Senin, 22 Juni 2015

Pendidikan Kewarganegaraan “Konsep Dasar Politik dan Strategi Nasional”

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri. Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk membuat makalah tentang HAM. Maka dengan ini penulis mengambil judul “Hak Asasi Manusia”. Secara teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer), dan negara. Berdasarkan beberapa rumusan hak asasi manusia di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa sisi pokok hakikat hak asasi manusia, yaitu : a. HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis. b. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa. c. HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM. Oleh karena itu, penulis ingin membahas tentang Hak Asasi Manusia, khususnya tentang Hak Asasi Manusia yang ada di Indonesia. Beserta problematikanya. B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan Rule of Law dan Negara hukum? 2. Apa prinsip-prinsip Rule of Law? 3. Bagaimana konsep dasar Hak Asasi Manusia? 4. Bagaimanakah sejarah Hak Asasi Manusia? 5. Bagaimana perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia? 6. Apa sajakah problematik Hak Asasi Manusia? 7. Bagaimana sosialisasi HAM dan peran Universitas dalam HAM? 8. Bagaimana bentuk amandemen UU 1945 mengenai HAM? 9. Bagaimanakah bentuk penegakan Hak Asasi Manusia? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian Rule of Law dan Negara hukum 2. Untuk mengetahui prinsip-prinsip Rule of Law 3. Untuk mengetahui konsep dasar Hak Asasi Manusia 4. Untuk mengetahui sejarah Hak Asasi Manusia 5. Untuk mengetahui perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia 6. Untuk mengetahui problematik Hak Asasi Manusia 7. Untuk mengetahui sosialisasi HAM dan peran Universitas dalam HAM 8. Untuk mengetahui bentuk amandemen UU 1945 mengenai HAM 9. Untuk mengetahui bentuk penegakan Hak Asasi Manusia D. Manfaat 1. Mengetahui pengertian Rule of Law dan Negara hukum 2. Mengetahui prinsip-prinsip Rule of Law 3. Mengetahui konsep dasar Hak Asasi Manusia 4. Mengetahui sejarah Hak Asasi Manusia 5. Mengetahui perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia 6. Mengetahui problematik Hak Asasi Manusia 7. Mengetahui sosialisasi HAM dan peran Universitas dalam HAM 8. Mengetahui bentuk amandemen UU 1945 mengenai HAM 9. Mengetahui bentuk penegakan Hak Asasi Manusia BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Rule Of Law dan Negara Hukum Menurut Philipus M.Hadjon misalnya bahwa Negara hukum yang menurut istilah bahasa Belanda rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, yaitu dari kekuasaan raja yang sewenang-wenang untuk mewujudkan Negara yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Gerakan masyarakat yang menghendaki bahwa kekuasaan raja maupun penyelenggara Negara harus dibatasi dan diatur melalui suatu peraturan perundang-undangan, dan pelaksanaan dalam hubungannya dengan segala peraturan perundang-undangan itulah yang sering diistilahkan dengan Rule of Law lebih memiliki ciri yang evolusioner, sedangkan upaya untuk mewujudkan Negara hukum atau rechts-staat lebih memiliki ciri yang revolusioner. Berdasarkan bentuknya sebenarnya Rule of Law adalah kekuasaan publik yang diatur secara legal. Oleh karena itu setiap organisasi atau persekutuan hidup dalam masyarakat termasuk Negara mendasar pada Rule of Law. Konsekuensinya setiap Negara akan mengatakan mendasarkan pada Rule of Law dalam kehidupan kenegaraannya, meskipun Negara tersebut adalah Negara otoriter. Atas dasar alasan ini maka diakui bahwa sulit menentukan pengertian Rule of Law secara universal, karena setiap masyarakat melahirkan pengertian itupun secara berbeda pula (lihat Soegito,2006:4). Carl J. Friedrich dalam bukunya Constitutional Government and Democrazcy: Theory and Practice in Europe and America, memperkenalkan istilah Negara hukum dengan istilah rehtsstaat atau constitutional state. Demikian juga tokoh lain yang membahas rechtsstaat adalah Friederich J. Stahl, yang menurutnya terdapat empat unsur pokok untuk berdirinya satu rechssta, yaitu : (1) hak-hak asasi manusia; (2) pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; (3) pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan; (4) peradilan administrasi dalam perselisihan (Muhtaj,2005:23). Bagi Negara Indonesia ditentukan secara yuridis formal bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum. Hal itu tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV , yang secara eksplisit dijelaskan bahwa “…. Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia….”. Hal ini mengandung arti bahwa suatu keharusan Negara Indonesia yang didirikan itu berdasarkan atas Undang-Undang Dasar Negara. Dengan pengertian lain dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum atau rechtsttat dan bukan Negara kekuasaan atau machtsstaat. Di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut system konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak, yang menjamin persamaan setiap warga Negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak penguasa. Oleh karena itu berdasarkan pengertian ini Negara Indonesia pada hakikatnya menganut prinsip “Rule of Law, and not of Man”, yang sejalan dengan pengertian nomocrattie, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum atau nomos. Dalam Negara hukum yang demikian ini, harus diadakan jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka atau machtsstat. Karena itu perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan menurut Undang-Undang Dasar atau constitutional democracy yang diimbangi dengan penegasan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis (democratische rechtsstaat) Asshiddique, 2005:69-70). B. Prinsip-prinsip Rule of Law Menurut Albert Venn Dicey dalam ‘Introduction to the Law of The Constitution,memperkenal istilah the rule of law yang secara sederhana diartikan sebagai suatu keteraturan hukum. Menurut Dicey terdapat tiga unsur yang fundamental dalam Rule of Law, yaitu: (1) supremasi aturan-aturan hukum, tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang, dalam arti seseorang hanya boleh dihukum, jikalau memang melanggar hukum; (2) kedudukan yang sama di muka umum; (3) terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh Undang-Undang serta keputusan-keputusan pengadilan. Suatu hal yang harus diperhatikan bahwa jikalau dalam hubungan dengan Negara hanya berdasarkan prinsip tersebut, maka Negara tidak bersifat proaktif melainkan pasif. Dengan perkataan lain Negara tidak hanya sebagai ‘penjaga malam’ (nachtwachterstaat), melainkan harus aktif melaksanakan upaya-upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan cara mengatur kehidupan social-ekonomi. Secara praktis, pertemuan ICJ di Bangkok tahun 1965 semakin menguatkan posisi rule of law dalam kehidupan bernegara. Komisi ini merumuskan syarat-syarat pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law yang dinamis, yaitu: (1) perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individual, konstitusi harus pula menentukan teknis-prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; (2) lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak; (3) pemilihan umum yang bebas; (4) kebebasan menyatakan pendapat; (5) kebebasan berserikat/berorganisasi dan berposisi; dan (6) pendidikan kewarganegaraan (Azhary, 1995:59). Terlepas dari adanya pemikiran dan praktek konsep Negara hukum yang berbeda, konsep Negara hukum dan rule of law adalah suatu realitas dari cita-cita sebuah negara bangsa, termasuk Negara Indonesia. C. Konsep Dasar Hak-hak Asasi Manusia Dimensi kehidupan yang mencuat dewasa ini, terutama bagi kehidupan bangsa-bangsa di dunia (termasuk Indonesia), salah satunya adalah berkaitan dengan isu tentang hak asasi manusia (HAM). Tidak saja mengenai perjalanan paham yang melatari, tetapi lebih dari itu merebaknya berbagai kasus pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Mengapa hal ini selalu menjadi perhatian dunia, negara-negara dan bahkan manusia sebagai pemilik dan sekaligus pelakunya? Persoalan hak asasi manusia (HAM), berkaitan langsung dengan eksistensi martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Itulah sebabnya, konsep hak hak asasi manusia harus ditangkap dan dimaknai sebagai sebuah potensi yang dimiliki oleh manusia secara kodrati yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, sebagai hak dasar, pokok dan asasi yang melekat bersamaan dengan kelahiran manusia di dunia. John Locke, menyebut hak-hak asasi ini meliputi hak hidup, hak milik, dan hak merdeka. Dari hak-hak asasi ini, kemudian berkembang menjadi hak-hak lain seperti hak berbicara, hak beragama, hak berusaha, hak berbudaya, hak politik, hak sama dalam hukum , dan sebagainya. Martabat manusia, sebagai substansi sentral hak-hak asasi manusia di dalamnya mengandung aspek bahwa manusia memiliki hubungan secara eksistensial dengan Tuhannya, dan karena itu pada dasarnya setiap manusia memiliki martabat yang sama. Dalam kaitan ini, Wiryotenoyo (1983) menegaskan bahwa martabat manusia itu bukanlah pemberian sesama manusia berdasarkan kebaikan hati, bukan pemberian penguasa (di dalam negara) karena belas kasihannya kepada rakyat, melainkan milik asasi manusia, sesuatu yang dimiliki oleh manusia karena dia adalah manusia. Sebagai milik manusia, martabat eksistensial itu merupakan sumber pokok dari hak-hak asasi manusia. Manusia ditempatkan pada keluhuran harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran untuk mengemban kodratnya sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial. Karena itu, sebagai milik asasi manusia, martabat tidak dapat ditiadakan atau dirubah oleh siapapun dan dengan cara apapun. Hal ini berarti, tidak seorangpun manusia dapat merubah mertabat eksistensial seseorang, sehingga ia bermartabat lebih rendah atau lebih tinggi ketimbang manusia lain. Sekalipun demikian, tidak semua orang (atau bahkan penguasa negara) menyadari akan martabat kemanusiaan tadi baik pengakuan maupun perlakuaannya. Kenyataan yang ada dalam kehidupan, pengakuan terhadap manusia lebih gampang ketimbang perlakuannya. Oleh karena itu, persoalan yang hendak dipecahkan sekarang adalah bagaimana memperlakukan hak-hak asasi manusia itu secara konkrit (dalam kehidupan nyata) sesuai dengan martabat kemanusiaannya. Karena setiap manusia memiliki martabat yang sama, maka dalam hak-hak asasi mereka harus mendapat perlakuan yang sama, walaupun kondisi mereka berbeda-beda. Secara kondisional, memang seorang pengemis berbeda dengan seorang jutawan, seorang buruh kasar berbeda dengan majikan atau menteri, seorang yang berkulit hitam berbeda dengan seorang yang berkulit putih, seorang pria berbeda dengan seorang wanita, seorang yang beragama Islam berbeda dengan seorang manusia yang beragama Hindu, Kristen dan Budha; tetapi secara eksistensial mereka memiliki martabat yang sama. Dengan kondisi demikian, menuntut adanya kewajiban seseorang, bangsa dan bahkan negara untuk menghormati martabat semua manusia. Secara demikian, ide dasar hak-hak asasi manusia harus diletakkan pada sebuah pandangan bahwa manusia (lengkap dengan potensi hak asasi yang melekat pada dirinya), harus diakui dan diperlakukan dalam posisi derajat dan kedudukan yang sama. Dalam kaitan itu (Wignjosoebroto, 1997), menegaskan bahwa kenyataan pada awal sejarah perkembangan negeri-negeri Barat, proses berkembangnya ide hak-hak asasi manusia, bebarengan dengan berkembangnya ide untuk membangun suatu negara bangsa (nation state) yang demokratis dan berinfrastruktur masyarakat warga (civil society). Ide ini mencita-citakan terwujudnya suatu komunitas politik manusia sebangsa yang berkesamaan derajat dan kedudukan di hadapan kekuasaan. Hal ini berarti, bahwa setiap manusia sebangsa dalam kehidupan komunitas bangsa yang disebut negara bangsaitu tak lagi boleh dipisahh ke dalam golongan mereka yang harus disebut Bangsawan (Gusti) dengan segala hak-hak istimewanya dengan golongan Rakyat Jelata (Kawula Alit) dengan segala kewajibannya. Gagasan masyarakat yang demikian adalah suatu ‘masyarakat baru’ yang berhakikat sebagai masyarakat warga yang pada asasnya berkebebasan, bereksistensi dan bersitegak di atas dasar paham egalitarianisme. Kebebasan hanya bisa dikurangi atas dasar kesepakatan yang dicapai tanpa rasa keterpaksaan (antara warga dan penguasa), yang kemudian diwujudkan dalam sebuah kontrak sosial antara kehidupan privat dan kehidupan publik, yang didokumenkan dalam bentuk undang-undang. Dengan demikian hak-hak warga yang asasi, termasuk pengurangannya dalam bentuk kewajiban-kewajiban, tentu berawal pula dari kesepakatan yang jujur dan ikhlas, yang kemudian dijadikan dasar seluruh tertib hukum yang digunakan sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep atau pengertian dasar hak asasi manusia (HAM) beraneka ragam antara lain dapat ditemukan dari penglihatan dimensi visi, perkembangan, Deklarasi Hak Asasi Universal/PBB (Universal Declaration of Human Right/UDHR), dan menurut UU No. 39 Tahun 1999. Konsep hak asasi manusia dilihat dari dimensi visi, mencakup visi filsafati, visi yuridis konstitusional dan visi politik ( Saafroedin Bahar,1994:82). Visi filsafati sebagian besar berasal dari teologi agama agama, yang menempatkan jati diri manusia pada tempat yang tinggi sebagai makhluk Tuhan. Visi yuridis¬ konstitusional, mengaitkan pemahaman hak asasi manusia itu dengan tugas, hak,wewenang dan tanggungjawab negara sebagai suatu nation state. Sedangkan visi politik memahami hak asasi manusia dalam kenyataan hidup sehari hari, yang umumnya berwujud pelanggaran hak asasi manusia, baik oleh sesama warga masyarakat yang lebih kuat maupun oleh oknum oknum pejabat pemerintah. Dilihat dari perkembangan hak asasi manusia, maka konsep hak asasi manusia mencakup generasi I, generasi II, generasi III, dan pendekatan struktural (T.Mulya Lubis,1987: 3 6). Generasi I konsep HAM , sarat dengan hak hak yuridis, seperti tidak disiksa dan ditahan, hak akan equality before the law (persamaan dihadapan hukum), hak akan fair trial (peradilan yang jujur), praduga tak bersalah dan sebagainya. Generasi I ini merupakan reaksi terhadap kehidupan kenegaraan yang totaliter dan fasistis yang mewarnai tahun tahun sebelum Perang Dunia II. Generasi II konsep HAM, merupakan perluasan secara horizontal generasi I, sehingga konsep HAM mencakup juga bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya. Generasi II, merupakan terutama sebagai reaksi bagi negara dunia ketiga yang telah memperoleh kemerdekaan dalam rangka mengisi kemerdekaananya setelah Perang Dunia II. Generasi III konsep HAM, merupakan ramuan dari hak hukum, sosial, ekonomi, politik dan budaya menjadi apa yang disebut hak akan pembangunan (the right to development). Hak asasi manusia di nilai sebagai totalitas yang tidak boleh dipisah pisahkan. Dengan demikian, hak asasi manusia sekaligus menjadi satu masalah antar disiplin yang harus didekati secara interdisipliner. Pendekatan struktural (melihat akibat kebijakan pemerintah yang diterapkan) dalam hak asasi manusia. seharusnya merupakan generasi IV dari konsep HAM. Karena dalam realitas masalah masalah pelanggaran hak asasi manusia cenderung merupakan akibat kebijakan yang tidak berpihak pada hak asasi manusia. Misalnya, berkembangnya sistem sosial yang memihak ke atas dan memelaratkan mereka yang dibawah, suatu pola hubungan yang "repressive". Sebab jika konsep ini tidak dikembangkan, maka yang kita lakukan hanya memperbaiki gejala, bukan penyakit. Dan perjuangan hak asasi manusia akan berhenti sebagai pelampiasan emosi (emotional outlet). Pengertian hak asasi manusia menurut UDHR dapat ditemukan dalam Mukaddimah yang pada prinsipnya dinyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan pengakuan akan martabat yang terpadu dalam diri setiap orang akan hak hak yang sama dan tak teralihkan dari semua anggota keluarga manusia ialah dasar dari kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia (Maurice Cranston, 1972 : 127). UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM , mengartikan hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anuaerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. UU No.39 Tahun 1999 juga mendefinisikan kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia. Pengertian hak asasi manusia menurut UDHR sering dinilai masih pada tahap Generasi I Konsep HAM, yaitu isinya sarat dengan hak hak yuridik dan politik. Sedangkan jika memperhatikan pengertian hak asasi manusia menurut UU No. 39 Tahun 1999, tampak mengandung visi filsafati dan visi yuridis konstitusional. Kemudian pengertian hak asasi manusia menurut visi politik dapat diidentikkan dengan pendekatan strutural, karena keduanya lebih menonjolkan pengertian hak asasi manusia dalam kehidupan sehari hari yang cenderung banyak pelanggaran. Hak Asasi Manusia Dalam UUD 1945 Pasca Amandemen Hak asasi manusia macam apa saja yang dikandung dalam UUD 1945 pasca amandemen ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, diperlukan memahami lebih dahulu mengenai konsep dan teori tentang macam macam hak asasi manusia, sebagai alat untuk mengidentifikasi hak asasi manusia dalam UUD 1945 pasca amandemen. Tentang macam macam, hak asasi manusia ada berbagai pandangan. Thomas Hobbes berpendapat bahwa satu satunya hak asasi adalah hak hidup. Bagi John Locke dan Liberalisme klasik, hak asasi meliputi hak hidup (the right to life), kemerdekaan (the right to liberty) dan hak milik (the right to property) (Rodee & Anderson, 1989 : 194). Pendapat John Locke ini sangat dipengaruhi oleh gagasan hukum alam (natural law) ketika dalam keadaan alamiah (state of nature), yaitu suatu keadaan di mana belum terdapat kekuasaan dan otorita apa apa, semua orang sama sekali bebas dan sama derajatnya. D. Sejarah Perkembangan Hak-hak Asasi Manusia Kesadaran manusia terhadap hak-hak asasi berasal dari keinsyafannya terhadap harga diri, harkat dan martabat kemanusiaannya. Karena itu sesungguhnya hak-hak kemanusiaan ini sudah ada sejak manusia itu dikodratkan hadir di dunia, dan dengam sendirinya hak-hak asasi manusia bukan merupakan hal yang baru lagi. Sejak Nabi Musa dibangkitkan untuk memerdekakan umat Yahudi dari perbudakan di Mesir, manusia telah menyadari tentang penting penegakan hak-haknya dalam membela kemerdekaan, kebenaran dan keadilan. Di Babilonia, menetapkan hukum (yang terkenal hukum Hammurabi) untuk menjamin keadilan bagi warganya. Hukum Hammurabi yang dikenal sejak tahun 2000 sebelum Masehi itu, merupakan jaminan bagi hak-hak asasi manusia. Selanjutnya, 600 tahun menjelang tahun Masehi di Athena, mengadakan pembaharuan dengan menyusun perundang-undangan yang memberikan perlindungan keadilan. Dalam undang-undang ini menganjurkan warga negara yang diperbudak karena kemiskinan agar dimerdekakan. Selain itu, adanya bukti gagasan hak-hak asasi manusia muncul dari Flavius Anicius Justinian (Kaisar Rimawi) dengan menciptakan peraturan hukum yang kemudian menjadi pola hukum modern di negara-negara Barat, terutama pada jaminan bagi keadilan dan hak-hak kemanusiaan. Lebih tegas lagi, dalam Kitab Suci Al Qur’an lebih kurang 1400 tahun yang lalu, diwahyukan oleh Allah SWT kepada seluruh umat manusia melalui Rasul-Nya, yaitu Muhammad SAW, mengajar dalam firman itu:”Tiada paksaan dalam beragama”, cukup sebagai pencerminan nilai-nilai asasi bagi manusia (Naning, 1983). Walaupun hak-hak asasi manusia adalah kodrat manusia yang menjadi milik setiap orang pada segala jamannya, kesadaran akan hak-hak asasi itu termasuk relatif baru. Ketika kezaliman para raja di beberapa negara Barat pada abad ke-18, mendorong orang-orang yang mencintai kebebasan untuk memikirkan, memproklamasikan, merebut dan membela hak-hak yang mereka miliki, maka mulailah kebangkitan perjuangan terhadap hak-hak asasi manusia. Sejarah telah mencatat, bahwa perjuangan terhadap hak-hak asasi manusia telah sampai pada tonggak-tonggak kemenangannya, yang secara kronologis dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Kemenangan hak-hak asasi manusia terjadi di Inggris, dapat kita temukan beberapa dokumen, yaitu (a) Magna Charta (1215). Prinsip dasar piagam yang dicetuskan para bangsa Inggris itu, anatara memuat bahwa kekuasaan Raja (John Lackland) harus dibatasi. Hak-hak asasi manusia lebih penting dari kekuasaan Raja. Tak seorangpun dari warga negara merdeka ditahan atau dirampas harta kekayaaannya atau diperkosa atau diasingkan, atau dengan cara apapun diperkosa hak-haknya, kecuali dengan pertimbangan hukum; (b) Petition of Right (1629), yang berisi tentang pemungutan pajak yang harus disetujui oleh Parlemen. Selain itu, orang tidak boleh ditangkap kalau tidak ada tuduhan dan bukti yang sah; (c) Bill of Right (1689), yang menyatakan bahwa pemungutan pajak harus dengan persetujuan Parlemen. Selanjutnya Parlemen juga berhak mengubah keputusan raja. 2. Dikeluarkannya Declaration of Independence (1776), yang memuat kemerdekaan negeri itu dari penjajahan Inggris. Di dalam pernyataan itu, dinyatakan bahwa hak-hak yang telah dikaruniai oleh Tuhan, yaitu hak hidup, merdeka dan mengejar kebahagiaan; 3. Pada waktu revolusi Perancis dikumandangkan melalui Declaration des droits de l’Homme et du Cotoyen (Deklarasi tentang hak-hak manusia dan penduduk) tahun1789, berisi tentang ketentuan bahwa manusia dilahirkan bebas dan mempunyai hak yang sama. Disemping itu disebut pula, bahwa yang dimaksud dengan kemerdekaan ialah boleh bertindak sesukanya asal tidak merugikan orang lain. Hak ini didasarkan atas semboyan yang terkenal, yaitu liberte, egalite, dan fraternite (kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan). 4. Ketika sedang berkecamuknya Perang Dunia II (1939-1945), Presiden Franklin Delano Roosevelt dari Amerika Serikat, dihadapan Konggres pada tahun 1941 menyatakan adanya empat kemerdekaan (the four freedoms) yang harus dihormati, yaitu: (a) freedom of speech (bebas menyatakan pendapat); (b) freedom of religion (bebas memeluk agama); (c) freedom of fear (bebas dari rasa takut) dan freedom from want (bebas dari kemiskinan). 5. The Universal Declaration of Human Right (Pernyataan Sedunia tentang Hak-hak Asasi Manusia) pada tanggal 10 Desember 1948, pada dasrnya merupakan puncak kemenangan terhadap hak-hak asasi manusia. Pada Alenia Pertama Mukadimah Pernyataan itu, ditegaskan bahwa: “Bahwa sesungguhnya hak-hak kodrati yang diperoleh setiap manusia berkat pemberian Tuhan seri Sekalian Alam, tidak dapat dipisahkan dari hakekatnya, dan karena itu setiap manusia berhak akan kehidupan yang layak, kebebasan, keselamatan dan kebahagiaan pribadinya”. Selanjutnya dalam Pembukaan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), juga dinyatakan, bahwa “Kami, para bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa bertekad untuk melindungi angkatan-angkatan yang akan datang terhadap bencana peperangan, yang di dalam hidup kita telah dua kali membawa penderitaan yang tak terhingga, dan untuk menegakkan kembali kepercayaan kepada hak-hak asasi manusia, pada kehormatan dan harga diri seorang manusia pada hak-hak yang sama-sama dari laki-laki dan wanita, bangsa-bangsa besar dan kecil”. Pada Pasal 1 Piagam PBB ditentukan sebagai tujuan Perserikatan Internasional, yakni mengingatkan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusiadan kemerdekaan pokok yang dimiliki semua orang tanpa membeda-bedakan kebangsaaan, agama, jenis kelamin atau bahasa. Penyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia itu berpengaruh besar bagi kehidupan seluruh dunia, walaupun belum dapat dilaksanakan dengan konsekuen. Dalam kaitannya dengan pernyataan hak-hak asasi itu, J.Tores Bodet, mantan Direktur Jenderal UNESCO, menyatakan: “The Declaration of 10 December 1948 is more than an bistorical summy, it is a programme. Every peregraph is call to action, every line a condemnation of apathy, every sentence a repudiation of some moment of your individual or national history, every word forces us to scuritinize more closely the situation in the world today”. Pada dasarnya, penyataan tentang hak-hak asasi manusia tidak mempunyai kekuatan hukum, kecuali beberapa negara anggota PBB yang menetapkannya sebagai hukum negara sendiri. Sekalipun demikian, pernyataan ini mencerminkan kesepakatan peradaban internasional yang mengikat secara moral. Hampir tidak ada pemerintah yang menganggap bijaksana untuk secara prinsipiil menolak hak-hak asasi manusia, walaupun dalam pelaksanaannya hak-hak itu dkurangi atau bahkan dilanggar. Penjelasan-penjelasan politis tentang pelanggaran hak-hak asasi manusia oleh pihak yang berwajib pada umumnya didalihkan adanya suatu keadilan istimewa yang memaksa, apakah itu alasan keamanan, ketertiban atau bahkan dengan dalih karena keadaan darurat. Sekalipun Pernyataan Perserikatan Bangsa-Bangsa, telah menyebut hak-hak asasi manusia, namun dalam pernyataan itu belum menentukan sanksi yang mengikat negara-negara anggotanya. Oleh karena itu, selama enam tahun (1948-1954), Panitia Hak-hak asasi manusia bekerja secara maraton untuk mempersiapkan suatu rancangan perjanjian, yang melengkapi pernyataan PBB tersebut. Hsilnya, pada tahun 1966 lahirlah International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (Konvensi Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Kultural) dan Intenational Convenant on Civil and Political Rights (Kovensi Internasional tentang Sipil dan Politik). Karena kedua perjanjian tersebut masih mengandung kelemahan, lantaran belum bisa digunakan sebagai dasar yuridis untuk mengajukan gugatan secara individual, maka untuk mengisi kekosongan itu, ditetapkan Optional Protocol to the International Convenant on Civil and Political Rights (Protokol Manasuka pada Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik). Ketiga mekanisme internasional itu ternyata todak mudah mencapai konsensus. Baru 11 tahun sesudah rancangan pertama disampaikan pada Sidang Umum PBB tahun 1955 dan 18 tahun sesudah Pernyataan Sedunia tentang HAM (10 Desember 1948). Namun demikian perlu dicatat, bahwa setelah tahun 1948 PBB banyak mengalai kemajuan bagi tercertusnya konvensi yang disepakati Sidang Umum oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) maupun oleh organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO), yang diantaranya adalah: 1) Konvensi Nomor 98 tentang diberlakukannya Prinsip-prinsip hak berorganisasi dan berunding, yang diterima oleh ILO pada tanggal 1 Juli 1949; 2) Konvensi Nomor 100 tentang Perupahan yang sama bagi buruh pria dan wanita untuk pekerjaan yang sama, diterima oleh ILO tanggal 29 Juni 1951; 3) Konvensi Hak-hak Politik Wanita, yang diterima oleh Sidang Umum PBB berdasarkan revolusi Nomor 640 (VII) tanggal 20 Desember 1952; 4) Konvensi mengenai Kewarganegaraan Wanita Bersuami, diterima oleh Sidang Umum PBB, berdasarkan resolusi Nomor 1040 (XI) tanggal 29 Hanuari 1957; 5) Penyataan Hak-hak Anak, diproklamirkan oleh Sidang Umum PBB, berdasarkan resolusi Nomor 1386 (XIV), tanggal 20 Nopember 1959; 6) Konvensi tentang Menentang Diskriminasi dalam bidang Pendidikan, diterima oleh Konferensi Umum UNESCO, tanggal 14 Desember 1960; 7) Konvensi tentamg Ijin untuk Kawin, Usia minimum kawin dan Pencatatan perkawinan, berdasarkan resolusi Nomor 1783 A (XVII) tanggal 7 Nopember 1962; 8) Konvensi Internasional tentang Hilangnya segala bentuk Diskriminasi Rasial, berdasarkan resolusi Nomor 2106 A (XX), yang diterima Sidang Umum PBB tanggal 21 Desember 1965. E. Perkembangan Hak-hak Asasi Manusia Di Indonesia Pembahasan Hak-hak asasi Manusia di Indonesia, pertama-tama dirumuskan dalam Sidang Badan Penyedik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 10-16 Juli 1945. Sebagaimana yang terjadi upaya perjuangan HAM di dunia, pembahasan hak-hak asasi manusia di Indonesia juga tidak mudah menemukan konsensus. Hal ini terbukti, dengan muncul kelompok pro dan kontra terhadap masuknya pasal-pasal kebebasan individu (HAM) dalam Rancangan Undang-Undang Negara Indonesia (jika merdeka nanti). Sidang Tim Perumus Rancangan UUD, terpecah ke dalam dua kubu besar, yakni kelompok pro (Hatta dan Yamin) dan kelompok kontra (Soekarno dan Soepomo). Dari dua kubu besar ini, terbagi dalam tiga pendapat, yaitu: Golongan Pertama, yang berpendapat bahwa kita sudah mempunyai Pancasila yang menjunjung tinggi kemanusiaan, maka bisa timbul kesulitan dan pelanggaran apapun; Golongan Kedua, tidak suka pada hak-hak asasi karena dianggap mengganggu penguasa, yang dianggap selalu berbuat baik. Oleh karena itu hak-hak asasi diprediksi sebagai Liberalisme Barat yang tidak cocok untuk budaya Indonesia; Golongan Ketiga, dengan gigih membela hak asasi, menelanjangi pelanggaran-pelanggaran dan berusaha menyadarkan rakyat akan hak-haknya dan karena itu sering bertabrakan dengan tokoh-tokoh golongan yang berkuasa. Sebenarnya, di balik beberapa pendapat itu masih ada satu kekurangan pengetahuan, keengganan untuk berpikir secara yuridis serta kepentingan-kepentingan pribadi yang hendak dilindungi. Pembahasan hak-hak asasi manusia meningkat menjadi ajang perdebatan, ketika Soekarno (Ketua Panitia Perancang UUD) melontarkan pernyataan: “Atas dasar Undang-Undang Dasar, maka hak-hak dasar tidak perlu dimasukkan kedalam Rancangan Undang-Undang Dasar kita”. Pandangan ketua Perancang Undang-Undang Dasar ini, langsung ditanggapi oleh Maria Ulfah Santosa: “Saya memandang perlu hak-hak dasar dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar”. Kemudian ketua menangkis, dengan pernyataan: “Tidak perlu, karena negara Indonesia berdasar atas kedaulatan rakyat”. Karena jawaban ketua kurang memuaskan, sehingga panitia didatangi oleh banyak anggota BPUPKI, yang menenyakan apa sebabnya di dalam Undang-Undang Dasar yang kita rancang, tidak memasukkan hak-hak asasi manusia, hak-hak warga negara, padahal kitapun menghendaki di dalam Undang-Undang Dasar itu apa yang dinamakan Droits de l’bomme et du Citoyen atau right of citizen? Mengapa di dalam Undnag-Undang Dasar ini tidak dinyatakan dengan tegas, misalnya dijamin kerahasiaan surat, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, hak bersidang dan berkumpul dan lain sebagainya? Terhadap pernyataan itu, Soekarno menjawa dengan uraian panjang-lebar dengan menekankan dasar atau sistem yang kita pakai untuk menaruh Undang-Undang Dasar ini di atasnya. Pada dasarnyaSoekarno mengemukakan tiga alasan untuk tidak menerima hak-hak asasi manusia dalam Rancangan Undang-Undang Dasar, yaitu: 1) Hak-hak Warga Negara adalah Hak Individu “Hak kemerdekaan sebagai individu, dan hak kemerdekaan suatu saat sebagai suatu badan pula. Itu sebenarnya sudah mengandung suatu konflik, dan sebagai tadi saya terangkan kepada tuan-tuan dan nyonya sekalian, justru pertentangan dalam kebatinan negara-negara”. Dan lagi: “.... bahwa kalbu kita akan penuh dengan konflik, bukan saja konflik di dalam negeri, konflik antara kaum buruh dan majikan, konflik antara golongan ini dan golongan itu,konflik antara faham dengan faham, tetapi konflik keluar negeri”. Dalam alasan pertama, ditegaskan bahwa hak-hak asasi akan menimbulkan bermacam-macam konflik di dalam masyarakat. Semuanya harus dipandang harmonis dan selaras, sekurang-kurangnya secara lahiriah. Apakah pengandaian seperti dapat dibenarkan? Apakah konflik, jika diselesikan dengan cara yang beradab, bukan justru merupakan upaya penggerak untuk maju?. Kerapuhan pandangan yang tidak mau mengakui secara terbuka adanya pertentangan-pertentangan dalam masyarakat dibuktikan dengan letusan-letusan ketidak-puasan rakyat yang mendapat kekangan terlalu lama. Di balik argumentasi Soekarno yang besar pengaruhnya itu, adalah pandangan lain lagi, yaitu bahwa tidak bisa dibayangkan seorang penguasa atau pemerintah Indonesia akan bisa termakan juga oleh kekuasaan, termakan oleh evil of power. Belum dibayangkan pada waktu itu bahwa warga negara Indonesiapun nantinya, akan memerlukan perlindungan dan jaminan hukum terhadap penguasa sebangsa, termasuk Soekarno sendiri. 2) Hak-hak Warga Negara Soekarno menegaskan bahwa paham indivulisme akan melahirkan liberalisme, yang memperkenakkan kepitalisme, yang bercucukan kolonialisme dan imperialisme, pendek kata segala setan. Dia mengatakan: “Buanglah sama sekali faham individualisme itu! Semua ismetersebut dipertentangkan dengan semacam kolektivisme yang diluhurkan. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita pada faham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari padanya” Individualisme yang digambarkan oleh Soekarno itu adalah satu bentuk paham yang ekstrem dan memisahkan orang sama sekali dan membebaskan orang dari kungkungan kolektif, yang menghambat perkembangan kepribadian yang wajar. Apabila dalam suatu masyarakat perkembangan pribadi-pribadi yang kuat terhambat, maka masyarakat lembek itu akan mudah ikut orang-orang yang berkuasa dan tidak akan melawan penyalahguanaan kekuasaan oleh mereka itu. Jaman demokrasi terpimpin telah membuktikan kebenaran ini. 3) Hak-hak Politis dan Keadilan Sosial Hak-hak politis dianggap berarti terhadap masalah-masalah yang sangat urgen, yaitu menyangkut keadilan sosial: “Buat apa kita membikin Grondwet itu, kalau ia tak dapat mengisi perut orang-orang yang hendak mati kelaparan”. Pembebasan dari kemiskinan memang sangat penting dan mendesak, akan tetapi perut yang penuh bukanlah tujuan hidup manusia satu-satunya. Realisasi keadilan adalah prasyarat, tetapi bukan pengganti penghormatan terhadap hak asasinya yang politis. Mempertentangkan yang satu lawan yang lain adalah merupakan suatu simplifikasi yang kedengarannya bagus namun penuh dengan bahaya. Terhadap pidato Soekarno yang menolak hak-hak asasi dalam Rancangan UUD, Hatta angkat bicara: “.... kita mendirikan negara yang baru. Hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi negara kekuasaan. Kita menghendaki Negara pengurus, kita membangun masyarakat baru yang berdasar kepada gotong royong, usaha bersama, tujuan kita ialah membaharui masyarakat. Tetapi disebelah itu, kita jangan memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan. Sebab itu ada baiknya dalam salah satu fasal yang mengenai warga negara, disebutkan juga di sebelah hak yang sudah diberikan kepada tiap-tiap warga negara Indonesia, supaya tiap-tiap warga negara jangan takut mengeluarkan pendapat suaranya. Yang perlu disebut disini, hak untuk berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain. Usul saya ini tidak lain dan tidak bukan hanya menjaga supaya negara kita didirikan itu ialah Negara Pengurus, supaya negara pengurus ini nanti jangan menjadi Negara Kekuasaan, Negara Penindas”. Demikian juga, Moh.Yamin tidak puas dengan tuntutan Soekarno, yang menyatakan: “Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan kedalam Undang-Undang Dasar dengan seluas-seluasnya. Saya menolak segala alasan yang diajukan untuk tidak memasukkannya, dan seterusnya dapatlah saya mengajukan beberapa alasan pula, selain yang diajukan oleh anggota yang terhormat Moh. Hatta tadi. Segala Contitution lama dan baru di atas dunia berisi perlindungan aturan dasar itu, misalnya Undang-undang dasar Dai Nippon, Republik Filipina dan Republik Tiongkok. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan semata-mata suatu keharusan perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam Undang-undang Dasar. Tetaplah saya minta, supaya hal ini diundi untuk dimasukkan atau tidak dalam hukum dasar kita. Alasan-alasan lain dapatlah saya berikan kepada panitia Perancang”. Dapat dimengerti, bahwa Soekarno menolak hak-hak asasi atas dasar pengalamannya dengan kolonialisme, yang tidak mengindahkan hak-hak tersebut. Akan tetapi, dia nampak terlalu simplitis dan radikal menolak apa saja yang berhubungan dengan individualisme, yakni kesadaran akan martabat luhur setiap manusia, yaitu suatu martabat yang tidak berasal kolektivitisme akan tetapi dari Penciptanya. Selain itu, dapat dimengerti, bahwa perumusan UUD 1945 yang dilakukan tiga tahum sebelum Pernyataan Sedunia Hak-hak Asasi Manusia (1948), belum terpengaruh oleh sikap dan pandangan dunia tentang hak-hak asasi manusia. Pandangan senada yang menolak terhadap masuknya pasal hak-hak kebebasan individu dalam Rancangan UUD, muncul dari Soepomo. Alasan penolakannya terutama didasarkan pada aliran yang digunakan dalam mendirikan negara Indonesia termasuk tentang hubungan antara negara dengan warga negara. Karena dasar pikiran yang digunakan untuk mendirikan negara Indonesia adalah menganut paham ‘integralistis’, maka antara negara dengan warga negara tidak perlu dipisahkan. Dalam Rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, tanggal 31 Mei 1945, dia mengatakan:”Tuan-tuan yang terhormat, menurut pengertian ‘Negara’yang integralistik sebagai bangsa yang teratur, sebagai peraturan rakyat yang tersusun, maka pada dasarnya tidak akan ada dualisme ‘staat dan individu’, tidak akan ada pertentangan antara susunan staat dan susunan hukum individu, tidak ada dualisme ‘Staat und staatsfrei Geselschaft’ tidak akan membutuhkan jaminan Grunund Freibeitsrechte dari individu contra Staat, oleh karena individu tidak lain adalah suatu bagian organik dari Staat. Yang mempunyai kedudukan dan kewajiban tersendiri untuk turut menyelenggarakan kemuliaan Staat, dan sebaliknya oleh karena Staat bukan suatu badan kekuasaan atau raksasa yang berdiri di luar lingkungan suasana kemerdekaan seseorang”. Pertanyaan yang segera muncul, apakah ketiada pandangan tentang hak-hak manusia itu berdasarkan pada pandangan optimis tentang hubungan negara dan warga negara, atau sebuah kebutaan terhadap kemungkinan ketegangan yang muncul dalam hubungan antara kekuasaan dan individu? Ataukah pandangan ini menyejajarkan pemikiran tokoh Timur, misalnya Mencius (Tiongkok abad ke-4 SM), yang menganggap manusia pada dasarnya baik, yang hanya memerlukan ajar etis untuk bisa berbuat kebaikan. Berbeda dengan pemikiran di Barat yang dipengaruhi oleh Aristoteles (Yunani abad ke-4 SM), yang menegaskan bahwa manusia pada dasarnya tidak baik, maka nafsu dan karena itu kekuasaannya perlu dibatasi oleh hukum. Itulah sebabnya, di Barat berkembang pesat konsep tentang ‘rule of law’, sedangkan di Timur mengarah pada ‘rule of man’. Pandangan konstitusional dalam Undang-Undang Dasar 1945 menitik-beratkan pengintegrasian (individu dalam kolektif), berlainan dengan pandangan konstitusionalisme di beberapa negara lain yang menguatkan kebebasan para warga negara terhadap kekuasaan, sementara konstitusionalisme Barat lebih pesimistis dan merasa cemas terhadap kekuasaan. Berdasarkan uraian dimuka, dapat ditegaskan bahwa pasal-pasal hak-hak kebebasan individu (hak-hak asasi manusia) dalam Rancangan Undang-Undang Dasar, adalah merupakan hasil ‘konsensus’ dari perdebatan panjang berbagai paham dan pikiran serta kubu pro dan kontra terhadap masuknya HAM dalam RUUD. Hal ini menyebabkan mengapa UUD 1945 seperti yang kita kenal sekarang, hanya sedikit memuat pasal-pasal tentang hak-hak warga negara; disamping alasan lain karena Uud 1945 dirumuskan lebih jauh dari Pernyataan Sedunia tentang Hak-hak Asasi Manusia tahun1948. Ketentuan UUD 1945 yang memuat hak-hak asasi dapat kita temukan pada pasal-pasal: 27, 28, 29, 30,31,32, 33 dan 34. Dari kalangan tokoh the founding fathers, seperti Soekarno, Hatta, Yamin dan Soepomo, serta beberapa tokoh yang lain, pada dasarnya juga sangat menitik-beratkan pada kebersamaan, kolektivisme, integrasi, dan solidaritas, sehingga untuk hak-hak perseorangan (individu) hampir tidak ada ruang dan perhatian lagi. Hal ini dapat dimengerti, jika dikaitkan dengan masalah utama yang mereka hadapi, yaitu membina persatuan dan kesatuan bangsa yang masih rapuh terutama dalam menuju kemerdekaan. Sebenarnya, secara agak lengkap hak-hak asasi manusia sebagaimana Pernyataan Sedunia tentang HAM, telah muncul dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Namun demikian, karena perkembangan politik dan ketatanegaraan RI, kedua Undang-Undang Dasar itu dinyatakan tidak berlaku. Masa berlakunya Konstitusi RIS 1949, karena pergantian bentuk negara RIS menjadi Negara Kesatuan RI dengan pemberlakuan UUDS 1950. Undang-Undang Dasar ini, akhirnya juga tidak berlaku, akibat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang salah satunya menegaskan untuk kembali ke UUD 1945. Perkembangan hak-hak asasi manusia setelah Dekrit, mengalami kemajuan pada dekade 1960-an, ketika dalam MPR (S) pernah dibentuk Panitia Ad Hoc dan Badan Pekerja untuk merumuskan suatu Piagam tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara. Perumusan Piagam tentang HAM ini, dimaksudkan sebagai kelanjutan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur Hak-hak Asasi Manusia. Namun karena perkembangan politik dari Orde Lama menjadi Orde Baru, kerja Panitia dan Badan Pekerja menjadi tidak populer sampai sekarang. F. Problematik HAM Di Indonesia Upaya untuk memajukan penghormatan dan perlindungan terhadap Hak-hak Asasi Manusia (HAM) diperkirakan telah dilakukan sejak awal sejarah umat manusia, karena pelanggaran HAM juga telah terjadi sejak awal sejarah umat manusia. Hal ini terutama dilihat dari ajaran agama yang dibawa oleh para nabi dan rosul yang penuh dengan pesan untuk menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan menegakkan keadilan. Penghormatan, perlindungan dan pemajuan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia telah mengalami pasang surut, bersamaan dengan pasang surutnya (dinamika) politik ketatanegaraan Republik Indonesia. Sejak proklamasi sampai dengan jaman reformasi sekarang ini, tak pelak bahwa persoalan HAM terus menjadi hal menarik semua kalangan, bahkan tidak saja menjadi isu nasional, akan tetapi juga internasional. Begitu reformasi total digulirkan pada tahun 1998, di Indonesia telah mengalami masa transisi dari rezim Otoriter menuju rezim Demokratis. Sebagaimana dengan pengalamn negara-negara lain yang mengalami masa transisi, Indonesia juga menghadapi persoalan yang berhubungan dengan pelanggaran HAM, yang terjadi di masa lampau yang tidak pernah diselesaikan secara adil dan manusiawi. Selama pemerintahan Orde Lama sampai dengan Orde Baru, kasus pelanggaran HAM terjadi di mana yang termasuk dalam kategori berat dan berlangsung secara sistematis. Tidak sedikit kalangan masyarakat telah menjadi korban, dan menderita dalam ketidakadilan, tanpa harapan akan adanya penyelesaian secara adil. Pelanggaran HAM di masa lalu membawa setidak-tidaknya dalam dua konsekuensi: pertama, hak-hak korban pelanggaran HAM tidak pernah dipulihkan, sehingga secara psikologis merasa tidak mendapatkan perlakuan layanan keadilan dan kesejahteraaan. Kedua, berlanjutnya impunity, dimana pelaku dan penanggungjawab dari kejahatan HAM tidak pernah ditindak secara hukum. Pelaku dan penanggungjawab pelanggaran HAM masa kini dan di masa datang akan menuntut perlakuan yang sama. Pada sisi lain dengan tidak pernah melupakan dan tidak memaafkan, berarti memelihara rasa dendam dan kebencian dalam masyarakat. Ibarat ‘api dalam sekam’, sewaktu-waktu dapat muncul pelanggaran HAM yang baru. Berbagai peristiwa di tanah air, misalnya G-30S/PKI, DOM di Aceh, Irian Jaya, Timor Timur, Pasca jajak pendapat, kasus Tri Sakti dan masih banyak sederetan kasus pelanggaran HAM yang lain; kesemuanya masih meninggalkan persoalan ketidakadilan secara meluas. Karena itu perlu peningkatan upaya sosialisasi dan internalisasi makna dan nilai-nilai HAM dalam kehidupan bangsa dan bernegara Indonesia. Sejak beberapa tahun terakhir, perhatian yang semakin meningkat terhadap masalah HAM, pada dasarnya bisa di konstatir. Pengalaman pahit yang dirasakan dalam kehidupan nyata mendorong untuk menyadarkan orang, bahwa tidak wajar mereka diperlakukan seakan sebagai ‘manusia kelas dua’. Setidaknya orang merasa merdeka dalam alam negara yang merdeka. Namun demikian, berbagai kasus juga tetap kunjung datang, saling susuk-menyusul sehingga melengkapi deretan pelanggaran HAM justru meningkat. Dalam kaitan ini, Tebba (dalam Abbas, 2000), sempat mencontohkan: Bahwa pengangguran dan kemiskinan yang semakin meningkat, pendidikan yang semakin mahal sehingga tidak dapat diraih, ketidakbebasan mimbar akademik, pengambil alihan hak milik tanah rakyat kecil kerapkali tanpa ganti rugi, Warga Negara yang acapkali tek terbukti kesalahannya, adalah sebagai realitas social yang menggoda kita untuk memperhatikan sejenak keadaan hak-hak asasi manusia Indonesia dewasa ini. Hal ini dianggap perlu dan penting, mengingat kemerdekaan yang berhasil kita rebut dari tangan penjajah bangsa asing 36 tahun yang lalu, antara lain bertujuan untuk menegakkan hokum, keadilan dan hak-hak asasi manusia. Sementara itu, refleksi masa lalu, Adam Malik (Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan ke-33), pernah menyatakan bahwa masalah hukum (khususnya hak-hak asasi manusia), belum dihayati secara luas oleh rakyat dan aparat pemerintah. Sebagai bukti, bahwa hampir setiap hari dia menerima pengaduan tentang pelanggaran HAM yang dialami oleh rakyat dari berbagai daerah di Indonesia. Bertolak dari pemikiran di atas, maka problematika HAM di Indonesia hendaknya segera dipecahkan dengan cermat, manusiawi, adil serta demokratis, yang menempatkan harkat dan martabat manusia sebagai subyek sekaligus obyek HAM. Dalam kaitan ini, ada beberapa problema yang perlu dipecahkan dan patut diangkat sebagai agenda nasional dan tuntutan yang mendesak, antara lain adalah: 1. Kejelasan landasan filosofis-yudiris bagi HAM Menurut aliran hokum positif, bahwa hak-hak asasi manusia pada dasarnya harus berlandaskan pada sejarah hokum. Adanya dan pengakuannya harus dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara 1945. Dengan demikian, hak-hak asasi mankuskia tidak abadi, tidak universal dan bukannya tidak dapat berubah. HAM dalam pemikiran seperti ini bukanlah bercorak pra-konstitusional, melainkan harus bersifat konstitusional. Selain itu, secara filosofis, hak-hak asasi manusia pada dasarnya melekat pada ‘kodrat’ manusia sejak lahir dan merupakan hak abadi yang tidak dapat diganggu gugat. Adanya Negara justru untuk melindungi hak-hak itu. Kehidupan, kebebasan dan hak milik adalah berfilsafat ‘alamiah’ pada pribadi manusia. Dalam alam pemikiran itu, terkandung pengakuan bahwa HAM itu tidak tergantung pada dimuat atau tidaknya dalam Undang-Undang Dasar. Adanya dan pengakuannya harus bersifat pra-konstitusional; dan penguasa bahkan semua anggota masyarakat harus mengindahkan HAM tersebut. Terhadap dua pemikiran paham itu, seharusnya antara keduanya tidak harus dipertentangkan. Penyikapan akomodatif dengan kronologiskan fenomena HAM dan aspek yudiris kiranya merupakan solusi yang bijak. Disadari bahwa fenomena HAM pada dasarnya merupakan sesuatu yang berakar dalam kehidupan manusia, maka dia besifat inhernt pada sifat kodrat manusia atau kemanusiaan adalah hak yang lahir bersama dengan manusia, dan hal ini mkerupaan konsekuensi hakiki dari kodratnya. Oleh karena itu, HAM bersifat universal, dimana saja manusia itu berada maka hak-hak yang melekat pada dirinya yang harus dihormati. Karena tidak setiap hak-hak yang asasi pada manusia itu seluruhnya didasari oleh manusia dan negaranya, maka untuk menyadarkan hal itu perlu dicantumkan dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara atau dalam produk hukum yang lain. Secara demikian landasan filosofis dan yuridis hendaknya saling memberikan rasional dan penguatan hokum agar persoalan tidak mudah dilanggar atau dianggap sebagai tuntutan moral semata, melainkan juga adanya kekuatan yuridis bagi HAM yang mampu mengikat manusia dan Negara. 2. Political will pemerintah terhadap HAM Kurangnya political will Pemerintah Indonesia baik di masa Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto, berpengaruh kemauan politik untuk meratifikasi instrument HAM ke dalam Negara Indonesia. Sebagaimana pemikiran Soekarno yang terlihat dalam rapat BPUPKI yang menolak masuknya pasal-pasal kebebasan individu, ternyata berbeda dengan pemikiran Hatta yang memandang perlu masuknya pasal-pasal hak-hak manusia ke dalam rancangan UUD, yang kemudian meluas menjadi ajang perdebatan. Walaupun pada akhirnya terjadi ‘kompromis’ antara kelompok pro dan kontra HAM masuk dalam RUUD, hal ini masih nampak dalam kepemimpinan Soekarno. Kurangnya kemauan politik Soekarno untuk menghormati HAM, termasuk meratifikasi instrumen HAM internasional semakin jelas pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Pada masa itu, pemerintah melakukan tindakan yang melanggar HAM. Warga Negara yang tidak loyal dengan kebijakan pemerintah, dianggap sebagai perbuatan yang ‘kontra revolusi’, disamping juga terjadi penahanan lawan-lawan politik tanpa melalui proses pengadilan. Lebih parah lagi, pada masa Orde Baru dibawah pemerintahan Soeharto, tidak hanya kurang mempunyai politik skill, namun juga terbukti sering melakukan pelanggaran HAM. Pemerintah telah melakukan pelanggaran HAM kepada siapa saja yang tidak mendukung kebijakannya, dengan label ‘anti Pancasila’ dan ‘anti Pembangunan’, ‘subversif’,’OTB’ disamping tindakan lain seperti eksekusi dan penahanan PKI, kasus Aceh, kasus Irja, kasus Tnjung Priok, pembredelan pers, pembatasan gerak mahasiswa dan buruh, dan sebagainya, semakin menambah sederetan tindakan yang justru mencemarkan HAM di Indonesia. Politicall will pemerintah diatas, berpengaruh terhadap kebijakan dalam meratifikasi instrument HAM internasional ke dalam pemerintahan Negara Indonesia. Dari kurang lebih 50 intrumen HAM internasional yang dikeluarkan PBB, nampak sangat minim (Saptomo, 2001) yang sudah teratifikasi ke Indonesia, yaitu: 1. Konvensi mengenai Hak Politik Perempuan tahun 1952 (UU No.68 tahun 1958); 2. Konvensi mengenai Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan tahun 1979 (UU No.7 tahun 1984); 3. Konvensi menentang Apartheid dalam Bidang Olah Raga 1984; 4. Konvensi mengenai Hak Anak 1989 (Kepres No.36 tahun 1990); 5. Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lainnya yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia 1987 (UU No.5 tahun 1998); 6. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 (UU No.29 1999); 7. Sejumlah konvensi ILO (mengenai pemburuhan). Perhatian terhadap kemajuan HAM mulai meningkat tahun 1991, dimana pemerintah Indonesia telah membentuk Panitia Tetap (Pantap0 yang berkedudukan di Departemen Luar Negeri dan bertugas member rekomendasi mengenai pemajuan HAM Indonesia. Pantap ini mempunyai andil besar dalam mendorong pembentukan Komnas HAM tahun 1993 dan menyusun Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) tahun 1998-2003. Sehubungan dengan adanya kendala dalam proses ratifikasi, ditambah dengan tuntutan masyarakat untuk memprioritaskan instrument HAM Internasional, maka kegiatan itu baru dapat dijadwalkan sebagai berikut: Tahun 2001: a. Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya; b. Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dengan Protokolnya; c. Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genocide. Tahun 2002: a. Konvensi Penghentian Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi; b. Konvensi Menentang Perbudakan; c. Konvensi Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Tahun 2003 a. Konvensi Persetujuan Perkawinan, Usia Minimum untuk menikah dan Registrasi Perkawinan; b. Konvensi tentang Status Pengungsi. Draf penyempurnaan RAN-HAM tersebut telah disampaikan kepada Ketua Panitia Nasional RAN-HAM (Menlu RI) untuk proses berikutnya, yaitu dibuat Keputusan Presiden Repubik Indonesia. G. Sosialisasi HAM dan Peran Universitas Dalam berbagai pertemuan Internasional yang diprakarsai UNESCO sejak decade abad 20, universitas diharapkan senantiasa proaktif dalam merespon tantangan demokratisasi, globalisasi, regionalisasi, polarisasi, marginalisasi dan pragmentasi. Universitas yang proaktif itu digambarkan oleh UNESCO (sebagaimana dikutip Abbas, 2001) sebagai berikut: “a community whose members, being fully commited to the principles of academic freedom, are angaget in the pursuit of truth, deference and promotion of human rights, democraty, social justice and toleran in their own communities and throughtout the world, and participate in instruction for genuine partcapatory citizenship and im building a culture of peace”. Berkaitan dengan itu, maka universitas sebagai lembaga pendidikan yang memiliki tugas Tri Dharmanya (pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat) diharapkan dapat berfungsi sebagai layanan informasi, sosialisasi dan pendidikan HAM bagi semua pihak yang membutuhkannya. Selain itu, sebagai bagian dari rencana Aksi Nasional Sosialisasi HAM Departemen Kehakiman dan HAM dan Puslit HAM dapat membangun sekaligus memperkuat jalinan kemitraan untuk melakukan misi bersama dalam penegakan, perlindungan dan pemajuan HAM disemua jenjang, jenis dan jalur pendidikan. Pada jenjang pendidikan tinggi diharapkan terdorong untuk membentuk Pusat Studi HAM secara lebih meluas, pembentukan perpustakaan HAM, pembentukan program studi bergelar dan non-gelar dengan spesialisasi HAM. Selanjutnya jalur pendidikan sekolah dapat diupayakan bersama, antara lain adalah: (1) penyiapan kurikulum dan buku pelajaran HAM yang menganut pendekatan intergratif dalam mata pelajaran atau bidang studi yang relevan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, termasuk di lingkungan perguruan agama; (2) menerjemahkan bahan-bahan pengajaran mengenai HAM; dan (3) menyelenggarakan pelatihan para guru di bidang HAM; dan sebagainya. Dengan strategi ini, diharapkan konsep HAM di Indonesia dapat tersosialisasi ke seluruh penjuru nusantara dan nasyarakat yang beraneka ragam baik suku bangsa, agama, ras/etnik dan golongan yang ada di masyarakat. Selanjutnya persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pelanggaran HAM di Indonesia dapat dipecahkan dengan cermat, demokratis, manusiawi serta adil, tanpa mengurangi makna persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. H. Amandemen UUD 1945 Perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945, oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, melalui Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000, khususnya tentang HAM (pasal 28) dan Pertahanan dan Keamanan Negara, dapat diinformasikan sebagai berikut: 1) BAB XA-HAK ASASI MANUSIA • Pasal 28A Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. • Pasal 28B 1. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah; 2. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. • Pasal 28C 1. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia; 2. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. • Pasal 28D 1. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hokum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hokum; 2. Setiap orang berhak untuk bekerjaa serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja; 3. Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan; 4. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. • Pasal 28E 1. Setiap orang bebas memeluk agam dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali; 2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nurani; 3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. • Pasal 28F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangakan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis aturan yang tersedia. • Pasal 28G 1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi; 2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari Negara lain. • Pasal 28H 1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan dapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; 2. Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama, guna mencapai persamaan dan keadilan; 3. Setiap orang berhak atas jaminan social yang memungkinkan pengembangan dirinya secara untuk sebagai manusia yang bermanfaat; 4. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun. • Pasal 28I 1. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak Bergama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hokum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hokum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun; 2. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu; 3. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban; 4. Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah; 5. Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hokum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. • Pasal 28J I. Setiap orang wajib menghormati hak manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; II. Dalam menjalankan hak asasi dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. 2) BAB XII PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA • Pasal 30 1. Tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara; 2. Usaha pertahanan dan keamanan Negara dilaksanakan melalui system pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung; 3. Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai alat Negara bertugas mempertahankan, melindungi, memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara; 4. Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hokum; 5. Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga Negara dalam usaha pertahanan dan keamanan diatur dengan Undang-Undang. I. Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) 1. Perjuangan dan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia Beberapa langkah penegakan dan perjuangan hak asasi manusia bagi masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia adalah: a. Sosialisasi Hak Asasi Manusia Penyebaran nilai-nilai dan peningkatan praktik hak asasi manusia merupakan salah satu agenda transisi politik demokrasi yang perlu diprioritaskan. Dalam konteks ini pendidikan dan sosialisasi HAM merupakan media yang strategis agar manusia mampu menjujung tinggi human dignity yang merupakan inti hak asasi manusia. Peningkatan kesadaran rakyat terhadap hak-haknya, menjadi lahar subur bagi proses demokratisasi, sekaligus penghalang munculnya praktik kekuasaan sewenang-wenang. b. Pendidikan HAM Dalam pendidikan hak asasi manusia tidak hanya diberikan materi tentang hak asai manusia dan konvenan sipil, social, ekonomi dan budaya, melainkan dibicarakan juga hak buruh atas tanah, hak atas lingkungan sampai hak-hak konsumen. Oleh karena pendidikan HAM mutlak diberikan disekolah. c. Advokasi HAM Advokasi adalah dukungan, pembelaan, atau upaya dan tindakan yang terorganisir dengan menggunakan peralatan demokrasi untuk menegakkandan melaksanakan hokum dan kebijakan yang dapat menciptakan masyarakat yang adil dan bersetara. Sedang yang dimaksud dengan peralatan yaitu pemilihan umum, mobilisasi masa, aksi sipil, loby, perundingan, tawar-menawardan aksi dipengadilan. Pemanfaatan peralatan ini dipergunakan untuk berpartisipasi di dalam tindakan yang terorganisir yang melibatkan organisasi no pemerintah, media, dan bahan-bahan pengambil keputusan. Advokasi terhadap HAM bertujuan untuk merubah lembaga-lembaga masyarakat dengan menegakkan keadilan dan kesetaran untuk memperoleh akses dari tuntutan pengambilan keputusan. Para pelaku advokasi merancang upaya dan tindakannya untuk mempengaruhi pemegang kekuasaan pemerintahan, politik, ekonomi sehingga para pengambil keputusan dapat memperhatikan aspirasi mereka. Untuk itu mereka dapat menggunakan tindakan-tindakan resmi maupun tidak resmi dengan membangkitkan sumber-sumber kekuasaan mereka, misalnya dalam bentuk mengorganisir rakyat, melaksanakan pendidikan. d. Kelembagaan HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnans HAM) adalah lembaga yang dibentuk dalam rangka peningkatan pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia. Komisiini bertujuan untuk membantu mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia guna mendukung terwujudnya pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut komisi nasional hak asasi manusia telah melaksanakan: (1) menyebar luaskan wawasan nasional dan internasional mengenai hak asasi manusia baik kepada masyarakat Indonesia maupun kepada masyarakat internasional; (2) mengkaji berbagai intsrumen perserikatan bangsa-bangsa mengenai kemungkinan aksessi atau meratifikasinya; (3) memantau dan menyelidiki pelaksanaan hak asasi manusia serta memberikan pendapat, pertimbangan dan saran kepada badan pemerintahan Negara mengenai pelaksanaan hak asasi manusia dan; (4) mengadakan kerjasama regional dan internasional dalam rangka memajukan dan melindungi hak asasi manusia. 2. Hambatan dan Tantangan dalam Rangka HAM Hambatan dan tantangan yang sering ditemukan dalam penegakkan HAM di Indonesia adalah masalah ketertiban dan keamanan nasional, rendahnya kesadaran akan hak-hak asasi yang dimiliki dan miliki orang lain, serta terbatasnya perangkat hokum dan perundang-undangan yang ada. Secara umum kendala dan tantangan dalam penegakkan HAM dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kendala ideologis, kendala ekonomis dan kendala teknis. Secara ideologis terdapat perbedaan yang sngat tajam konsepsi hak asasi manusia antara ideology sosialis dan liberal. Konsepsi hak asasi manusia dalam pandanagan liberal lebih mengutamakan perhormatan terhadap hak-hak pribadi, sipil dan politik, sedangkan pandangan sosialis lebih menonjolkan pada peran Negara atau peran masyarakat. Perbedaan pandangan inilah yang menjadikan kendala dalam penegakkan hak asasi di dunia, apalagi di Negara sedang berkembang yang secara ekonomis dan politis berada dalam kondisi peralihan, belum mantap. Pada dasarnya ada hubungan antara kondisi ekonomi masyarakat dengan penegakkan HAM, semakin tinggi tinggakat perekonomian masyarakat, semakin tinggi pula upaya untuk selalu menegakkan dan mengembangkan HAM dalam kehidupan. Secara ekonomis dalam penekkan HAM dimaksudkan adalah kondisi masyarakat yang secara ekonomis sangat terbatas, sehingga tidak mampu mememnuhi kebutuhan dasar hidupnya menyebabkan tidak terpenuhinya hak-hak sipil dan politik dari masyarakat. Bertolak dari hal tersebut, pemerintah di Negara miskin, Negara sedang berkembang, harus mampu menjalankan dua hal penting, yaitu upaya peningkatan perekonomian masyarakat dan penegakkan HAM. Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui berbagai kegiatan pembangunan dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada (alam dan manusia) kemudian membagi penghasilan secara adil. Kendala teknis bermakna belum diratifikasinya berbagai instrument internasional HAM oleh Negara-negara yang ada di dunia. Kalaupun sudah diratifikasi, ratifikasi tersebut baru saja dilaksanakan, menunda-nunda pengawasan pelaksanaan ketentuan konvensi, serta banyaknya persyaratan yang dikemukakan oleh Negara-negara yang akan meratifikasi suatu konvensi HAM internasional. 3. Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Masa Lalu Tuntutan pengungkapan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu selalu terjadi di Negara yang sedang beralih dari pemerintahan otoriter menuju pemerintahan demokrasi. Pengungkapan HAM masa lalu merupakan syarat untuk melangsungkan demokrasi. Membiarkan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu tanpa proses hokum, akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap sisitem hokum, dan juga akan menghancurkan tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Ada dua persoalan pokok pada pelanggaran HAM masa lalu yaitu hak-hak korban pelanggaran HAM tidak pernah dipulihkan dan para pelaku pelanggaran HAM tidak pernah diproses secara hokum sebagaimana mestinya. Menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu harus ditempatkan sebagai sebuah tindakan untuk membangun fondasi terciptanya pemerintahan yang demokratis dengan jalan menghormati hak asasi manusia. Tindakan koreksi terhadap masa lalu merupakan usaha untuk memberikan keadilan kepada para korban. Reparasi diartikan sebagai semua upaya atau tindakan yang mencakup pengakuan rehabilitasi, restetusi dan kompensasi Karlina Leksono (Tanurejo,2002), menegaskan, ada tiga langkah pengalaman di Negara lain dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu adalah: (1) memulihkan hak-hak korban dan keluarganya melaui proses reparasi; (2) adalah petanggung jawaban hokum atas kejahatan yang dilakukan oleh pelaku dengan membuka kemungkinan pemberian amnesty, tetapi tidak mengabaikan rasa keadilan, dab (3) perlunya referensi kebijakan dari lembaga peradilan untuk memungkinkan terciptanya penegakkan hokum. Pada banyak Negara di dunia terutama Negara-negara sedang berkembang, pelanggaran HAM pada pokoknya berkisar pada pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak warga Negara dan hak-hak politik, misalnya pembatasan hak-hak untuk mengeluarkan pendapat dan berserikat, manipulasi ideology dan penindasan politik, penahanan yang sewenang-wenang hokum yang represif serta pelanggaran-pelanggaran structural. 4. Pelanggaran Hak Asasi Manusia Pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi pada saat tidak cermatnya menuangkan prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia kedalam peraturan perundang-undangan, dan juga pada tahap pelaksanaan peraturan perundang-undangan oleh unsure aparatur penguasa administratib (Sudarmo, 1994) Konsep hak asasi manusia dapat digunakan sebagai tolak ukur terhadap kualitas produk perundang-undangan. Produk perundang-undangan tidak hanya dilihat dari proses demokratisasi melainkan juga diukur dari ketaatan asas dengan hak asasi manusia. Dalam Negara yang menganut faham konstitusionalisme penegakkan hak asasi manusia identik denagn penegakkan konstitusi, sebagai jaminan terhadap masyarakat. Konstitusi merupakan instrument untuk: (1) membatasi kekuasaan penguasa agar tidak sewenang-wenang; (2) melindungi hak-hak asasi manusia; dan (3) sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintah. Perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi penerapannya dilakukan melalui undang-undang, praktik penyelenggaraan pemerintahan dan dalam penyelesaian kasus di pengadilan. Dalam UU No.39 Tahun 19999 dijelaskan pada pasal (1) bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara baik disengaja ataupun kelalaian yang secara melawan hokum mengurangi, menghalangi, dan mencabut hak asasi manusia seseorang ataun kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hokum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hokum yang berlaku. Pengertian pelanggaran hak asasi manusia ini dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 104 ayat (1) yang menerangkan pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi pembunuhan missal (genoside), pembunuhan sewenang-wenang atau putusan diluar pengadilan (arbitrary/ exstra yudicial killing) penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematik (systematic discrimination). Menurud Undang-undang No.26 Tahun 2000, pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dirumuskan ‘setiap orang’, yang berarti bias perorangan, kelompok orang baik sipil, militer maupun polosi akan bertanggung jawab secara individual. Orang perorangan berarti orang secara pribadi atau dirinya sendiri, sedangkan kelompok orang berarti bahwa pelanggaran hak asasi manusia itu dilakukan oleh satu kelompok orang yang terdiri dari beberapa orang. Dari kata kunci ‘setiap orang’ berarti pertanggung jawaban perbuatan pelanggaran hak asasi manusia ini adalah secara individual. Oleh karena itu tidak dikenal pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Negara atau badan hokum public atau badan hokum perdata. Jadi tidak kenal pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan institusi. Oleh karena itudalam hal ini yang diminta pertanggung jawaban oleh hokum adalah pelakunya sendiri. Disamping itu ada yang agak berbeda dengan hokum pidana biasa dalam pertanggung jawaban dalam pelanggaran hak asasi manusia adalah tanggung jawab komandan militer. Dalam pasal 42 ayat (1) Undang-undang No.26 tahun 2000 menyatakan bahwa komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dimintai pertanggung jawaban terhadap tindak pidana yang berada dalam yuridiksi pengadilan hak asasi manusia yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komandonya dan pengendaliannya yang efektif. Demikian juga seorang atasan yang dimintai pertanggung jawaban pidana atas pelanggaran hak asasi manusiayang berat yang dilakukan oleh bawahannya atau yang berada dibawah kekuasaannya dan pengendaliannya yang bersifat efektif, apabila atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar. Hal ini bias terjadi apabila atasan itu mengetahui atau secar sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya sedang melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat dan tidak mengambil tindakan yang layak yang diperlukan di dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan dan penuntutan. 5. Prosedur Penyelesaian Pelanggaran HAM Dalam upaya penegakan keadilan pengadilan HAM umtuk hak asasi manusia telah dibentuk pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Dengan munculnya pengadilan hak asasi manusia diharapkan akan dapat melindungi hak-hak dasar manusia baik perorangan maupun masyarakat. Hal ini didasarkan pada pelanggaran hak asasi manusia yang dibuat merupakan: ''Extra Ordanary Crimes'' dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional selain itu pengadilan HAM Ad Hoc digunakan untuk memeriksa, memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum diundangakannya undang-undang pengadilan HAM. 6. Ketentuan Pidana Dalam ketentuan undang-undang pengadilan hak asasi manusia tersebut dicantumkan ketentuan pidana. Untuk pelaku kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan diberikan ancaman hukuman mati, penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh lima tahun dan paling ringan sepuluh tahun. Untuk kejahatan penyiksaan diancam dengan hukuman maksimal lima belas tahun penjara dan minimal lima tahun penjara. Bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berupa kekerasan seksual, penganiayaan SARA dan penghilangan secara paksa diancam dengan hukuman selama-lamanya dua puluh tahun penjara dan paling ringan sepuluh tahun penjara. Bagi kejahatan yang dikategorikan percobaan, pemufakatan jahat atau perbantuan melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat dianggap sebagai tindak pidana yang telah selesai/ sempurna pelaksanaanya dikenakan penjara sebagaimana ketentuan di atas. Demikian juga seorang komandan militer dapat dimintai pertanggungjawaban atas pelangaranhak asasi manusia berat yang dilakukan bawahanya dengan ancaman hukuman sesuai dengan ketentuan pidana yang telah disebutkan diatas. 7. Konsekuensi dari Peradilan HAM Keberadaan pengadilan HAM di Indonesia merupakan langkah besar yang harus diberi apresiasi politik terlepas dari kualitas putusan hakim yang harus dipenuhi. Setelah kehadiran pengadilan HAM di Indonesia, Indonesia mengalami kemajuan pesat dalam ilmu HAM. Para hakim, jaksa, dan pengacara mau tidak mau, suka tidak suka dituntut memiliki pengetahuan dalam bidang HAM. Jaksa dan hakim harus bekerja keras untuk mengadili para pelanggar HAM. Demikian juga para akademis di perguruan tinggi juga dituntut pemahaman tentang HAM. Dalam pasal 90 undang-undang No.39 tahun 1999 menyatakan setiap orang atau kelompok orang yang mrmiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat memajukan laporan dan pengaduan dengan lisan maupun tertulis kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam hal pengaduan dilakukan pihak lain maka pengaduan harus disertai dengan persetujuan dari pihak hak asasinya dilanggar sebagai korban. Kecuali untuk pelanggaran hak asasi manusia tertentu berdasarkan petunjuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia termasuk juga pengaduan melalui perwakilan. Yang dimaksud dengan pengaduan melalui perwakilan adalah pengadilan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok untuk bertindak mewakili masyarakat tertentu yang dilanggar hak asasinya dan atau dasar kesamaan kepentingan hukumnya. 8. Perlindungan Saksi Di Indonesia sebelum lahir undang-undang No. 26 tahun 2000 tidak dikenal adanya peelindungan bagi korban dan saksi. Akibatnya banyak korban pelaku kejahatan yang enggan untuk membuat laporan pengaduan atas tindak pidana yang dialaminya. Demikian juga banyak saksi yang enggan memberikan kesaksiannya karena takut keselamatannya terancam. Kondisi demikian telah diantisipasi dalam pasal 34 undang-undang No.26 tahun 2000, dimana setiap korban dan saksi dalam perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak mendapat perlindungan fisik dan mental dari segala macam bentuk ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun. Perlindungan ini wajib diberikan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan. 9. Penangkapan dan Penahanan Setelah mendapatkan laporan telah terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia berat, maka dilakukan penangkapan terhadap tersangka. Penangkapan dilakukan oleh penyidik harus disertai dengan bukti permulaan yang cukup, surat tugas dan surat penangkapan serta uraian singkat pelanggaran hak asasi manusia berat yang disangkakan. Setelah bukti permulaan dipandang cukup (pasal 184 KUHAP) berupa keterangan saksi (minimal dua orang), keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa bila masih diperlukan bisa dilakukan penahanan. Untuk melakukan penangkapan minimal telah ada dua alat bukti. Tujuan dari penahanan adalah tersangka atau terdakwa tidak melarikan diri, merusak brang bukti menghilangkan brang bukti dan mengulangi pelanggaran hak asasi manusia berat. Selain itu juga untuk memudahkan dilakukannya penyelidikan dan penyidikan. Penyidik dalam melakukan tugasnya mempunyai kewenangan untuk: (1)melakukan penyelidikan dan pemeriksaan; (2) menerima laporan dan pengaduan; (3) melakukan pemanggilan dan meminta keterangan; (4) memanggil saksi; (5) meninjau tempat kejadian; (6) memanggil para pihak yang terkait; (7) atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa pemeriksaan surat, penggeledahan dan penyitaan serta pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan dan tempat-tempat lain yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu serta mendatangkan ahli dalam hubungan penyelidikan. 10. Peradilan Setelah penyidikan selesai maka berkas dilimpahkan kepengadilan untuk dilakukan penuntutan. Majelis hakim yang memeriksa pelanggaran hak asasi manusia berat terdiri dari lima orang yaitu dua orang hakim dari pengadilan hak asasi manusia dan tiga orang hakim ad hoc. Apabila yang bersangkutan (tersangka atau jaksa) tidak puas dengan putusan hakim maka mereka dapat melakukan upaya hukum yang lebih tinggi lagi yaitu banding, kasasi dan peninjauan kembali keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (PK). Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan salah satu kejahatan internasional, disamping genocide, kejahatan perang, perang agresif dan bajak laut. Persangkaan terhadap orang yang melakukan kejahatan internasional berlaku yuridis universal yang implikasinya tersangka dapat dituntut oleh siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Dalam sangkaan atas kejahatan internasional penuntutan dapat dilakukan oleh suatu negara atau penuntut internasional. Namun penuntutan tidak bisa dilakukan lagi apabila tersangka meninggal dunia atau apabila terhadap mereka para tersangka telah dilakukan penuntutan dan diproses peradilan. Doktrin ne bis in idem yang berlaku dalam hukum pidana berlaku juga dalam kejahatan internasional. Maka dengan memberlakukan asas nebis in idem perlu digelar peradilan HAM nasional yang fair dan tidak memihak kepada pelaku pelanggaran HAM. Peradilan Internasonal yang berwenang mengadili para tersangka kejahatan Internasional dapat dikategorikan dalam dua bentuk. Pertama , adalah peradilan Internasional yang bersifat ad hoc yang berarti setelah selesai mengadli peradilan itu dibubarkan dan kedua, peradilan Internasional yang bersifat permanen yaitu Internasional Criminal Court (ICC) yang didirikan berdasarkan sebuah perjanjian Internasional tahun 1998 yang dikenal dengan nama statute roma (YUwono,2003) Tujuan idial dari pengadilan hak asasi manusia adalah untuk memlihara perdamaian dunia, menjamin hak asasi manusia serta memberikan perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan perorangan atau pun masyarakat. Sedang tujuan praktisnya adalah untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Oleh karena itu ruang lingkup yang menjadi kewenangannya meliputi untuk memeriksa dan memutuskan pelanggaran hak asasi manusia berat. Sedang terhadap kejahatan hak asasi manusia berat sebelum undang-undang ini berlaku ditangani oleh pengadilan hak asasi manusia ad hoc. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dianut beberapa asas, yaitu: 1. Hanya mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat (Pasal 4). Pengadilan hak asasi manusia didirikan hanya untuk mengadili pelanggaran berat HAM saja, yakni genosida dan kejahatan kemanusiaan. Sementara kejahatan terhadap HAM yang dikualifikasi sebagai ringan diasili di siding pengadilan pidana biasa, di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Militer sesuai dengan status hukum terdakwanya. 2. Kejahatan Universal (Pasal 5) pengadilan HAM berwenang memeriksa dan memutus perkara pelnggaran HAM berat, yang dilakukan di luar batas teritorial Negara Republik Indonesia oleh warga Negara Indonesia. 3. Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan (Pasal 7) pelanggaran HAM yang berat menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 hanya menyangkut genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 4. Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum (Pasal 11, Pasal 23) Dalam perkara pelanggaran HAM penyidik dan penuntut umumnya adalah Jaksa Penuntut Umum/Penyidik. 5. Pejabat Ad Hoc Dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia dikenal Penyidik Ad Hoc, (Pasal 18 ayat 2), Penuntut Umum Ad Hoc (Pasal 21 ayat 8), dan Hakim Ad Hoc (Pasal 2 ayat 2). Majelis Hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia terdiri berjumlah 5 (lima) orang, yakni 2 (dua) orang Hakim paida Pengadilan Hak Asasi Manusia dan 3 (tiga) orang Hakim Ad Hoc, yang diangkat oleh presiden. 6. Pemeriksaan Banding Dan Kasasi Limitative (Pasal 32, Pasal 33). Tenggang waktu pemeriksaan banding dan kasasi dibatasi paling lama hanya 90 (Sembilan puluh) hari. 7. Perlindungan Korban Dan Saksi (Pasal 34) Dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia, korban dan saksi dilindungi oleh kepolisian 8. Dikenal Kompensasi, Restitusi Dan Rehablitasi Korban (Pasal 35). Kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat diberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi 9. Ancaman Hukuman Diperberat (Pasal 36, Pasal 37). Dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia ancaman hukumannya berupa hukuman mati, seumur hidup, penjara 25 (dua puluh lima) tahun (maksimum) dan minimum 10 (sepuluh) tahun. Ini berarti lebih berat dari ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menentukan hukuman penjara paling lama 20 ((dua puluh) tahun. 10. Tanggung Jawab Komandan dan Atasan (Pasal 42). Dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dikenal tanggung jawab Komandan atau atasan atas pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh bawahan 11. Retro Aktif (Pasal 43, Pasal 47) Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dilakukan sebelim berlkuny Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diadili oleh pengadilan HAM Ad Hoc, yang dibentuk atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republic Indonesia dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden secara kasus per kasus. 12. Tidak Ada Daluwarsa (Pasal 46) Perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia tidak mengenal tenggang waktu daluwarsa. Oleh karena itu sewaktu-waktu dapat diselidik, didakwa atau diadili 13. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai Penyelidik (pasal 18). Untuk penyelenggaraan Hak Asasi Manusia yang berat penyelidikannya adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Ini berbeda dengan tindak pidana umum, yang penyelidikannya adalah Polisi. 14. Kewenangan Ankum Dan Perwira Penyerah Perkara tidak ada (Pasal 49) Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Penyidik Militer terdiri drai atasan yang berhak menghukum (Ankum) polisi militer dan Oditur Militer (Pasal 10). Ankum berwenang untuk memerintahkan melakukan pemeriksaan, menjatuhkan hukuman disiplin dan menunda pelaksanaan hukuman disiplin terhadap Prajurit yang berada di bawah wewenangnya (Pasal 12). Dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat kewenangan Ankum tersebut tidak ada. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Konsep atau pengertian dasar hak asasi manusia (HAM) beraneka ragam antara lain dapat ditemukan dari penglihatan dimensi visi, perkembangan, Deklarasi Hak Asasi Universal/PBB (Universal Declaration of Human Right/UDHR), dan menurut UU No. 39 Tahun 1999. Pengertian hak asasi manusia menurut UDHR dapat ditemukan dalam Mukaddimah yang pada prinsipnya dinyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan pengakuan akan martabat yang terpadu dalam diri setiap orang akan hak hak yang sama dan tak teralihkan dari semua anggota keluarga manusia ialah dasar dari kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia (Maurice Cranston, 1972 : 127). Hak-hak asasi menimbulkan bermacam-macam konflik di dalam masyarakat. Semuanya harus dipandang harmonis dan selaras, sekurang-kurangnya secara lahiriah. Penghormatan, perlindungan dan pemajuan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia telah mengalami pasang surut, bersamaan dengan pasang surutnya (dinamika) politik ketatanegaraan Republik Indonesia. Tujuan idial dari pengadilan hak asasi manusia adalah untuk memlihara perdamaian dunia, menjamin hak asasi manusia serta memberikan perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan perorangan atau pun masyarakat. Sedang tujuan praktisnya adalah untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. B. Saran Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain. Jadi dalam menjaga HAM kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi antara HAM kita dengan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar