga ‘dominasi’),di kemas demikian rapi, agar terkesan sebagai ‘konsensus’. Harapan kepada masyarakat agar tumbuh kesadaran pengakuan dan kepatuhan kepada penguasa,resistensi rakyat dapat direndam ,atau bahkan masyarakat ‘enggan’ sama sekali untuk melawannya. Upaya itu lebih Nampak lagi,ketika pemerintah Orde Baru banyak melakukan ‘klaim nasional’ bahwa semuanya itu di pandangnya dan serba muncul dari buah ‘konsensus nasional’. Lebih parah lagi,Orde Baru membangun sebuah strategi kepemimpinan moral dan intelektual yang sangat ‘canggih’ lewat pemerintahan ‘hegemoni’ yang di padu dengan kekuatan ‘militer’. Itulah sebabnya,tidak jarang jika ada warga Negara yang melancarkan kritik terhadap kebijakan pemerintah, di anggap memggamhu stabilitas politik dan keamanan nasional. Dan karena itu,cara-cara ‘gebug’,’sikat’, ‘libas’, ‘tangkap’, ‘OTB’, ‘subversif’ dan sebangsanya pasti akan muncul. Kritik apapun yang di lancarkan oleh masyarakat,memang di rasakan tidak pernah mendapat tempat dalam pemerintahan Orde Baru. Sebuah contoh,,sebelum soeharto jatuh,ketika sedang temu wicara sesuai meresmikan Asrama Haji Donohudan,Boyolali tanggal 28 pebruari 1997,dia pernah mengatakan :”saya tidak akan keberatan turun selaku presiden …. Asalkan semua itu di tempuh melaui cara-cara yang konstitusional. Kalau melanggar hokum,tak gebug betul”(Budi,1997). Tak lama kemudian,terbukti terjadi penangkapan,antara lain terhadap Sri Bintang Pamungkas dan Subadio Sosrosatomo. Sri Bintang di tangkap dengan tuduhan subversi,karena mengeluarkan selebaran program politik (PUDI) yang menolak pemilu 1997. Sedangkan Subadio diperiksa karena menerbitkan buku yang syarat dengan kritik, yang berjudul “Era Baru Pemimpin Baru:Badio Menolak Rekayasa Rezim Orde Baru”. Terlepas apakah proaktif atau menolaknya, semua itu merupakan reaksi seorang penguasa terhadap lancaran kritik dan resistensi masyarakat yang di lontarkan dengan simbol ‘kekerasan’ atau ‘kekuatan’. Selain itu,dalam tataran birokrasi,Orde Baru lebih banyak menampakkan pemerintahan yang sentralistis. Hal ini Nampak dalam pola pengambilan keputusan elite politik di tingkat atas,yang menempatkan pemegang posisi puncak kekuatan yang sangat dominan. Misalnya, dalam upaya pengorbitan ‘konsensus nasional’ mengenai azas tungal pancasila, tidak menampung aspirasi arus bawah. Dampak dari aplikasi konsep kekuasaan seperti itu,akan melahirkan budaya ‘ewuh-pakewuh’di kalangan elite dan celakanya juga bagi seluruh warga Negara Indonesia. Kondisi demikian,nampaknya sudah tidak dapat di pertahankan lagi. Orde Baru sudah sangat jauh menghegemoni seluruh potensi bangsa yang tidak menguntungkan demokratisasi dan hak-hak azasi manusia.Rakyat sudah tidak sabar lagi membiarkan hal itu semakin panjang. Akhirnya,lewat Gerakan Reformasi Total,yang banyak digulirkan olehMahasiswa,Akademis,Aktivis Politik dan HAM serta LSM dan sebagainya,maka pada tanggal 21 Mei 1998, presiden Soeharto jatuh,dan turun dari ‘Singgassana’ kepresidenannya. Kinerja pemerintahan yang di teruskan oleh ‘pemerintahan transisi’ yang di pimpin oleh Habibie,nampaknya juga tidak di terima oleh rakyat,lantaran agenda pemerintahannya masih menggunakan gaya lama dan selalu berada di bawah baying-bayang Orde Baru. Kesalahan yang paling vatal oleh pemerintahan ini,lepasnya wilayahnya Timor Timur dari Negara kesatuan republik Indonesia,yang secara politis dan finansial banyak merugikan Negara dan bangsa kita. Dan sebagai klimaksnya,Habibie terpaksa harus menerima untuk berhenti di tengah jalan,akibat laporan pertanggungjawabannya di tolak dalam sidang MPR hasil pemilu 1999. Presiden terpilih selanjutnya adalah Abdurrahman Wahid,yang duet dengan ‘saudarannya’,yaitu Megawati Sukarno Putri sebagai Wakil Presiden. Sekalipun demikian,era Orde Baru bukanlah salah dalam segala-galanya. Secara obyektif,patut bangsa Indonesia mengakui,bahwa program pemerinatah orde baru, terkadang juga masih bisa di nikmati bagi kesejah teraan rakyat. Beberapa kebijakan pembangunan dalam kurun pelita ke pelita ,juga masih memberikan arti bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Dan akhirnya,sangat di sayangkan,kalau perjalanan Orde Baru kemudian berhenti dengan ‘tragis’,lantaran segala kebijakan lebih banyak di warnai untuk pemenuhan kepentingan Negara,pemerintah,keluarga,dan sbauh rezim. Belum lagi,kecanggihannya dalam ‘membius’ rakyat sehingga mengakibatkan rakyat senantiasa’ loyal’karenanya. Pengemasan perjuangan kepentingan kekuasaan pemerintah,dilakukan dengan sangat rapi,sehinggga seakan merupakan perjuangan demi kepentigan rakyat. D. Pemerintahan Reformasi Prinsip pokok reformasi di Indonesia adalah reformasi total. Artinya, bahwa gerakan reformasi diarahkan pada upaya pembaharuan kehidupan bangsa dan Negara menuju kehidupan yang lebih baik.Cakupan reformasi menyeluruh adalah reformasi moral,politik,sosial dan budaya, dalam membongkar budaya feodalistik yang merugikan bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Cita-cita reformasi senantiasa ditempatkan pada kerangka landasan kemerdekaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Secara demikian, reformasi total dan menyeluruh dipusatkan pada upaya pembongkaran praktik-praktik hokum atau tatanan praktik kekuasaan, kezaliman ,tradisi serta budaya politik yang merugikan kehidupan bangsa. Dalam dunia perpolitikan Indonesia, secara fisik orde baru memang telah tergusur dan Soeharto telah ‘jatuh’ (umumnya orang mengatakan ‘lengser’).Bersamaan dengan itu, ‘trens’kehidupan politik di Indonesia mulai terjadi perubahan seirama dengan perguliran gerakan reformasi total yang sedang berlangsung selama ini.Dunia politik Indonesia ebih banyak dianalisis secara proporsional. Mulai dari wacana politik,Bahasa ,kekuasaan dan bahkan dan bahkan sampai pada wacana budaya.Kesemuanya , hampir bisa dipastikan berkait dengan persoalan hubungan antara Negara dengan warga Negara (masyarakat) yang hidup diseluruh nusantara ini. Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat sebagai komunitas sudah mulai mendapat ‘ruang’ dan bisa ‘berhirup di angina baru’. Masyarakat (rakyat) memiliki kesempatan yang relative banyak untuk berekspresi dalam bidang perpolitikan nasional pada alam ‘kemajemukan’ masyarakat Indonesia, tanpa harus diwarnai oleh perasaan takut,merasa tertindas,terdominasi dan bahkan terbelenggu oleh kekuatan penguasa. Dibalik itu semua, patut dipertanyakan, sekalipun secara fisik Orde baru telah tiada,apakah demikian halnya dengan ‘rohnya’? Dahulu, ketika Orde baru berada dalam puncak ‘gemilangnya’,banyak diloyali oleh para elite pemerintah dan disegani oleh seluruh rakyat Indonesia. Sekarang, suasana telah berbalik,bukan pujian yan muncul,akan tetapi justru banyak ‘umpatan’ yang dilancarkan dengan nada negatif. Para elite berubah mengkritisi, rakyat menjadi ‘antipati’ dan bahkan di berbagai kalangan, tidak jarang memberikan vonis dan predikat Orde Baru sebagai ‘penghianat demokrasi’,’penindas rakyat’,’pengkhianat bangsa’,’sarang KKN; dan sebagainya. Hal itu,kadang masih sebatas retorika, kenyataanya masih banyak kebijakan pemerintah yang Nampak menggunakan ‘style Orde Baru, lantaran orang-orangnya (jaringanya) masih terasa kuat. Pengalaman pahit bangsa Indonesia, lewat ‘panggung politik’ di bawah pemerintahan Orde Baru,mengharuskan bangsa Indonesia berpikir ulang untuk meyusun format baru dalam menghapus praktik hegemoni Negara, yang menempatkan masyarakat, warga Negara dan rakyat pada posisi yang lemah. Melalui pemerintahan ‘hegemoniknya’, Orde Baru telah berhasil memposisikan dirinya sebagai supremasi kelas yang mampu mendominasi masyarakat dan menempatkankanya sebagai obyek pemerintahan (kekuasaan) .Pola pemerintahan Orde Baru memang sangat kental dengan konsep hegemoni, yakni kepemimpinan intelektual dan moral (sparingga, 1997). Praktik pemerintahan Orde Baru yang dipadu dengan mengandalkan ekstrimitas nilai ‘konsensus’, juga telah berhasil memetajan hubungan antara Negara dengan warga Negara , pemerintah dengan rakyat sebagai hubungan yang bersifat vertikaldalam posisi sebagai bapak (patrom) dan anak (client). Kini bangsa Indonesia sedang menatap sebuah kehidupan ‘pasca reformasi’ menuju masyarakat yang diidamkan, yaitu ‘ masyarakat Indonesia Baru’.Sebuah masyarakat, dimana wacana politik rakyat (warga Negara) harus bsa diterjemahkan identic dengan wacana politik pemerintah (Negara). Persoalan demokratisasi, supremasi hokum, merebaknya isu hak-hak asasi manusia serta cita-cita membangun civil society, kiranya telah menjadi sebuah tuntuta yang paling mendesak. Gagasan pemberdayaan masyarakat, diharapkan agar rakyat memiliki posisi tawar (bargaining power) yang sejajar dengan Negara (penguasa) .Dia bukanlah sebuah ‘agen’ atau ‘instrumen’ kekuatan penguasa, melainkan harus diartikan sebagai ‘mitra’ Negara yang memiliki kedudukan yang setara. Kendatipun demikian , dalam menuju kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih baik, kiranya tidak semudah membalik ‘telapak tangan’.Dalam kaitan ini, Eep Saefulloh Fatah (2000), menegaskan bahwa perubahan yang terjadi setelah soeharto jatuh, tidak bisa dipahami sebagai sebuah ‘potret’ semata. Sebab perubahan masyarakat Indonesia, entah namanya reformasi, transisi menuju demokrasi, menuju Indonesia baru atau apa pun, adalah proses perjalanan gambar bergerak yang tak bisa dipisahkan dari rangkaian jutaan gambar-gambar sebelumnya. Dalam menata ulang kehidupan bangsa kedalam format yang lebih baik, dibutuhkan bukan saja kerja rekontruksi politik di tataran praktis,melainkan juga dikonstruksi wacana dan paradigma yang bukti sesat. Untuk itulah masyarakat Indonesia memerlukan lalu-lintas gagasan yang serius dan intens, agar proses dekonstruksi wacana tersebut benar-benar sejalan dengan kebutuhan demokrasi. Ternyata, jaman pemerintahan reformasi di bawah kepemimpnan Gus Dur, juga tidak banyak memberikan harapan kepada rakyat.Apalagi jika dibandingkan dengan kinerja kenegaraanya, Gus Dur juga tidak menampakkan prestasi yang lebih baik ketimbang presiden-presiden sebelumnya. Banyak kasus kenegaraan dan kemasyarakatan muncul dalam era pemerintahan ini, sehingga tidak saja mencuat dalam kehidupan internasional.Tentu, dalam kaitan ini masih menjadi perdebatan yang sangat hangat antara yang proaktif dan menolaknya.Identifikasi persoalan kenegaraan pada jaman Gus Dur, paling tidak dapat di kemukakan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, rekonstruksi persepsi dan mekanisme demokrasi dalam tataran elite politik, Nampak belum berjalan secara proposional.Hal ini dapat diketahui adanya konflik politik antara lembaga-lembaga Negara, terutama badan legislative (DPR/MPR) dengan Presiden.Dari sisu legislative, Nampak lebih banyak memfokuskan pada fungsinya sebagai badan pengawasan terhadap pemerintah, ketimbang menggeluti aktifitas dalam pembuatan undang-undang. Sebaliknya dari sisi Presiden, juga Nampak gejala yang sama.Presiden terkesan banyak melakukan klaim politik nasional, dan itupun banyak dilakukan sendirian. Pembagian tugas yang tidak jelas dengan wakil presiden,semakin tidak jelasnya kekompakan dua figure nasional ini. Lebih parah lagi, konflik yang terjadi antara DPR/MPR dan Presiden, masing-masing saling cenderung mencari dan memegang benarnya sendiri.Kondisidemikian lebih menguatkan gagalnya enyelesaia konflik lewat jalan komromis, sebagaimana yang direncanakan. Kedua, banyak konflik social baik vertical dan horizontal, sehingga sampai mengancam keutuhan ersatuan dan kesatuan bangsa.Ancaman disentegrasi yang muncul di berbagai daerah (misalnya Aceh, Papua, Maluku), belum lagi ditambah dengan sederetan persoalan-persoalan konflik etnis, seperti kasus sampit,Ambon,Poso dan sebagainya, semakin menambah merosotnya penilaian pemerintahan reformasi dibawah kepemimpinan Gus Dur. Dia lebih banyak melakukan kunjungan keluar negeri, ketimbang menyelesaikan persoalan dalam negeri yang justru mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Ketiga, realisasi supremasi hokum Nampak tidak berjalan mulai kasus-kasus besar dalam level nasional, misalnya penyelesaian kasus Tommy Soeharto yang sempat menghilang setelah divonis peradilan, yang waktu itu tidak diketahui dimana tempat persembunyianya.Selain itu, beberapa kasus koruptor kelas ‘kakap’ yang gagal diperadilkan,sungguh ini menjadi catatan serius bagi kepemimpinannya. Belum lagi, merebaknya kasus peradilan rakyat yang ‘main hakim sendiri’, misalnya pembantaian dukun santet, pembakaran pejahat oleh massa danditambah lagi dengan kerusuhan meledaknya ‘bom’ di berapa tempat dan sebagainya, semakin mewarnai goresan kepemimpinannya dalam menegakkan kebenaran,keadilan dan ancaman harkat kemanusiaan. Keempat, terkesan bahwa dia berjalan sendiri ‘walaupun memiliki hak prerogative), misalnya pemberhentian menteri-menteri dalam kabinetnya tanpa alas an yang jelas. Hal ini menimbulkan kesan bahwa presiden cenderung mengambil kebijakan secara sepihak dan otoriter, yang ujung-ujungnya akan menambah sederetan lawan politiknya dalam memimpin Negara ini. Kelima, kesan saling ngotot, dan bahkan mencari benar sendiri antara DPR/MPR dan dirinya sebagai Presiden, terutama terhadap keluarnya memorandum I dan II serta Sidang Istimewa (dalam kasus Bulogate dan Bruneigate) , pengangkatan penjabat POLRI, keluarnya Dekrit (Maklumat 23 Juli 2001), membawanya dia dalam sidang Istimewa (walauun tidak hadir), yang akibatnya tercabutnya mandate MPR dan pemberhentian jabatanya sebagai Presiden. Keenam, sebagai figure nomor satu di reublik ini, Gus Dur sering melontarkan pernyataan-pernyataan yang membingungkan elite politik dan rakyat secara keseluruhan. Dia terkesan berubah-ubah,pendirianya sulit di cenak rakyat secara jelas, dank arena itu rakyat sempat dibuatnya kebingungan olehnya. Sebagai seorang Presiden, seharusnya dia mamu melontarkan pernyataan yang mudah diahami oleh rakyat, sehingga dapatdigunakan sebagai panutan rakyat.Dari style kefigurannya yang seperti itu, samai The New York Time (NYT), memberikan julukan Presiden Wahid yang sudah memerintah selama 21 bulan itu sebagai Erratic, aneh dan suka berubah-ubah (Jawa Pos 23 Juli 2001). Lebih keras lagi, dia disebut sebagai ineffectual, yaitu tidak jalan dan tak bermanfaat.Lebih lanjut, NYT juga menyebut presiden Wahid sebagai sosok yang quirky (gampang berubah-ubah). Memang bukan Abdurrahman Wahid kalau tidak begitu! Namun demikian terleas dengan itu semua,paling tidak penerapan basis agenda reformasi telah dia canangkan dalam kepemimpinannya. Inipun telah muncul lama ketika masih jaman Soeharto, dengan’Forum Demokrasi’ yang dia orbitkan.Selain itu, kodisi Negara dan bangsa memang sudah tidak menguntungkan buat Gus Dur.Begitu dia naik menjadi orang nomor satu dinegeri ini, Negara sudah sangat carut-marut. Krisis multidimensional seakan sudah tidak bis dibentung, nilai ruiah merosos tajam dimata nilai uang dunia (dollar).Belum lagi, factor endukung ada tataran elite pusat banyak yang berseberanagan dan bahkan terkesan menghambat, semakin menyulitkan kinerja kepemimpinannya. Secara demikian, bukan tidak ada keteladanan yang dapat dietik dari kepemimpinannya.Jiwanyayang tegar menghadapi cobaan, walauun dalam kondisi sedang sakit, dia tidak pernah mengeluh dan mempermasalahkan dalam melaksanakan tugas kenegaraanya. Bahkan, ketegaran dan mental bajanya selalu Nampak ketika MPR E. Kaji Banding Paradigma Hubungan Negara dan Warga Negara (Kasus Orde Baru dan Pemerintahan Reformasi) Paradigma yang digunakan dalam memetakan hubungan negara dan warga negara antara pemerintahan Orde Baru dan pemerintahan Reformasi, nampak terdapat perbedaan yang berarti. Hubungan negara dan warga negara pada era Orde Baru, banyak diilhami oleh jiwa teori Hegemoni, sebagaimana dikemukakan oleh Antonio Gramsci; sedangkan pada era Reformasi lebih banyak diilhami oleh teori Struckturasi yang dikemukakan oleh Anthony Giddens. Jika dirunut dari latar berkembangnya, kedua teori itu sama-sama muncul sebagai sebuah ‘reaksi’ terhadap teori yang ada sebelumnya.Gagasan munculnya teori Hegemoni Gramscian misalnya, merupakan cerminan kekecewaannya terhadap praktik paham Marxisme ortodoks; yang banyak mengunggulkan kekuatan ekonomi dan teknologi sebagai diterminan (penentu) perubahan sejarah kehidupan manusia dan memisahkan elemen politik, kebudayaan dan ideologi dari sub-struktur produksi (Sugiono, 1999).Dalam pandangan Gramsci, keasyikan kaum Marxis dengan unsur ekonomi sebagai diterminan dalam perubahan sosial dan historis mengakibatkan mereka menganggap sepi signifikansi masuknya kaum ploretariat dalam ide-ide kelompok berkuasa, lantaran ide-ide semacam politik, ideologi dan kebudayaan dianggap sebagai faktor non-ekonomi.Kaum Marxis tidak pernah menanggapi secara serius persoalan ideologi dan kultural, bahkan mereka justru memusatkan perhatiaannya ke arah konflik yang timbul dalam dua kelas sosial (borjuis versus proletar).Penggunaan konsep ‘hegemoni’ oleh Gramsci, bisa dipandang sebagai upaya menjembatani jurang antara substruktur dan suprasutuktur, dengan menempatkan kepemimpinan politik, intelektual, kultural, ideologi dan moral. Sementara itu, teori Strukturasi (Giddenian), muncul sebagai suatu reaksi dari pertentangan antara dua kubu teori sosial (Priyono,1999); yaitu antara kelompok ‘teori strukturalisme, fungsionalisme, dan struktural-fungsional’(Marx, Durkheim dan Parsons) dengan kelompok teori ‘fenomenologi, ethnometodologi dan psikoanalisis’ (Goffman, Schutz dan Garfinkel). Kubu pertama mengajukan prioritas bahwa keseluruhan itu harus berada di atas pengalaman pelaku seseorang; sedangkan kubu kedua, menempatkan bahwa tindakan perorangan berada di atas gejala keseluruhan. Dengan kata lain, yang pertama memandang struktur berada di atas pelaku (agency) dan yang kedua, memandang pelaku (agency) berada di atas strukur. Bagi Giddens, perkara sentral ilmu sosial tidak terletak pada kajian gradasional antara ‘struktur’ dan ‘agency’, akan tetapi bagaimana antara keduanya mempunyai hubungan yang bersifat interaktif (timbal-balik). Dan inilah bangunan tata pikir teori Giddenian, sehingga disebutnya dengan ‘strukturasi’, yang menekankan struktur dan agency bukanlah ‘dualisme’, akan tetapi lebih ditekankan pada sifatnya yang ‘dualitas’. Sebenarnya konsep struktur dan agen ini, muncul juga dalam konsep hegemoni Gramsci. Dia menjelaskan bahwa kesalahan kaum Marxis ortodoks yang selalu mengagungkan faktor konomi dan teknologi sebagai hal yang dominan dalam kehidupan manusia (bersifat mekanis), merupakan sikap yang tidak memper-timbangkan sifat manusia sebagai ‘agen’ yang memiliki keaktifan dan kesadaran yang bersifat dinamis. Sedangkan dalam kaitannya dengan ‘struktur’, Gramsci lebih banyak mengkritik kaum Marxis, yang memisahkan faktor polotik, ideologi dan kultural yang tidak memiliki signifikansi dengan faktor ekonomi. Giddens sendiri, juga melancarkan kritiknya terhadap kaum Marxian. Dalam mengantarkan buku “The Third Way”, I Wibowo (2000) menegaskan bahwa kritik Giddens berkisar pada gagasan tentang ‘materialisme historis’ yang dikembangkan oleh Karl Marx yang dianggapnya tidak realistis. Secara demikian dapat ditegaskan substansi pokok antara teori hegemoni (Gramscian) dan teori strukturasi (Giddenian), yaitu sama-sama digunakan sebagai sarana menjembatani problema teoritis tentnag hubungan antara ‘penguasa dengan yang dikuasai’, negara dengan masyarakat’ dari aplikasi teori sebelumnya. Teori hegemoni, digunakan untuk menjembatani konflik kelas penguasa dan yang dikuasai, yang bersumber pada solusi ekonomi sebagaimana dielaborasi dari kaum Marxian ortodoks, dan menggesernya ke arah solusi politik, ideologi, kultural san moral. Sementara itu, teori strukturasi (Giddenian), lahir sebagai upaya menjembatani dua kubu teori ektrimitas, antara yang mengagungkan ‘struktur’ dan yang mengagungkan ‘tindakan manusia’ (agency). Dalam posisinya sebagai jembatan penyelesaian persoalan kehidupan manusia dan negara itu, ada beberapa varian (Al Hakim, 2000) yang perlu dicari perbedaan orientasinya, baik dalam teori hegemoni dan teori strukturasi.Varian-varian yang diangkat, menunjukkan adanya hubungan antara kedua teori itu, namun dalam kapasitas kajian yang menunjukkan perbedaan-perbedaan. Beberapa varian yang dimaksud, antara lain dapat dikemukakan berikut. Pertama, varian tentang posisi negara dan masyarakat (warga negara).Dalam pandangan Gramscian, negara (pemerintah) dipandang berada di atas warga negara atau masyarakat.Negara ditempatkan sebagai struktur, posisi masyarakat adalah sebagai agen yang memenuhi kehendak struktur dan sekaligus sebgai sarana hegemoni.Sedangkan pandangan Giddenian, negara dipandang memiliki posisi yang sejajar dengan masyarakat atau warga negara. Dalam kaitan ini, secara eksplisit Giddens (2000) menyebut negara sebagai ‘mitra’ masyarakat atau warga negara, yang saling memberi kemudahan dan saling mengontrol. Pemerintah dan rakyat, negara dan warga negara hidup dalam informasi tunggal. Cara-cara melakukan segala sesuatunya diperiksa dengan cermat dan cakupan dari apa yang dipandang korup, pada dasarnya tidak dapat diterima. Kedua, varian yang berkaitan dengan fungsi norma, ideologi, nilai dan kultur dalam kehidupan masyarakat dan negara. Dalam pandangan Gramsci, norma-norma politik, ideologi, kultur dan moral ditempatkan sebgai instrumen hegemoni. Melalui norma-norma dan nilai tersebut, negara harus mampu meyakinkan ideologinya agar berterima dengan rakyat.Kesadaran atau kepatuhan aktif masyarakat, semata-mata diartikan sebgai ‘spontanitas psikologis; dalam melegitimasi kekuasaan atau pemerintah berkuasa.Dengan demikian kesadaran praktis, dalam pandangan Gramscian menjadi melemah; atau dengan kata lain, resistensi masyarakat diredam sedemikian rupa sehingga membuka jalan lapang bagi praktik hegemoni. Sebaliknya, dalam teori strukturasi Giddens, norma-norma, ideologi, nilai moral dan kultur dimasukkan sebagai unsur struktur yang mampu ‘membingkai’ praktik sosial. Masyarakat dalam kaitan ini, menyediakan ‘ruang’ dan ‘waktu’ bagi berlangsungnya praktik sosial yang dimaksud. Itulah sebabnya, struktur yang didalamnya mengandung skemata signifikansi, dominasi dan legitimasi, mengantarkan terjadinya proses dialektik dalam reproduksi struktur atau bahkan pembentukan (produksi) struktur baru. Jadi kesadaran praktis menjadi ‘kata kunci’ bagi berlangsungnya praktik sosial. Dengan kata lain, dalam pandangan Gramsci menempatkan norma dan nilai digunakan sebagai sarana ide-ide atas ke bawah untuk mendapatkan persetujuan masyarakat; sedangkan pandangan Giddens justru menempatkan norma dan nilai sebagai pedoman atau aturan (rule) dan sumber daya (resources) bagi terjadinya prakti dan pemberdayaan sosial. Ketiga, varian yang berkaitan dengan pandangan kedua teori terhadap negara. Gramsci memandang konsep negara yang bersifat ‘integral’, dalam arti bahwa negara merupakan hasil gabungan antara masyarakat politik dan masyarakat sipil adalah keseluruhan aparatus transmisi yang biasa disebut ‘swasta’, seperti universitas, sekolah, media, kelompok seni dan sebagainya. Batas antara masyarakat politik dan masyarakat sipil menjadi tidak jelas, lantaran posisi masyarakat tertenggelamkan oleh masyarakat politik.Eksistensi masyarakat sipil baru nampak, ketika masyarakat politik (negara pengambil kebijakan dan pemilik kekuasaan) ingin mendapatkan legitimasi dari masyarakat.Jadi negara adalah aparatus koersif pemerintah (penguasa) sekaligus sebagai aparatus hegemoni terhadap institusi swasta.Sementara itu, Giddens tetap memandang antara negara dan masyarakat sipil mempunyai hubungan yang sejajar.Hubungan kesejajaran ini, menampakkan gagasan Giddens dalam membangun konteks demokrasi dengan menggunakan wacana global. Kendati demikian, apa yang dianggap sama tidak harus datang dari negara dunia, melainkan bisa menggunakan konsep ‘lokalisasi’ menuju ‘globalisasi’. Eksistensi negara dan masyarakat sipil bersifat dialektik, dalam arti saling memberikan kewajiban dan mengakui hak yang melekat paa masing-masing.Negara tidak dilawankan dengan masyarakat.Karena itulah negara harus memperluas peran publik ke arah transparasi dan menekansedemikian rupa sehingga dia tidak memiliki musuh (Giddens, 2000). Secara demikian, melalui hubungan yang bersifat ‘resiprokal’ itu, mengisyaratkan bahwa teori strukturasi ingin mencipatkan kehidupan bangsa dan negara yang dibangun atas dasar prinsip ‘pendemokrasian demokrasi’. Dan hal ini pun juga menjadi komitmen dan agenda serta cita-cita reformasi total yang telah digulirkan di Indonesia. BAB III A. RINGKASAN Hubungan antara warga negara dengan negara, dengan mengunakan materi hak dan kewajiban masing-masing hendaknya perlu di petakan secara normatif sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dn nilai konstitusi, hal ini menunjukkan adanya batas-batas konstitusional terhadap campur tangan (baca:korporatisai) negara terhadap kehidupan warga negaranya .korporatisasi itu, akan menentukan seberapa besar legitimasiwarga negara terhadap pemerintah negarannya. Paradigma hubungan negara dan warga negara pada masa pemerintahan Orde Baru, banyak dipetakan secara vertikal ,dimana negara ditempatkan di atas warga negara. Refleksi pemerintahan ini,banyak di latari oleh teori Hegemoni (Antonio Gramsci) bahkan realisasinyajustru dipadu dengan sarana militer,dimana ABRI (sekarang TNI) sebagai instrumen utamanya. Sedangkan pada pemerintah reformasi, negara dan warga negara ditempatkan pada posisi sejajar, yang Nampak dielaborasi dari teori strukturalisasi sebagaimana dikemukakan oleh Athony Giddens. Hubungan negara dan warga negara, merupakan hubungan antara struktur dan agensi yang berlangsung secara timbal-balik, yang terjadi berulang-ulang dalam lintasan ruang dan waktu .kesejajaran negara dan warga negara , dalam masa pemerintahan reformasi selalu diadaptasikan ke dalam tuntunan agenda reformasi total,antara lain adalah terciptanya kehidupan masyarakat kesederajatan dan keberadapan (civil society) yang diindikatori oleh adanya demokratisasi,supremasi hukum dan penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia (HAM). B. SARAN Penulis menyarankan untuk mempelajari Hubungan Warga Negara dengan Negara, lebih mendalam agar kegitan pemahaman yang dilakukan berkualitas lebih baik sehingga efektif dan efesien. DAFTAR PUSTAKA Al Hakim Suparlan dan dkk, Pendidikan Kwarganegaraan, madani, Malang, 2014, hlm. 124.

1 komentar: