Senin, 22 Juni 2015

KONSTITUSI NEGARA

Cara pada pokoknya mempunyai pendapat yang sama agar Dasar Negara seharusnya: i. Sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia ii. Dijiwai semangat revolusi 17 Agustus 1945 iii. Musyawarah hendaknya menjadi dasar dalam segala perundingan dan penyelesaian mengenai segala persoalan kenegaraan iv. Terjamin adanya kebebasan beragama dan beribadat v. Berisikan jaminn sendi-sendi perikemanusiaan, kebangsaan yang luas, dan keadilan sosial Pada mulanya dengan terbentuknya badan konstituante dapat diharapkan segera dihasilkan sebuah Undang-Undang Dasar yang dapat memberikan suatu system yang bisa membawa stabilitas politik. Tetapi harapan tersebut sulit terwujud, mengingat perdebatan dalam tubuh konstituante begitu tajam, khususnya dalam membahas Dasar Negara, karena mereka mengunggulkan kebenaran masing-masing ideology yang mereka anut. Perdebatan di dalam tubuh konstituante sudah sampai pada kondisi kritis dan hal ini membahayakan Negara dan bangsa. Untuk menyelamatkan kondisi darurat Negara, maka pada tanggal 5 Juli 1959 sebagai presiden Ir. Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden. Dalam sejarah ketatanegaraan RI, Dekrit Presiden menjadi inspirasi timbulnya ide untuk melaksanakan ‘Demokrasi Terpimpin’, suatu demokrasi yang dianggap sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang dibedakan dengan Demokrasi Liberal yang selama ini dilaksanakan oleh bangsa Indonesia denga Undang-Undang Dasar Sementara sebagai sumbernya. Untuk melaksanakan demokrasi terpimpin ini tidak mungkin lagi dipertahankan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS). Oleh karena itu, untuk merealisasikan ide tersebut, maka pada tanggal 19 februari 19 59, Dewan Menteri melakukan sidang dan pada akhirnya mengambil sebuah keputusan dengan suara bulat mengenai pelaksanaan demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Ada beberapa poin penting dalam putusan Dewan Menteri Tersebut, yang dapat dipaparkan sebagai berikut, yaitu: 1. Tentang Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945 merupakan ‘dokumen historis’ atas dasar mana revolusi dimulai dan dapat dipakai sebagai landasan guna penyelesaian pada tingkat sekarang. UUD 1945 adalah cukup demokratis dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan lebih menjamin terlaksananya demokrasi terpimpin. Selain itu UUD 1945 menjamin pemerintahan yang stabil selama lima tahun, oleh karenanya UUD 1945 ini dipertahankan sebagai keseluruhan. Untuk mendekati golongan-golongan islam, berhubung dengan penyelesaian dan pemeliharaan keamanan, diakui adanya “Piagam Jakarta” tertanggal 22 Juni 1945, yang ditandatangani oleh Soekarno, Mohammad Hatta, AA. Maramis, Abikusumo Tjokrosujoso, A.K Muzakir, Agus Salim, A. Subarjo, Wahid HAsyim, dan Muhammad Yamin. Yang berkaitan dengan perubahan, tambahan, dan penyempurnaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat dilaksanakan dengan melalui pasal 37 UUD 1945, yaitu oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sebaiknya hal ini baru dilakukan setelah beberapa tahun berlaku dan setelah tercapainya stabilisasi dilapangan politik dan ekonomi. 2. Tentang prosedur “kembali ke UUD 1945” Prosedur kembali ke UUD 1945 dilakukan secara konstitusionil dan ditetapkan oleh Dewan Menteri, yaitu; apabila terdapat kata sepakat antara Presiden dan Dewan Menteri, maka Pemerintah meminta supaya diadakan siding Pleno Konstituante. Kemudian atas nama Pemerintahan disampaikan oleh Presiden amanat berdasarkan pasal 134 UUDS RI 1950 kepada konstituante yang berisi “anjuran” supaya UUD RI 1945 ditetapkan. Jika anjurn itu diterima oleh Konstituante, maka pemerintah atas dasar ketentuan pasal 37 UUDS RI 1950 “mengumumkan UUD 1945 itu dengan keseluruhan”. Pengumuman dengan keseluruhan itu dilakukan dengan suatu Piagam yang ditandatangani dalam suatu siding Pleno Konstituante di Bandung oleh Presiden, para Menteri, dan para anggota Konstituante. Piagam Bandung itu diantaranya memuat ketentuan-ketentuan; (i) Tentang adanya Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945, (ii) Segala hasil konstituante yang telah diserahkan kepada pemerintah, (iii) Pemerintah segera membentuk suatu Panitia Negara untuk meninjau segala peraturan-peraturan hokum yang berlaku sampai sekarang guna disesuaikan dengan UUD 1945, (iv) tentang berlakunya UUD Negara Republik Insonesia bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sejak penandatanganan Piagam Bandung, (v) Dengan ditetapkannya UUD RI 1945 sebagai UUD Negara RI, Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD RI 1945 tersebut, sehingga Kabinet Karya harus mengembalikan portofolionya kepada presiden; yang mengangkat menteri-menteri menurut pasal 17 UUD RI 1945, (vi) Sesudah pemilu, maka DPR akan dilajukan rancangan MPR yang terdiri dari anggota anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan. 3. Tentang masuknya golongan fungsional ke dalam DPR Untuk melaksanakan semokrasi Terpimpin, selanjutnya telah disepakati prinsip-prinsip pelaksanaan sebagai berikut; (i). Untuk menyehatkan sistem kepartaian, maka harus diadakan penyederhanaan partai-partai yang akan diatur dengan Undang-Undang Kepartaian dan dengan jalan perubahan/penyempurnaan Undang-undang Pemilihan Umum (UU No. 7 tahun 1953), tidak dilakukan pembubaran Partai-partai. (ii). Di dalam DPR yang akan dibentuk dengan jalan pemilihan Umum yang akan dating akan duduk pula wakil-wakil dari golongan fungsional dalam masyarakat (utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan) disamping wakil-wakil dari partai-partai. (iii). Presiden/Pamglima Tertinggi mengangkat anggota-anggota DPR dari Angkatan Bersenjata (AD,AL,AU dan Kepolisian). Pengangkatan dari jumlah wakil yang akan diangkat diatur dalam UU, dan jumlah seluruhnya ditetapkan 35 orang. Sehubungan dengan pengangkatan tersebut, maka anggota angkatan bersenjata tidak lagi menggunakan hak pilih aktif dan hak pilih pasif. Sebagai tindak lanjut dari Keputusan Dewan Menteri, maka pada sidang Pleno Konstituante tanggal 22 April 1959, Presiden Ir. Soekarno atas nama Pemerintahan memberikan amanatnya yang berisikan anjuran kepada Konstituante untuk menerima berlakunya kembali UUD 1945. Untuk menentukan sikap dari anggota konstituante diadakanlah pemungutan suara mengenai anjuran kembali ke UUD 1945. Namun dalam pemungutan suara tersebut tidak berhasil mencapai suara yang diperlukan untuk dapat diterimanya anjuran tersebut. Karena suara yang diperlukan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah suara anggota yang hadir, sehingga dari tiga kali dilakukan pemungutan suara yaitu pada tanggal 30 Mei, tanggal 1 dan 2 Juni, usul kembali UUD 1945 ditolak oleh konstituante, dan dengan sendirinya pemungutan suara tentang amandemen dan lain-lain tidak diadakan lagi. Kemudian pada tanggal 2 Juni Konstoituante rese, sidang ini ternyata menjadi sidang yang terakhir. Situasi yang demikian menyebabkan sebagian anggota konstituante untuk tidak mau lagi mengadakan sidang-sidangnya. Untuk mengatasi keadaan tersebut, presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Keputusan Presiden RI Nomor: 150 Tahun 1950, tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945. Ada 4 (empat) hal yang dijadikan dasar atas keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut, yaitu; (i). Bahwa anjuran presiden dan pemerintahan untuk kembali kepada UUD 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan amanat presiden pada yanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari konstituante sebagaiman ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara. (ii). Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar anggota sidang pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya. (iii). Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, nusa dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makamur.(iv). Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakina kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi, dengan beryakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 JUni 1945, menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstituante tersebut. Adapun isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut, yaitu; (i). Menetapkan pembubaran Konstituante, (ii). Menetapkan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai dari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS). (iii). Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Sementara, aka diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Dengan demikian, keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, menandai berlakunya kembali Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konstitusi/UUD RI dan UUDS tidak berlaku lagi dengan diikitu pemburuan konstituante yang telah bersidang kurang lebih dua setengah tahun, namun dianggap gagal karena tidak menghasilkan rancangan UUD untuk menggantikan UUDS. F. fungsi dan peranan Undang-Undang Dasar 1945 Pada pembahasan sebelumnya sedah dijelaskan bahwa tidak ada suatu negarapun didunia sekaran ini yang tidak mempunyai konstitusi atau UUD, karena konstitusi adalah bagian yang inbern dari sistem ketatanegaraan bangsa-bangsa didunia. Kehadiran konstitusi merupakan condition sine qua non (syarat mutlak) bagi sebuah Negara, begitu juga UUD 1945 bagi Indonesia, peran dan fungsi begitu urgen, tidak saja memberikan gambaran dan penjelasan tentang bentuk dan kedaulatan Negara, serta mekanisme lembaga-lembaga Negara, tetapi lebih dari itu didalamnya ditemukan relational dan kedudukan hak dan kewajiban warga negara. Dalam rangka memberikan penjelasan tentang bentuk dan daulatan Negara, maka UUD 1945 menyebutkan, bahwa Negara Indonesia ialah Negara kesatuan, yang berbentuk republic. Kemudian kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selain itu Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Kemudian untuk memberikan gambaran dan penjelasan tentang mekanisme lembaga-lembaga Negara, maka UUD 1945, berfungsi sebagai berikut; (i). Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ Negara dan (ii). Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ Negara, termasuk didalamnya terkait dengan hubungan pemerintah pusat dan daerah. Dalam hal ini, maka dalam UUD 1945 tercermin pada ketentuan bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, ketentuan III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V tentang Kementrian Negara, Bab VI tentang Pemerintahan Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab VII A tentang Dewan Perwakilan Daerah, dan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan yang mengatur relational dan kedudukan hak dan kewajiban warga Negara, maka dalam UUD 1945 tercermin dalam ketentuan Bab X tentang warga Negara dan penduduk, Bab X A tentang hak asasi manusia (HAM), Bab XI tentang agama, Bab XII tentang pertahanan dan keamanan Negara, Bab XIII tentang pendidikan dan kebudayaan, dan Bab XIV tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial. Selain itu, karena UUD 1945 merupakan hasil perjuangan politik bangsa Indonesia dimasa lampau, dan merupakan pandangan tokoh-tokoh bangsa (founding fatbers) yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang, maka tentu UUD 1945 harus dijadikan landasan dalam pelaksanaan pemerintah republic Indonesia, sehingga apa yang menjadi tujuan akhir, sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 dapat terwujud. Tujuan akhir tersebut yaitu; (i). Membentuk suatu pemerintah Negara indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, (ii). Memeajukan kesejahteraan umum dan menceedaskan kehidupan bangsa, (iii). Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. G. perubahan (amandemen) UNdang-Undang Dasar 1945 Menurut Jimly Asshidiqie dalam kajian hukum tata Negara dikenal adanya 2(dua) cara perubahan UUD sebagai konstitusi yang tertulis. Pertama, perubahan yang dilakukan menurut prosedur yang diatur sendiri oleh UUD. Cara ini biasa disebut dengan istilah ‘verfassungs-anderung’. Kedua, prosedur perubahan yang biasa disebut dengan istilah ‘verfassungs wandlung’ , yakni perubahan konstitusi yang dilakukan tidak berdasarkan cara formal yang ditentukan dalam konstitusi yang bersangkutan, melainkan lewat cara ‘revolutioner’, tidak mengikuti cara yang diatur sendiri dalam UUD yang bersangkutan. Istilah perubahan konstitusi dalam Konstitusi di beberapa Negara, berdasarkan hasil penelitian terhadap seratus konstitusi Negara, istilah ‘perubahan’ itu dapat dikualifikasikan kedalam tujuh istilah yaitu; (i). amandement (perubahan), (ii). Revision (perubahan), (iii). Alteration (perubahan), (iv). Reform (perbaikan), (v). change (pergantian), (vi). Modified (modifikasi), dan (vii). Review (tinjauan). Perubahan UUD 1945 merupakan prasyarat penting untuk membangun system ketatanegaraan dan system politik yang lebih demokratis yang mengedepankan kedaulatan rakyat, keseimbangan (checks and balances) antarcabang kekuasan dan jaminan atas hakasasi manusia. Perubahan UUD 1945 merupakan salah satu langkah penting dan mendasar untuk mengawal reformasi dan mengantarkan bangsa Indonesia menuju demokrasi yang lenih terkonsolidasi. Demokrasi atau system politik yang demokratis tidak akan dapat terwujud apabila konstitusinya kurang demokratis. Oleh karena itu, reformasi konstitusi diberbagai belahan dunia selalu identik dengan upaya membangun kehidupan kenegaraan yang lebih demokratis. Kemudian Maswadi Rauf, mengemukakan, bahwa Amandemen UUD 1945 mempunyai arti penting bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, karena dua hal. Pertama, Amandemen konstitusi merupakan suatu hal yang tidak mungkin dilakukan di Indonesia sebelum masa reformasi (maksudnya pada masa Orde Baru). Salah satu sikap politik yang diambil oleh Orde Baru adalah mempersulit terjadinya amandemen/perubahan UUD 1945. UUD 1945 dianggap sebagai dokumen yang sakral yang tidak boleh diganggu gugat, sehingga harus diterima sebagai adanya. Kedua, Amandemen UUD 1945, merupakan salah satu persyaratan penting bagi terselenggaranya demokratisasi secara lebih baik di Indonesia, karena demokratisasi akan mengalami berbagai kendala bila beberapa pasal UUD 1945 tidak di Amandemen. Dalam perjalanan negar republik Indonesia, UUD 1945 bukan saja pernah diubah, bahkan diganti, kemudian kembali lagi. Baru kurang lebih dua bulan dijalankan, melalui maklumat Wakil Presiden No. X tahun 1945 (16 Oktober 1945), yang diikuti mklumat pemerintah, tanggal 3 November 1945, maka UUD 1945 diubah dari sistem pemerintahan Presidensial menjadi Parlementer. Kemudian, UUD 1945 sam sekali diganti oleh Konstitusi RIS yang berlanjut dengan UUDS 1950. Baru kemudian sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 ditetapkan berlaku kembali. Akan tetapi dalam praktik ketatanegaraan menunjukkan UUD 1945 tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Didapati berbagai penyimpanagan yang secara esensial adalah Perubahan UUD 1945. Pengangkatan Ir. Soekarano sebagai presiden seumur hidup (Tap. MPRS No. III/MPRS/1936) sangat nyata mengubah UUD 1945. Sifat UUD 1945 yang memang cenderung memberikan kekuasaan besar pada presiden telah mendorong Soekarno yang didukung oleh militer memberlakukan kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Selanjutnya, UUD 1945 dilestarikan kedudukannya oleh Soeharto, sebab Soeharto seperti juga Soekarno ingin membangun Negara Orde Baru yang kuat dan sentralistik. Terbukti UUD 1945 mampu melegitimasi keberadaan rezim Soeharto selama 32 tahun. Dalam upaya untuk menutup peluang mengubah UUD 1945, di era Orde Baru disusunlah satu aturan dalam bentuk Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983, tantang referendum yang kemudian diikuti dengan pembentukan Undang-Undang No. 5 tahun 1985 tentang referendum. Dalam ketentuan undang-undang tersebut cukup lengkap mengatur beberapa hal yang berkaitan dengan referendum ini, yaitu; (i). referendum diadakan apabila MPR berkehendak untuk mengubah UUD 1945 sebagaimana dimaksud dalam ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1983; (ii). Referendum diselenggarakan dengan mengadakan pemungutan pendapat rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia, (iii). Daerah referendum adalah wilayah Negara RI, dan tempat/gedung perwakilan RI di luar negeri termasuk daerah referendum, (iv). Referendum diselenggarakan dalam waktu selama-lamanya 1(satu) tahun terhitung sejak dimulainya pendaftaran pemberi pendapat rakyat sampai dengan penyampaian hasil referendum kepada presiden, (v). pemungutan pendapat rakyat dilaksanakan dalam 1(satu) hari dan serentak diseluruh wilayah Negara republic Indonesia, (vi). Pelaksanaan referendum dipimpinole presiden, dan Presiden menunjuk atau membentuk suatu badan atau lembaga untuk melaksakan referendum, yang dipimpin oleh Menteri dalam Negeri. Selain itu, apabila rakyat dinyatakan menyetujui kehendak MPR untuk mengubah UUD 1945, maka hasil referendum sebagaimana dimaksut sekurang-kurangnya 90 persen dari jumlah pemberi pendapat rakyat yang terdaftar telah menggunakan hak pilihannya, dan sekurang-kurangnya harus disetujui oleh 90 persen rakyat yang mengikuti referendum. Kekuasaan Soeharto telah membelenggu suara rakyat, serta mengecilkan peran berbagai lembaga demokrasi seperti partai politik, pemilu, DPR, dan MPR, sehingga lembaga-lembaga politik menjadi tidak mampu melakukan tugasnya, yaitu memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Partai politik tidak berperan, DPR lemah berhadapan dengan eksekutif, sehingga eksekutif tidak terawasi dengan baik. Berdasarkan telaah akademis, menyimpulkan bahwa anomali politik itu terjadi karena UUD 1945 tidak mendistribusikan kekuasaan secara seimbang antara eksekutif, legislative, dan yudikatif. UUD 1945 terlampau executive heavy, memberikan kekuasaan sangat besar pada presiden sehingga kekuasaan DPR lemah, minimnya perlindungan HAM dan mekanisme checks and balances yang tidak memadai. Seiring dengan semakin kuatnya tekanan untuk mengamandemen UUD 1945, siding istimewa MPR tahun 1998 mencabut ketetapan MPR No.IV/MPR/1983. Dengan demikian secara yuridis konstitusi berlaku ketentuan pasal 37 UUD 1945 untuk mengubah UUD 1945. Pasal inilah yang menjadi acuan MPR dalam mengubah UUD 1945 yang dilakukan tahun 1999 sampai dengan 2002. Selain pasal 37 UUD 1945, BP MPR menggunakan pasal 92 peraturan tata tertib MPR mengenai tingkat-tingkat pembicaraan dalam pembuatan dan pengambilan keputusan terhadap menteri siding MPR. Perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR pada tahun 1999 hingga 2002 meliputi hampir keseluruhan menteri muatan UUD 1945, kecuali pembukaan dan prinsip-prinsip bernegara tertentu yang disepakati tidak diubah. Oleh karena itu, hasil perubahan tersebut telah mengubah secara mendasar tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada siding-sidang awal BP MPR, persoalan yang dibahas adalah mengenai system amandemen yang akan diterapkan. PAH III BP MPR memutuskan menggunakan model amandemen Amerika Serikat, yaitu dengan cara addendum. Setiap pasal baru hasil amandemen akan selali disertai dengan pasal aslinya. Tujuannya agar konteks historis dapat dilestarikan sehingga mesih tetap dapat terus dipelajari oleh generasi mendatang. Selain itu PAH III BP MPR juga menetapkan kesepakatan dasar dalam mengamandemen UUD 1945, yaitu; 1) Tidak mengubah bagian pembukaan UUD 1945 2) Tetap mempertahankan Negara kesatuan republic Indonesia 3) Perubahan dilakukan dengan cara Andendum 4) Mempertegas system pemerintahan presidensial 5) Penjelasan UUD 1945 ditiadakan, hal-hal normative dalam bagian penjelasan diangkat ke dalam pasal-pasal. Kesepakatan dasar diatas menjadi landasan dan koridor bagi MPR dalam mengamandemen UUD 1945, supaya amandemen tidak menjadi kehabisan dan tidak menghilangkan nilai-nilai filosofi dasar dari UUD 1945 seperti yang sudah termasuk dalam bagian pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar