Senin, 22 Juni 2015

CARA PANDANG LOKAL DALAM KONTEKS WAWASAN KEBANGSAAN DAN NASIONALISME INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wawasan kebangsaan lahir ketika bangsa Indonesia berjuang membebaskan diri dari segala bentuk penjajahan, seperti penjajahan oleh Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Perjuangan bangsa Indonesia yang waktu itu masih bersifat lokal ternyata tidak membawa hasil, karena belum adanya persatuan dan kesatuan, sedangkan di sisi lain kaum colonial terus menggunakan politik “devide et impera”. Kendati demikian, catatan sejarah perlawanan para pahlawan itu telah membuktikan kepada kita tentang semangat perjuangan bangsa Indonesia yang tidak pernah padam dalam usaha mengusir penjajah dari Nusantara. Dalam perkembangan berikutnya, muncul kesadaran bahwa perjuangan yang bersifat nasional, yakni perjuangan yang berlandaskan persatuan dan kesatuan dari seluruh bangsa Indonesia akan mempunyai kekuatan yang nyata. Istilah Wawasan Kebangsaan terdiri dari dua suku kata yaitu “Wawasan” dan “Kebangsaan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) dinyatakan bahwa secara etimologis istilah “wawasan” berarti: (1) hasil mewawas, tinjauan, pandangan dan dapat juga berarti (2) konsepsi cara pandang. Wawasan Kebangsaan sangat identik dengan Wawasan Nusantara yaitu cara pandang bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan nasional yang mencakup perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai kesatuan politik, sosial budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan (Suhady dan Sinaga, 2006). “Kebangsaan” berasal dari kata “bangsa” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) berarti kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri. Sedangkan “kebangsaan” mengandung arti (1) ciri-ciri yang menandai golongan bangsa, (2) perihal bangsa; mengenai (yang bertalian dengan) bangsa, (3) kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara. Dengan demikian wawasan kebangsaan dapat diartikan sebagai konsepsi cara pandang yang dilandasi akan kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara akan diri dan lingkungannya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prof. Muladi, Gubernur Lemhannas RI, meyampaikan bahwa wawasan kebangsaan adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya, mengutamakan kesatuan dan persatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kesatuan atau integrasi nasional bersifat kultural dan tidak hanya bernuansa struktural mengandung satu kesatuan ideologi, kesatuan politik, kesatuan sosial budaya, kesatuan ekonomi, dan kesatuan pertahanan dan keamanan. Wawasan kebangsaan berkaitan erat dengan Nasionalisme Indonesia. Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut. Nasionalisme Indonesia pada awalnya muncul sebagai jawaban atas kolonialisme. Pengalaman penderitaan bersama sebagai kaum terjajah melahirkan semangat solidaritas sebagai satu komunitas yang mesti bangkit dan hidup menjadi bangsa merdeka. Semangat tersebut oleh para pejuang kemerdekaan dihidupi tidak hanya dalam batas waktu tertentu, tetapi terus-menerus hingga kini dan masa mendatang. Pada masa sekarang ini satu hal yang perlu dibenahi oleh bangsa Indonesia adalah mentalitas warga masyarakatnya. Sikap mental yang kuat dan konsisten serta mampu mengeksplorasi diri adalah salah satu bentuk konkrit yang dibutuhkan bangsa Indonesia pada saat ini. Saat ini memang bangsa Indonesia sedang mengalami massa-masa keterpurukanya dalam dunia intetrnasional. Krisis multidimensi yang di barengi dengan krisis ekonomi yang berkepanjanganlah yang menyebabkan kegoncangan dan keterpurukan mental Indonesia. B. Rumusan Masalah 1. Apakah yang dimaksud dengan “Masyarakat Indonesia adalah Masyarakat Pluralistis”? 2. Apa yang membedakan wawasan lokal dengan wawasan nusantara? 3. Bagaimana substansi wawasan kebangsaan berkaitan dengan pluralitas masyarakat Indonesia? 4. Bagaimana nasionalisme pada bangsa Indonesia berjalan? C. Tujuan 1. Memahami akan pemahamankritis SARA dalam pluralitas bangsa 2. Menambah wawasan akan arti daripada hakikat ‘wawasan kebangsaan’ 3. Guna untuk meningkatkan jiwa nasionalisme bangsa Indonesia BAB II PEMBAHASAN A. Masyarakat Indonesia adalah Masyarakat Pluralistis Kondisi geografis dan sosial budaya nusantara lebih banyak mewarnai corak kehidupan bangsa Indonesia. Saudara pasti masih ingat – sebuah ungkapan lama namun tetap penting untuk kita catat sampai hari ini – bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk (pluralistis). Kemajemukan masyarakat Indonesia itu ditandai oleh beberapa faktor, yang antara lain oleh perbedaan suku, agama, ras/etnis dan antar golongan serta kebudayaan lokal yang beraneka ragam. Sebagai konsekuensi masyarakat yang pluralistis, masyarakat Indonesia secara kultural memiliki kebudayaan yang bersifat majemuk (kebhinekaan) pula. Dan jika kita kaji secara mendalam, kemajemukan budaya tidak saja memiliki makna sosial, akan tetapi juga bisa bermakna politis. Hal ini disebabkan bukan saja karena setiap etnik mempunyai daerah asal yang jelas otonomi dan batas-batasnya, melainkan juga memiliki kultur politik (political culture) yang beragam. Dalam kondisi variasi kultur ini, kultur politik yang berkembang pada masyarakat lokal bisa sama dan bisa berbeda dengan kultur politik negara. Pernyataan ini mengisyaratkan kepada kita, bahwa persoalan kebudayaan tidak saja penting menjadi agenda masyarakat lokal akan tetapi juga penting menjadi tanggungjawab pemerintah (negara). Dan ini terkadang bisa menyebabkan hubungan antara masyarakat lokal dan negara menjadi tidak seimbang, lantaran terdapatnya benturan nilai-nilai kultural rakyat dan nilai yang dikembangkan sebagai kultur negara. Dalam hubungannya dengan masyarakat majemuk, Berghe (dalam Nasikun, 1993) mengidentifikasi karakteristiknya yang meliputi: (1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang memiliki sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain; (2) memiliki struktur sosial yang terbagi dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer; (3) kurangnya mengembangkan konsensus di antara para anggota terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar; (4) secara relatif sering kali mengalami konflik di antara kelompok dengan kelompok lain; (5) secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coersion) dan saling ketergantungan; dan (6) adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok lain. Masyarakat Indonesia yang majemuk, yang ditandai oleh beragamnya kebudayaan daerah, pada dasarnya merupakan masyarakat yang rentan akan konflik. Hal ini disebabkan karena masing-masing kebudayaan daerah secara ideasional dan fisik, memiliki karakteristik yang berbeda yang sulit untuk berintegrasi. Masing-masing pendukung kebudayaan daerah (baca: suku-suku bangsa) saling berupaya agar kebudayaan yang dihasilkan mampu bertahan sebagaimana kebudayaan-kebudayaan daerah yang lain. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh suatu masyarakat terkadang justru berbeda dengan nilai-nilai budaya yang telah disepakati oleh masyarakat di tempat dan lingkungan geografis lain. Kendatipun disadari adanya pepatah Jawa; “desa mawa cara” dan “kutha mawa tata” (desa dan kota yang memiliki cara dan aturan sendiri-sendiri), hal demikian bisa jadi akan berpengaruh bagi wawasan mereka, ketika pola pikir lokal ditempatkan dalam kerangka pikir kehidupan berbangsa dan bernegara (nasional). Dalam kaitan itu, ketika persoalan kebudayaan dipandang penting sebagai agenda pemerintah dan demikian seringnya persoalan kebudayaan dimasukkan dalam konteks kehidupan berbangsa, berakibat penanganan masalah kebudayaan berubah menjadi argumen politik pemerintah. Dalam kasus negara kita, kebudayaan politik (political culture) sebagian besar ditandai oleh usaha pemerintah untuk mencapai politik kebudayan (political culture). Berkaitan dengan dua konsep itu, Emersen (dalam Egnas Kleden, 1987), menegaskan bahwa kebudayaan politik adalah orientasi budaya kelompok elite politik yang sangat menentukan orientasi politik mereka sendiri; sedangkan politik kebudayaan menunjukkan kepada kenyataan dimana perbedaan-perbedaan kebudayaan diperpolitikkan dan perbedaan politik diungkapkan dalam idiom-idiom kebudayaan. Bagaimanakah agar urusan budaya tidak mudah terseret dalam kawasan politik-politikkan dan hanya mengarah padaargumen politik pemerintah? Untuk menjawab persoalan itu, pemerintah (negara) harus mampu merumuskan kebijakan nasional tentang budaya, yang tidak menguntungkan negara saja, tetapi juga menguntungkan masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk tadi. Dalam hal kebudayaan, negara tidak perlu merumuskan kebijakan nasional seperti apa, melainkan cukup memberikan kelonggaran bagi budaya lokal (daerah) agar mampu berekspresi dan menghormati aspirasi dan keunggulan masing-masing. Perlu disadari, bahwa dalam konteks bangsa dan negara Indonesia, aspirasi budaya lokal merupakan sebuah potensi bangsa yang sangat bermakna bagi pembangunan nasional, terutama bagi nation and character building Indonesia. Oleh karena itu, lembaga-lembaga kenegaraan seyogyanya berkonsentrasi penuh dalam memahami hal ini, dan secara politik berperan sebagai culture broker (pialang budaya) antara negara dengan entitas budaya masyarakat lokal yang beragam. Pentingnya posisi ‘penghubung’ dalam menjembatani antara dua kubu negara dan masyarakat, elite dengan massa, logika nasional dan logika lokal (daerah) menjadi keharusan yang dilakukan bagi para pengambil keputusan dan penentu arah pembangunan. Selain faktor politik, budaya juga sangat berpengaruh terhadap kehidupan suatu masyarakat, khususnya bagi pengembangan manusia itu sendiri. Clifford Geertz (dalam Ali, 1997), mengatakan bahwa budaya merupakan way of life, suatu petunjuk bagi tindakan dan tingkah laku manusia, yaitu ekspresi nilai-nilai dan cita-citanya. E. B Tylor, mengartikan budaya sebagai keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, kesusilaan, hukum, adat-istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Keontjaraningrat, 1982). Sementara itu, Kroeber dan Kluckhohn (dalam Mulyana, 1993) mengidentifikasikan budaya sebagai pola (pattern) yang eksplisit dan implisit dalam perilaku manusia yang dipelajari dan diwariskan melalui simbol-simbol yang merupakan prestasi khas manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda budaya. Sebagai suatu pola, budaya selalu mengacu pada sistem pengetahuan dan kepercayaan yang disusun sebagai pedoman manusia dalam mengatur pengalaman dan persepsi mereka, dalam menentukan tindakkan dan memilih di antara alternatif yang ada. Senada dengan itu, Philips R. Harris (dalam Mulyana, 1993) mengatakan bahwa budaya adalah gaya hidup kelompok manusia tertentu. Oleh karena itu, budaya memberi identitas kepeda sekelompok orang. Dia memiliki karateristik yang terjabar dalam aspek-aspek budayanya, misalnya bahasa, pakaian, penampilan, kebiasaan makan, nilai dan norma, kepercayaan dan sebagainya. Budaya memang sangat erat dengan kehidupan manusia, mulai dari gagasan pola aktivitas tingkah laku sampai dengan produkbenda-benda budaya. Demikian halnya dengan kehidupan politik. Tingkah laku manusia dan pilihan-pilihan politiknya, banyak ditentukan oleh latar belakang budaya; atau bahkan orientasi politik pun sangat ditentukan oleh budaya. Bagaimana cara penguasa mengambil keputusan politiknya, tentu tidak bisa dipisahkan dengan budaya yang melekat di benak mereka. Apakah yang melekat itu banyak didominasi oleh wawasan lokal atau nasional, atau keduanya yang bersifat integratif. Itulah sebabnya, budaya memberikan ‘arah’ bagaiman manusia bertingkah laku dan bagaimana mereka merespon perubahan dalam masyarakat. Dalam rangka merespon terhadap perubahan atau bertahan sekali pun, ragam budaya yang dianut manusia banyak mewarnai perilaku mereka. Katakanlah, ragam budaya Jawa dan budaya luar-Jawa. Budaya Jawa yang dikenal dengan sebagai budaya tertutup, lebih banyak menggunakan tat cara berkomunikasi dengan secara tidak langsung dan lebih banyak dicerminkan lewat simbol-simbol. Karena itu, dalam merespon perubahan biasanya lebih menggunakan kekuatan ‘endoginnya’ sehingga cenderung bertahan dan melakukan proses adaptasi yang cenderung lambat. Sedangkan budaya luar-Jawa, lebih banyak mewakili kebudayaan yang cenderung terbuka terhadap perubahan. Cara komunikasi dan interaksi yang menjadi acuan bagi individu nampak bersifat langsung, tidak berbelit dan sedikit menggunakan simbol atau perlambang. Karakteristik budaya tersebut, menunjukkan aspirasi lokal yang tumbuh dan berkembang pada daerah-daerah di mana bangsa Indonesia berada. Pemahaman dan pengkajian secara cermat, kritis dan penuh kehati-hatian terhadap aspirasi budaya itu, akan menentukan proses interaksi sosial bagi masyarakat Indonesia yang beraneka ragam. Karena itu aspirasi lokal akan menentukan bagi berkembangnya wawasan lokal, yang sama pentingnya dengan wawasan nasional. B. Wawasan Lokal dan Wawasan Nasional Wawasan nasional, pada dasarnya menjadi cara pandang suatu bangsa yang didalamnya menampakkan bagaimana suatu bangsa itu melakukan dialogis dengan kondisi geografis dan sosial budayanya. Wawasan nasional, juga diartikan sebagai cara pandang nasional yang merupakan salah satu gagasan falsafah hidup bangsa yang berisikan dorongan-dorongan (motives) dan rangsangan (drives) di dalam merealisasikan dan mencapai aspirasi serta tujuan nasionalnya. Bangsa Indonesia telah memiliki wawasan nasional ini, yaitu ‘wawasan nusantara’. Wawasan ini, tidak saja berlatar filosofis dan normatif, akan tetapi juga sekaligus sebagai analisis kajian empirik terhadap segala sesuatu yang menjadi realitas bangsa Indonesia. Oleh karena itu, wawasan nusantara (sebagai wawasan nasional) hendaknya diposisikan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, yaitu sebagai cara pandang bangsa, aspek kewilayahan dan wawasan pembangunan nasional. Implementasinya tidak saja sebagai pola pikir yang didasarkan pada tata budaya dan tata krama nasional, akan tetapi juga dalam tata hukum nasional yang mencakup ke seluruh aspek kehidupan bangsa (ipoleksosbudhankam). Namun demikian, dalam tataran lokal (daerah) bangsa Indonesia memiliki apa yang disebut dengan ‘wawasan lokal. Hal ini disebabkan karena bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, yang memeluk agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berbeda-beda, berbicara dalam bahsa daerah yang berbeda-beda, memiliki adat – kebiasaan (budaya daerah) yang berbeda-beda pula. Wawasan lokal dirasakan sangat perlu bagi kehidupan masyarakat di daerah, karena dapat digunakan dalam mengembangkan potensi dan kelebihan setiap daerah. Selain itu, dengan ‘wawasan lokal’ dapat digunakan sebagai cara pandang setiap daerah untuk mengetahui dan memperbaiki berbagai kekurangan yang dimilikinya. Bangsa Indonesia secara politis memang satu bangsa, namun secara sosial budaya, kita hidup dalam sebuah masyarakat dan geografis yang berbeda-beda. Ini adalah sebuah realitas yang tidak dapat dipungkiri serta sebuah kenyataan yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya wawasan lokal dan menuju ke wawasan nasional. Berkaitan dengan dua wawasan tersebut, hubungan wawasan nasional (wawasan nusantara) dengan wawasan lokal, hendaknya tidak kita maknai sebagai sesuatu yang kontradiktif. Sebab, antara keduanya selalu memiliki hubungan yang erat dan tidak terpisahkan. Munculnya keanekaragaman wawasan lokal jangan sampai sebagai sebab timbulnya perpecahan (disintegrasi) bangsa. Persoalannya sekarang, bagaimanakah eksistensi ‘wawasan nasional’ itu, jika dikaitkan dengan keberadaan ‘wawasan lokal’yang melekat dalam kehidupan bangsa Indonesia yang serba majemuk (pluralistis) ini? Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, keberadaan wawasan nasional, pada dasarnya digunakan sebagai ‘jembatan’ penghubung dan pemersatu bagi wawasan lokal yang terdapat di setiap atau geografis nusantara. Jadi, wawasan lokal pada dasarnya boleh berbeda dengan wawasan nasional, namun ada jembatan yang menghubungkan kedua wawasan tersebut. Selanjutnya, wawasan lokal tidak boleh bertentangan dengan wawasan nasional, dalam arti tidak boleh keluar dati konteks wawasan nasional. Keperbedaan wawasan lokal dengan wawasan nasional, harus diartikan sebagai variasi dan kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang diangkat dari keanekaragaman budaya yang ada. Secara demikian, munculnya wawasan nasional merupakan resultante (hasil)interaksi dari wawasan lokal yang beranekaragam. Agar eksistensi wawasan nasional dan wawasan lokal tersebut dapat dikembangkan dan dilestarikan, maka kebijakan nasional yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan kebijakan daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah (dalam konsep otonomi daerah) harus terjadi saling mebdukung. Kalau tidak, maka konflik bisa dipastikan akan selalu muncul dalam daerah-daerah di seluruh nusantara. Kebijakan nasional, hendaknya juga harus mampu menjadi jembatan yang berfungsi memfasilitasi bagi hubungan antara dua wawasan tadi, Konsekuensinya, perumusan kebijakan nasional harus selalu memperhatikan aspirasi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat lokal. Ragam kehidupan yang terjadi dalam sifat kemajemukan bangsa Indonesia, hendaknya patut ditangkap dan dimaknai secara kritis, bahwa mereka saling memiliki ‘keunggulan’ diantara yang lain. keunggunlan inilah yang harus dijadikan sebagai wacana negara (pemerintah) atau juga suku-suku bangsa di lingkungan wilayah negara itu, agar negara atau suku bangsa tersebut sama-sama merasa memiliki nilai lebih dalam suasana kehidupan kebersamaan dan kekeluargaan. Kebijakan negara, tidak bisa hanya ditunjukkan kepada sebagian wilayah dan masyarakat tertentu saja. Selain itu, kebijakan pemerintah kiranya juga tidak benar jika diupayakan untuk ‘melebur’ berbagai perbedaan lokal menjadi wacana nasional yang bersifat ‘unifikatif’. Apabila hal ini dipaksakan oleh negara (pemerintah), maka sama halnya pemerintah (negara) tidak menghormati aspirasi yang berkembang pada tingkat masyarakat lokal. Lebih parah lagi, ini mengenai munculnya suatu kebijakan yang tidak mendasarkan diri pada prinsip demokrasi dan keadilan, atau bahkan menunjukkan tidak adanya keberadapan (civilizing) negara. Melalui kebijakan tersebut, secara horisontal aspirasi masyarakat lokal tidak harus dilihat dari sisi ‘benar’ atau ‘salah’, akan tetapi lebih didasarkan prinsip bahwa masing-masing senantiasa memiliki kebaikan sendiri-sendiri. Secara demikian, pendekatan etnosentris, tidak akan berlaku untuk melihat atau bahkan tidak mungkin untuk menilai kebudayaan atau aspirasi masyarakat atau orang lain yang hidup dalam alam kemajemukan di nusantara ini. C. Pemahaman Kritis SARA dalam Pluralitas Bangsa SARA, yang merupakan akronim dari Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan, adalah sebuah fenomena kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, SARA adalah gejala inhern (menyerta dan bersamaan) dengan kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistis. Lebih dari itu, SARA nampak menjadi kekayaan bangsa dan masyarakat Indonesia, karena dengan itu masyarakat menjadilebih variatif dan dinamis. Namun demikian, tidak jarang muncul persepsi negatif berkaitan dengan SARA ini. Berbagai konflik, kerusuhan dan gejolak sosial yang timbul di dalam masyarakat kita, hampir semua dikaitkan dan bahkan dituduhka kepada persoalan SARA. Masyarakat cenderung tidak pernah bergeming dari perspektif yang diyakininya dalam memahami penyebab kerusuhan, kecuali SARA selalu dijadikan tersangka utamanya dan causa prima dari gejolak sosial masyarakat. Dampak sosiologis dari kondisi ini, konstruksi sosial tentang SARA dalam masyarakat lebih didominasi oleh perspektif rezim. Karena SARA menurut negara merupakan sumber perpecahan sosial, maka menjadi suatu pengetahuan atau realitas yang ditabukan. SARA oleh mereka selalu dipandang sebagai potensi konflik daripada energi politis yang mewujudkan demokrasi dan kemajemukan sosial. Sekarang, pemahaman realitas SARA hendaknya harus dirajutkembali. Ideologi dan perspektif terhadap SARA, perlu penataan ulang dalam dimensi pikir, dari ideologibahwa SARA sebagai sumber pemicu perpecahan sosial, menjadi SARA sebagai kekuatan untuk pemberdayaan dan demokrasi masyarakat. Langkah ini, kiranya tidak bisa dilakukan secara ‘gegabah’, dan karena itu memerlukan pemikiran yang serius dan penuh kehati-hatian. Sebab realitas SARA memang rentan dengan konflik yang kadang penuh dengan kerawanan untuk saling bertubrukan. Agar hal itu tidak muncul dalam praktik kehidupan, salah satu caranya adalah dengan meletakkan peran negara sebagai fasilitator, dinamisator, dan stabilisator kekuatan-kekuatan yang ada dalam komponen SARA. Negara jugaharus mampu menjembatani atau mengakomodasi setiap benturan kepentingan. Syaratnya, negara harus benar-benar embedded (tertanam dan mengakar) dalam masyarakatnya sehingga setiap kebijakan yang ditelurkan selalu mewakili masyarakatnya (Nugroho, 1997). Dengan kata lain, peran tersebut hanya bisa terjadi dalam negara yang sistem politiknya bersifat demokratis. Dalam negara yang monopolitik maka realitas SARA cenderung dilenyapkan, tentu saja demi kepentingan sebuah rezim, lewatkekuatan dominasi atau bahkan salah satu elemennya, misalnya melakukan kooptasi dan depolitisasi agama. Sebagai contoh, agama tidak boleh digunakan sebagai sarana berpolitik, akan tetapi kenyataannya oleh penguasa, agama justru digunakan sebagai alat bermobilisasi rakyat demi kepentingan rezim. Contoh lain, kebudayaan sering diperpolitikkan oleh penguas sehingga aspirasi pemilik dan pendukungbudaya itu tidak nampak, dan celakanya ekspresi budaya selalu berada dalamhegemoni negara demi suksesnya ideologi penguasa. D. Wawasan Kebangsaan dan Integrasi Nasional Secara sederhana, ‘wawasan kebangsaan’ Indonesia dapat didefisinikan sebagai cara pandang kesatuan kebangsaan Indonesia. Dan bukanlah benda, akan tetapi lebih erat dengan konsep kerangka berpikir dan mentalitas. Jika dikaitkan dengan sifat pluralitas masyarakat Indonesia, maka substansi wawasan kebangsaan adalah ‘integrasi nasional’, atau setidaknya integrasi nasional ini merupakan unsur atau aspek terpenting dalam wawasan kebangsaan. Wawasan kebangsaan dan integrasi nasional merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Dia ibarat ‘kepingan mata uang’, yang selalu menyatu dan saling menentukan kadar atau nilainya dalam pasar. Karena itu, terbentuknya integrasi nasional yang kokoh, akan banyak ditentukan oleh pengetahuan dan wawasan kebangsaan. Dengan kata lain, semakin kuat wawasan kebangsaan yang dimiliki oleh suatu bangsa akan semakin mantap pula integrasi nasionalnya. Secara demikian, wawasan kebangsaan dan integrasi nasional adalah ‘kata kunci’ untuk membina dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam kaitan itu,ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk membangun wawasan kebangsaan Indonesia yang ‘solid’ dan integrasi nasional yang mantap serta kokoh. Pertama, kemampuan dan kesadaran bangsa dalam mengelola perbedaan-perbedaan suku,agama,ras dan antara golongan serta keanekaragaman budaya dan adat istiadat yang tumbuh dan berkembang di wilayah nusantara.Perbedaan-perbedaan itu bukanlah sebagai suatu hal yang harus dipertentangkan,akan tetapi harus diartikan sebagai kekayaan dan potensi bangsa. Kedua, kemampuan mereaksi penyebaran ideologi asing,dominasi ekonomi asing serta penyebaran globalisasi dalam berbagai aspeknya.Dunia memang selalu berubah seirama dengan perubahan masyarakat dunia. Bersamaan dengan itu,ideology dunia juga merambah dikawasan global yang siap menyebarkan ‘virus’ perubahannya keseluruh penjuru dunia yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Dalam kaitan ini, perwujudan wawasan kebangsaan dan integrasi nasional,terkadang sering goyah akibat tuntutan dunia yang tidak kenal batas itu. Persoalan yang perlu dicermati, bagaimana suatu bangsa mampu membangun wawasan nasional dan integrasi nasional dengan mantap dan kokoh, sebagai modal dalam membangun sebuah ‘pendirian’ketika isu-isu global itu mulai ditawarkan.Sebagai warga dunia , setiap warga negara dan bangsa hendaknya mampu berpikir kritis terhadap kemajuaan dunia, agar mereka selalu memiliki world view (pandangan dunia) secara mantap dan tidak ketinggalan oleh kemajuan bangsa-bangsa lain. Namun demikian, perspektif global juga tidak lepas dengan sebuah paradox,yang kadang bisa membingungkan masyarakat dunia.Dalam rangka ini, kematangan pendirian sebuah bangsa menjadi penting, karena dengan itu, suatu bangsa akan mampu melakukan pilihan-pilihan secara rasional (rational choices) terhadap apa yang sedang muncul sebagai ‘gebyar jaman’ (dunia). Posisi lokal hendaknya juga perlu diperhatikan dalam menentukan pendirian bangsa Indonesia atas semangat kebangsaannya. Abad ke-21, milenium baru yang bercirikan liberalisasi dan perdagangan serta mendewa-dewakan budaya global itu,bisa melanda bangsa-bangsa yang melewah wawasan kebangsaannya. Itulah sebabnya, mantra abad baru sebagaimana oleh John Neisbiett (1994) yang berbunyi “Berpikirlah Lokal, bertindaklah Global” (think locally, act globally), menjadi penting diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.Mantra itu, sebagai kebalikan dari frasa lama,yaitu “Berpikirlah Global,Bertindaklah Lokal” (think globally,act locally). Sebab menurutnya, pola ‘berpikir lokal,bertindak global’, hanya bisa dilakukan bangsa yang kuat semangat kebangsaannya.Sebagai ilustrasi, misalnya Jepang, dengan budaya yang paling homogen itu, telah bekerja luar biasa baiknya dalam berpikir secara lokal dan bertindak secara global selama bertahun-tahun. Ketiga, membangun sistem politik dan pemerintahan yang sesuai dengan ideologi nasional (pancasila) dan konstitusi UUD 1945. Keempat,penyelenggaraan ‘proyeksi budaya’ dengan cara melakukan pemahaman dan sosialisasi terhadap simbol-simbol identitas nasional misalnya : Bahasa Indonesia,Lagu Indonesia Raya, Bendera Merah Putih dan Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persoalan sekarang , integrasi nasional yang seperti apa yang hendak kita kembangkan di Indonesia, yang masyarakatnya bersifat majemuk (pluralistis) itu? Beranalog dengan konsep wawasan kebangsaan tadi, maka integrasi nasional hendaknya juga diartikan bukan sebagai benda akan tetapi harus diartikan sebagai “semangat” untuk melakukan penyatuan terhadap unsur-unsur dan potensi masyarakat Indonesia yang beranekaragam.Secara demikian, integrasi nasional di Indonesia, bukanlah sebuah ‘peleburan’ yang sifatnya ‘unifikatif’,akan tetapi lebih tepat disebut integrasi nasional yang bersifat ‘difersifikasi’ (pembedaan). Dengan cara ini perbedaan tetap diakui, karena dengan ini masyarakat akan bebas berekspresi selaras dengan aspirasi dan way of life yang diangkat dengan nilai-nilai moral yang bersumber dari budaya daerah setempat (local).Disamping itu, integrasi nasional yang defersifikatif lebih nampak demokratis,ketimbang integrasi nasional yang unifikatif yang justru mengarah pada perkosaan HAM dan memungkiri realitas perbedaan.Integrasi nasional yang defersifikatif,lebih sesuai dengan semboyan yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda itu pada hakekatnya adalah satu. Karena perbedaan masyarakat merupakan realitas sosial, maka keberadaannya tidak bisa dilenyapkan. Bahkan setiap upaya untuk melenyapkan dengan dalih apa pun, termasuk menuju ‘unifikasi’ masyarakat,cenderung akan menimbulkan keresahan,gejolak sosial,kerusuhan massa dan pasti berakhir dengan disintegrasi bangsa.Kemajemukan masyarakat (plures) tidak dapat dilenyapkan demi jargon persatuan dan kesatuan,sebab persatuan itu harus dicapai lewat keberadaan pluralitas (Berger dan Neuhauss, 1977). E. Nasionalisme dalam Perspektif Indonesia Nasionalisme dan Negara bangsa (nation state) sebagai wadah organisasi sosial yang membungkusnya yang merupakan dua kekuatan terbesar di dunia.Keduannya mampu mendominasi wacana politik dunia selama abad 20 secara bertahap tetapi pasti, sekarang mulai berhadapan dengan sejumlah tantangan yang menempatkan keduannya dalam posisi yang cukup sulit. Kajian atas nasionalisme dan bangsa, dan juga negara bangsa,hingga kini masih tetap menjadi perdebatan oleh para ahli. Bagi sejumlah ahli, bangsa dan kesadaran berbangsa diyakini merupakan representasi atau perwakilan dari negara masa lalu yang terkait dalam upaya-upaya realisasi diri. Bangsa dalam makna ini adalah suatu entitas primordial yang merupakan bawaan yang melekat dalam nature dan sejarah manusia. Secara objektif suatu bangsa dapat diidentifikasi lewat perbedaan-perbedaannya dengan bangsa lain dalam hal cara pandang,keterikatan dengan tanah air, dan perjuangan-perjuangan untuk mendapatkan otonomi politik. Namun demikian, rumusan yang pasti mengenai nasionalisme dan negara bangsa sangat sulit untuk digagaskan. Tetapi jika diperhatikan arena persemaian awal, konsepsi tentang nasionalisme dan negara bangsa dan diikuti logika dibalik kehadiran nasionalisme dan negara bangsa yang tumbuh di negara-negara bekas jajahan, kita akan menemukan bahwa keduannya pada dasarnya adalah fakta perjanjian antara warga negara yang berdaulat dengan negara (Lay, 1997). Nasionalisme dan negara bangsa secara radikal telah merombak struktur kesetiaan politik rakyat dari kesetiaan kepada dinasti menjadi prinsip kedaulatan rakyat.Ia juga telah merombak secara radikal struktur kesetiaan pada tuan penjajah untuk digantikan dengan gagasan tentang kewarganegaraan. Karena itu, nasionalisme telah mentransformasikan masyarakat dan individu dari posisi sebagai subyek pasif dalam politik menjadi warga negara aktif yang mampu mengatur diri sendiri. Secara demikian, nasionalisme dan negara bangsa bukan saja memperhatikan kesejajaran antara massa rakyat dengan penguasa, tapi sekaligus didalamnya melekat impian-impian (harapan dan inspirasi) massa rakyat yang harus diwujudkan. Subtansi nasionalisme dan negara bangsa mencakup antara lain mengenai demokrasi, keadilan sosial,kesejahteraan dan HAM.Oleh karena itu, mustahil berbicara nasionalisme dan negara bangsa tanpa mengkaitkan dengan isu-isu di atas. Jika gagasan nasionalisme dan negara bangsa diatas dicermati, logikanya sangat sedikit orang tidak sepakat dengan keduanya. Di dalam konsep nasionalisme dan negara bangsa melekat semua nilai-nilai kemanusiaan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap peradapan manusia. Tetapi seperti terungkap pada tingkat praktis dalam masyarakat politik Indonesia, nasionalisme bisa dengan muda melahirkan penolakan atau sinisme dikalangan masyarakat. Nasionalisme secara politik agar ‘menjauhi’ atau ‘menerima’ sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani dan aspirasinya. Dalam konteks ‘menjauhi’ atau ‘menerima’ tersebut, nasionalisme Indonesia, sering mengalami hambatan di hadapan massa rakyat dan pemerintahannya sendiri. Dalam kaitan ini Cornelis Lay (1997) sempat mengidentifikasi, yang antara lain disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,berkaitan dengan pemahamannya yang mendalam sebagai suatu ideologi. Ia bahkan dipahami sebatas sebagai salah satu aliran politik yang pernah malang-melintang dirimba raya politik (masa lalu) Indonesia. ‘Dike-rangkengnya’ nasionalisme Indonesia dalam salah satu kekuatan politik dimasa lalu (baca:PNI jaman ORLA), telah mewarnai dan memerosotkan posisi nasionalisme sampai pada fase sebatas sebagai aliran politik. Padahal nasionalisme bukan semata-mata berfungsi sebagai ideologi. Sekalipun ia merupakan gejala yang mudah ditemui disembarang belahan dunia, dan sekalipun ia menduduki dasar moral dan emosi seperti halnya dengan ideologi, ia tidak memiliki prinsip-prinsip universilitas seperti sosialisme atau kapitalisme misalnya yang memungkinkannya untuk diklaim semata-mata sebagai ideologi. Dalam sejarah politik masa lalu Indonesia, kita mengetahui bahwa berbagai aliran politik, termasuk nasionalisme, yang tumbuh pada waktu itu terlibat dalam ‘perang’ dan ‘konflik’ tanpa henti. Karena itu, ketika nasionalisme dimengerti sebatas sebagai salah satu dari aliran politik di Indonesia, maka ia dengan mudah akan diperlakukan sebagai lawan oleh aliran politik lainnya. Kedua,berkaitan dengan praksis nasionalisme yang mengikuti logika nasionalisme internal. Jenis nasionalisme ini, memberikan penekanan pada superioritas dan keabsahan negara atas warganya dan mengabaikan substansi dari nasionalisme sebagai suatu ‘fakta perjanjian’ antara warga negara dengan negara. Padahal, sebagai ‘fakta perjanjian’, nasionalisme harus menekankan bukan saja bahwa warga negara bangsa memiliki hak untuk merdeka lewat negara, tapi yang bersangkutan juga memiliki hak yang sebanding untuk mengekspresikan diri, mendapatkan kemerdekaan dan kemungkinan untuk berkembang. Bung karno, telah sejak dini menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia, hanya sebatas sebagai ‘jembatan emas’. Karena itu, didalam Negara Indonesia yang merdeka, terletak kewajiban bagi negara dan kita semua untuk memerdekakan setiap individu. Dengan demikian, bukan semata-mata kemerdekaan bangsa yang menjadi pusat perhatian nasionalisme, akan tetapi sekaligus kemerdekaan individu yang menjadi warga dari bangsa yang bersangkutan. Ketiga,bertalian dengan kenyataan bahwa nasionalisme kadang digunakan sebagai sarana untuk mengabsahkan atau membela sesuatu yang bertentangan dengan logika. Kita sering berhadapan dengan kenyataan bahwa atas nama nasionalisme kita diharuskan untuk membenarkan langkah-langkah yang bahkan merugikan bangsa secara keseluruhan. Banyak contoh kasus disekitar kita, dimana nasionalisme secara gegabah telah digunakan untuk melegalisasi hal-hal yang sebenarnya tidak punya kaitan dengan kepentingan Negara dan bangsa. Misalnya kasus penggungsuran demi pembangunan nasional, jika menolak penggungsuran berarti anti pembangunan dan tidak nasionalisasi. Berdasarkan hambatan-hambatan diatas, maka persoalan pokok nasionalisme di Indonesia pada dewasa ini, bagaimana rakyat bisa diberdayakan. Hal ini sesuai dengan cita-cita reformasi total terutama dalam rangka pemberdaya civil society (masyarakat sipil). Gagasan pemberdayaan masyarakat sipil, hendaknya digunakan sebagai wacana dalam mengisi cita-cita reformasi dan sekaligus dalam membangun nasionalisme Indonesia. Sebenarnya kalau kita cermati, gagasan pemberdayaan masyarakat sipil itu sudah ada dalam UUD 1945. Sebuah contoh, ambil saja pasal 31 UUD 1945, yang menegaskan bahwa : “setiap warga negara berhak mendapat pengajaran, dan pemerintah menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang diatur dengan undang-undang”. Penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah, menunjukkan negara (pemerintah) memiliki komitmen tinggi terhadap pemberdayaan warga negara (rakyatnya). Selain itu masih banyak lagi tuntutan pasal-pasal konstitusi yang memuat hak-hak asasi manusia yang harus direalisasi oleh negara dan ditujukan kepada rakyat (warga negara). Tercantumnya hak-hak individu (warga negara) dalam sebuah konstitusi (UUD 1945). Belum tentu menjamin apakah kebijakan pemerintah mampu memperdayakan potensi bangsa yang melekat pada masyarakat atau rakyat. Hal ini menurut adanya kemauan dan kesadaran negara (pemerintah), bahwa keberadaannya dalam organisasi ini adalah semata-mata untuk mengemban ‘misi suci’, yaitu menciptakan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, kinerja pemerintah dalam membuat kebijakan,akan sangat berpengaruh bagi dampak kebijakan itu, apakah mampu memperdayakan rakyat atau masyarakat sipil, atau bahkan terjadi sebaliknya, justru mengarah pada dominasi negara (pemerintah) terhadap masyarakat sipil. Pemberdayaan masyarakat sipil,pada dasarnya juga merupakan proyek kebudayaan (cultural) yang harus diciptakan oleh bangsa dalam menyongsong format Indonesia baru dan nasionalisme Indonesia. Salah satu cirinya, adalah terdapatnya ruang publik, dimana semua orang harus mampu tumbuh dan mengaktualisasikan diri serta mandiri dan sukarela untuk mengambil bagian dalam pemerintahan. Perilaku setiap warga negara dan pemerintahannya, terikat oleh dan harus tunduk pada hukum yang dihasilkan oleh sebuah perjanjian masyarakat (kontrak social). Untuk menciptakan masyarakat yang berkeabsaan (termasuk negara juga pemerintah yang beradab), adalah merupakan rangkaian perjuangan untuk selalu menegakkan prinsip-prinsip keadilan dan menempatkan komponen masyarakat dan negara dalam suatu kederajatan. Jika hal ini disadari oleh seluruh komponen bangsa (baca:pemerintah dan rakyatnya), maka cita-cita reformasi akan segera terwujud, begitu juga nasionalisme Bangsa Indonesia akan semakin menjadi kokoh. F. Membina Rasa Nasionalisme dalam Ekspresi Kenegaraan Kesatuan Republik Indonesia Bentuk Negara Indonesia adalah “negara kesatuan”, artinya, di seluruh Negara Indonesia hanya ada satu negara yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dalam Negara kesatuan tidak dibenarkan adanya daerah yang berbentuk Negara. Negara kesatuan Indonesia didirikan dari perasaan bersatu seluruh masyarakat dan daerah-daerah yang berada di seluruh wilayah Negara Indonesia (nusantara). NKRI memiliki struktur pemerintah pusan dan pemerintahan daerah. Masing-masing pemerintah daerah diberi hak otonomi, yaitu hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, boleh’saling berbeda’, namun tidak boleh bertentangan dengan cita-cita nasional atau cita-cita Bangsa Indonesia (tujuan negaranya). Tegasnya, munculnya konsep otonomi daerah jangan diartikan sebagai strategi daerah untuk memisahkan diri dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Strategi pembinaan persatuan bangsa Indonesia dalam konteks NKRI, dapat dilaksanakan dengan beberapa program, antara lain sebagai berikut. 1. Mempersatukan Potensi Perbedaan Bangsa Indonesia Bangsa Indonesia memang memiliki kekayaan yang beranekaragam, namun jika keragaman itu tidak dibina dengan baik, bisa melahirkan konflik antar suku, ras/etnis dan antara golongan (SARA) yang terjadi di Indonesia, bisa berdampak merugikan dan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Agar bangsa Indonesia terhindar dari perpecahan, maka seluruh potensi bangsa harus diperdayakan; dengan kegiatan antara lain adalah: • Menyelenggarakan dialog nasional secara terus-menerus yang dihadiri oleh tokoh-tokoh daerah, masyarakat dan agama serta budaya; • Memanajemen konflik sosial,secara damai, demokratis manusiawi, adil dan religius; • Meyelenggarakan pekan budaya nasional, dengan menampilkan kebudayaan daerah yang ada diseluruh nusantara; • Menggalakkan amal bakti dan peduli sosial kemanusiaan bagi daerah-daerah dan keluarga yang terkena musibah atau rawa kemiskinan; • Melaksanakan pembangunan nasional tidak secara terpusat, dengan member kebebasan kepada masing-masing daerah untuk menyelenggarakan otonomi dan bersaing secara sehat, demokrasi serta berkeadilan social; • Menyelenggarakan program komunikasi lintas budaya antara daerah, dengan maksud saling mengenal, menghormati dan mengahargai proses dan produk budaya masing-masing secara empati yang tinggi; • Memasyarakatkan penghayatan dan pengalaman makna simbol-simbol identitas nasional, seperti Lambang Negara Garuda Pancasila, bendera kebangsaan Sang Merah Putih, Pancasila sebagai dasar Negara dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. 2. Menghormati Bendera Kebangsaan Sang Merah Putih, mengajarkan kepada bangsa Indonesia agar keberanian yang kita kembangkan selama ini selalu berlandaskan pada kesucian. Ingat, “Merah” berarti ‘berani’ dan “putih” artinya ‘suci’.Bendera Merah putih, adalah bendera pusaka. Sebagai bendera pusaka, “Merah Putih” tidak sekedar warna,akan tetapi harus diartikan sebagai lambang identitas persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Sebagai pusaka, Merah Putih harus disimpan, ditempatkan dan digunakan sebagaimana mestinya. Bendera Merah Putih bukanlah suatu “hiasan”, akan tetapi merupakan ‘senjata’ perjuangan bangsa Indonesia dalam mengejar cita-cita nasionalnya. Setiap warga Negara Indonesi harus mampu mengibarkan bendera Merah Putih dengan benar dan penuh rasa hormat. 3. Menghormati dan Menghayati Isi dan Makna Lagu Kebangsaan Sungguh besar jasa W.R.Soepratman (pahlawan nasional) dalam mempersembahkan syair dan lagu gubahannya kepada Ibu Pertiwi, Indonesia tercinta. Sebuah lagu INDONESIA RAYA kemudian dikukuhkan sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Marilah kita melakukan refleksi dan penghayatan kembali serta membangun komitmen nilai-nilai dalam lagu kebangsaan kita. LAGU INDONESIA RAYA Indonesia tanah airku, Tanah tumpah darahku, Disanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku. Indonesia kebangsaanku, Bangsa dan tanah airku, Marilah kita berseru, Indonesia bersatu Reff: Hiduplah tanahku, hiduplah negriku, Bangsaku, rakyatku semuannya, Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, Untukmu Indonesia Raya. Indonesia Raya merdeka-merdeka, Tanahku negriku yang kucinta, Indonesia Raya merdeka-merdeka, Hiduplah Indonesia Raya (2X) Dari syair lagu tersebut, bangsa Indonesia dapat mengambil pelajaran,antara lain : • Bait pertama, mengajarkan bahwa kita semua memiliki tanah air Indonesia. Di tanah air Indonesia kita dilahirkan dan dibesarkan. Oleh karena itu kita harus mampu menjadi pemimpin dan pencinta Ibu Pertiwi (tanah air Indonesia); • Bait kedua, mengajarkan pengakuan kita semua terhadap bangsa dan tanah air satu , yaitu Indonesia. Bangsa Indonesia bersumpah untuk mempertahankan dan kesatuan bangsa dan tanah air: • Bait ketiga, mengajarkan tentang kewajiban kita semua untuk membangun negara, bangsa (rakyat) dan tanah air Indonesia. Kesemuanya itu, untuk kesejahteraan kita bersama lahir dan batin: • Bait keempat, mengajarkan bahwa kemerdekaan itu mahal hargannya. Oleh karena itu kita harus selalu mencintai terhadap tanah air kita (Indonesia). Dengan kemerdekaannlah, kehidupan bangsa Indonesia bisa jaya (tertib), aman, adil makmur dan sejahtera. Disamping itu, padabait keempat juga mengajarkan adanya semangat kecintaan terhadap tanah air Indonesia yang telah merdeka. Karena itulah harus dipertahankan agar tetap hidup, hiduplah Indonesia raya! Menyanyikan lagu kebangsaan tidak sama dengan lagu hiburan. Lagu kebangsaan bersifat resmi, begitu juga dalam membawakannya. Hal-hal yang peru diperhatikan dalam membawakan lagu kebangsaan, antara lain adalah: (1) dilakukan dalam sikap sempurna (berdiri dengan posisi siap); (2) dalam suasana resmi, sidang rapat/resmi; (3) disertai dengan penghayatan dan makna kata-kata demi kata dalam syair lagunya; (4) dilagukan dengan penuh semangat (berjiwa patriotik); dan (5) hitungan, ketukan dan nada yang tepat. Catatan : Lagu Indonesia Raya adalah “Lagu Kebangsaan”. Dan karena itu harus didengungkan di seluruh wilayah, daerah-daerah yang termasuk sebagai bagian negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tanpa kecuali! 4. Menghormati makna Lambang Negara Republik Indonesia GARUDA PANCASILA, itulah Lambang Negara Indonesia. Pada saat proklamasi kemerdekaan kita belum mempunyai lambang negara. Baru pada tahun 1950, panitia tim perumus lambang negara berhasil merumuskan lambang negara kita. Lambang negara itu berbentuk gambar burung Garuda. Mengapa tidak burung perkutut, cucak rawa atau burung emperit? Dalam lakon (ceritera) pewayangan burung Garuda (jatayu) dikenal cinta akan kebenaran dan anti terhadap kejahatan (keangkaramurkaan). Lambang negara Garuda Pancasila yang disyahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951, pada tanggal 17 Oktober 1951 itu,seperti yang kita kenal dan miliki sampai sekarang. Sebagai lambang negara, Garuda Pancasila memiliki struktur yang langsung menggambarkan simbol-simbol ke-Indonesia-annya, yaitu: • Jumlah sayap 17, ekor 8, dan bulu leher 45, melambangkan proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17-8-1945; • Menoleh ke kanan, melambangkan kebaikan (tujuan baik) sebagai cita-cita sekaligus kondisi hendak diciptakan oleh negara Indonesia. Dalam konsep budaya Indonesia, kanan berarti baik; • Kaki mencengkeram seloka “Bhinneka Tunggal Ika”, melambangkan betapa teguhnya negara kita dalam menggalang persatuan bangsa, yang hidup menggambarkan kesatuan dalam perbedaan (yang berbeda-beda itu pada dasarnya adalah satu); • Perisai Pancasila yang dikalungkan pada leher lambang negara, melambangkan bahwa hidup dan matinya Garuda Pancasila (Negara Kesatuan Republik Indonesia) tergantung pada Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. G. Mengembangkan Perilaku Nasionalisme dalam Konteks Indonesia Sebagai bangsa yang majemuk bangsa indonesia harus mampu bergaul dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa, yaitu “memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber BHINNEKA TUNGGAL IKA”. Wujud perilaku yang mencerminkan persatuan dan kesatuan tersebut adalah sebagai berikut. 1. Membina Keserasian, Keselarasan, dan Keseimbangan Walaupun masyarakat kita berbeda-beda dalam keanekaragaman, jangan sampai terjadi pertentangan sehingga menimbulkan perpecahan bangsa Indonesia. Oleh karena itu marilah kita bina kehidupan yang serasi ,selaras dan seimbang diantara kita. “Serasi”, walaupun kita berbeda, tapi kita tetap cocok. Ibarat pakaian, kita selalu serasi dan tidak kontras. “selaras”, berarti kita berada dalam satu “laras” (alur,nada,aturan), maksudnya, bangsa Indonesia yang beraneka ragam itu, memiliki kesamaan dalam tujuan hidup bersama. Sedangkan ‘seimbang”, artinya berkaitan dengan bobot atau beratnya. Kendatipun kita berbeda dalam keahlian/profesi dan kehidupan,misalnya Si Kaya dan Si Miskin, dilihat dari bobot manusiawinya sama. 2. Saling Mengasihi, Saling Membina dan Saling Memberi Hidup saling mengasihi mengasih, membina, dan memberi antar sesama menjadi panggilan kita bersama dan diwajibkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Terhadap siapa saja, tanpa membedakan kedudukannya, kita harus saling asih (sayang), asuh (membina) dan asah (berhubungan). 3. Tidak menonjolkan perbedaan, melaikan mencari kesamaan Di antar kita memang tidak satu pun yang memiliki kesamaan. Sekali pun orang kembar, pasti terdapat perbedaannya. Demikian juga dengan suku-suku bangsa Indonesia. Walaupun kita serba berbeda, jangan sampai kita menonjolkan perbedaan kita. Misalnya, baju kita lebih baik dari pada baju teman-teman. Dalam hal ini, kita harus pandai menempatka persamaan-persamaan, agaar kita tidak menjadi “sombong dan suka pamer”. Antara suku bangsa yang satu dengan yang lain, sama-sama memiliki kebudayaan. Walaupun kebudayaannya berbeda, kita harus tetap memandang sama. 4. Meningkatkan Kecintaan Terhadap Lingkungan Hidup Manusia merupakan bagian dari seluruh ciptaan tuhan, oleh karena itu manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia hanya dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya bila berhubungan dengan lingkungan hidupnya yakni masyarakat sekitarnya, juga alam. Tindakan menjaga lingkungan hidup berarti telah bekerja sama pula dengan pemerintah dalam progam pelerstarian lingkungan hidup, misalnya menanam sejuta bunga. Menjaga seluruh isinya baik fauna maupun floranya. Oleh karena itu kita harus mencintai seluruh lingkungannya hidup, dengan menjaga kelestariannya, sehingga kebahagiaan hidup dapat terwujud. 5. Berkerjasama Sesama Warga, Lingkungan dan Pemerintahan Disamping sebagai mahkluk sosial, manusia harus menjaga hubungan baik dengan lingkungan hidupnya baik dengan tetangga, masyarakat, maupun alam sekitarnya. Sering kita mendengar perkelahian pelajar, dibeberapa kota bahkan ada yang tewas dalam peristiwa tersebut. Perbuatan tersebut akan mencederai rasa persatuan dan kesatuan, untuk itu kita harus menghindari pertentangan bahkan perkelahian antar siswa atau antar pelajar. Adapun kalau terjadi perselisihan alangkah lebih baik jika diselesaikan dengan musyawarah. 6. Menggalang Persatuan dan kesatuan melalui berbagai kegiaatan Beberapa cara yang ditempuh untuk menggalang persatuan dan kesatuan dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan antara lain: (a) menggalakkan olah raga mellalui POIN, PORSENI, pertandingan persahabatan lainnya; (b) kesenian melalui pekan budaya, lomba tari daerah,kongres bahasa; dialog nasional; (c)keramukaan melalui Jambore nasional, jambore daerah, lomba-lomba lainnya; (d) dialog organisasi; (e) pembauran antar suku antar etnis; (g) menyiarkan melalui radio, TV dan media elektronika mengenai keaneka ragaman suku bangsa untuk mengingatkan rasa kebangsaan kita, misalnya acara : anak seribu pulau, aneka ria nusantara, bhinneka tunggal ika. Dengan berbagai kegiatan tersebut kita dapat tersemangati dan terpupuk untuk memiliki sikap sebagaimana yang dituntut olehsila Persatuan Indonesia terutama dalam “menematkan persatuan dan kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan”. BAB III PENUTUP Masyarakat indonesia yang besifat pluralistis ditandai oleh berbagai faktor, yang antara lain oleh perbedaan suku bangsa, agama, ras/etnis dan antar golongan. Sebagai konsekuensi masyarakat yang pluralistis, masyarakat Indonesia secara kultural memiliki kebudayaan lokal yang beranekaragam. Kondisi demikian, boleh jadi melahirkan berbagai wawasan lokal yang berkembang di berbagai daerah nusantara, yang digunakan dalam membangun wawasan nasional, sebagaimanapun dikenal dengan wawasan nusantara. Persoalan yang berkaitan dengan SARA (suku,agama,ras dan antar golongan),hendaknya dipandang secara positif, yaitu sebagai energi demokrasi atau kemajemukan masyarakat Indonesia dan bukan dikatakan sebagai sumber konflik. Manajemen konflik yang mungkin timbul dari perbedaan SARA, harus dipahami secara kritis agar tidak menimbulkan disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, bangunan wawasan kebangsaan yang dipetakan dari keanekaragaman wawasan lokal dan SARA di Indonesia, akan menentukan bagi keberhasilan upaya intergrasi nasional dan sekaligus juga pemaknaan bagi paham kebangsaan (nasionalisme) Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Al-Hakim. 2014. Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia. Malang: PT. Madani SOAL-SOAL LATIHAN 1. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang pluralistis. Apa yang dimaksud dengan Masyarakat Pluralistis? a. masyarakat majemuk b. masyarakat sosialita c. masyarakat timur d. masyarakat berpendidikan e. masyarakat tradisional 2. Kemajemukan masyarakat Indonesia ditandai oleh beberapa faktor yang meliputi.... a. perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan serta kebudayaan lokal yang beraneka ragam b. perbedaan pendapat, warna kulit, bahasa, agama, dan kebudayaan lokal yang beraneka ragam c. perbedaan agama, etnis, bahasa, dan antar golongan d. persamaan agama, suku, etnis, dan budaya e. persamaan warna kulit, bahasa, agama, dan nasib 3. Jika dikaji secara mendalam, kemajemukan budaya tidak saja memiliki makna sosial, akan tetapi juga bisa bermakna.... a. demokratis b. praktis c. politis d. minimalis e. penuh mistis 4. Istilah lain dari kebudayaan yang bersifat kemajemukan adalah.... a. Kebhinekaan b. persamaan c. kesatuan d. keselarasan e. serupa 5. Wawasan lokal dirasakan sangat perlu bagi kehidupan masyarakat di daerah, karena.... a. dapat menambah wawasan bagi masyarakat sekitar b. dapat memberikan gambaran kehidupan di masa depan c. dapat digunakan dalam mengembangkan potensi dan kelebihan setiap daerah d. dapat digunakan untuk menjalankan rencana warga e. sebagai acuan bagi masyarakat untuk meraih kesuksesan dan kemakmuran 6. Pemahaman dan pengkajian secara cermat, kritis dan penuh kehati-hatian terhadap aspirasi budaya itu akan menentukan proses interaksi sosial bagi masyarakat Indonesia yang beraneka ragam. Mengapa demikian? a. Karena aspirasi lokal akan menentukan bagi berkembangnya wawasan lokal, yang sama pentingnya dengan wawasan nasional b. karena masa depan Bangsa Indonesia ada ditangan kita c. supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan d. supaya kita dapat berpikir lebih maju dan dapat berinteraksi dengan baik e. supaya kita bisa menjadi masyarakat yang lebih cerdas dan teliti dalam bertindak 7. SARA adalah gejala inhern dengan kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistis. Apakah yang dimaksud dengan kata yang bercetak miring? a. Secara samar b. menyerta dan bersamaan c. terpecah belah d. secara kasat mata e. sadar 8. Kemajemukan masyarakat (plures) tidak dapat dilenyapkan demi jargon persatuan dan kesatuan, sebab persatuan itu harus dicapai lewat keberadaan pluralitas, menurut…… a. Cornelis Lay, 1997 b. Nugroho, 1997 c. Keontjaraningrat, 1982 d. Berger dan Neuhauss, 1977 e. Stanley A. Diamond (1970) 9. Dalam komponen konstitutif, panggilan konstitusi bagi penyelenggara pendidikan nasional oleh pmerintah negara Indonesia, secara eksplisit dapat digali pada... a. UUD 1995 Pasal 31 b. UUD 1990 Pasal 13 c. UUD 1945 Pasal 31 d. UUD 1997 Pasal 29 e. UUD 1945 Pasal 30 10. Semboyan bangsa kita adalah Bhineka Tunggal Ika, yang artinya adalah… a. Berbangsa dan bernegara satu b. Berbeda-beda tetapi tetap satu jua c. Berbeda-beda tetapi tetap satu d. Berbangsa dan bernegara saja e. Berbeda-beda tetapi tetap jua 11. Simbol-simbol identitas nasional dibawah ini adalah, kecuali…… a. Bahasa Indonesia b. Lagu Indonesia raya c. Bendera merah putih d. Garuda pancasila e. Bahasa kebanggaan 12. “SARA”merupakan kepanjangan dari beberapa kata dibawah ini, kecuali…… a. Budaya b. Suku c. Ras d. Agama e. Antar golongan 13. Negara harus benar-benar embedded (tertanam dan mengakar) dalam masyarakatnya sehingga setiap kebijakan yang ditelurkan selalu mewakili masyarakatnya. Menurut……. a. Cornelis Lay, 1997 b. Nugroho, 1997 c. Keontjaraningrat, 1982 d. Berger dan Neuhauss, 1977 e. Stanley A. Diamond, 1970 14. Lagu Kebangsaan INDONESIA RAYA diciptakan oleh….. a. Ibu sud b. Ws. Rendra c. Kartini d. W.R. Soepratman e. Ir. Soekarno 15. Merah Putih artinya….. a. Merah berani, putih bersih b. Merah panas, putih suci c. Merah berani, putih suci d. Merah jahat, putih bersih” e. Merah “jahat”, putih “suci” 16. Agar bangsa Indonesia terhindar dari perpecahan, maka seluruh potensi bangsa harus diperdayakan; dengan kegiatan antara lain:…. a. Secara damai b. Demokratis c. Manusiawi d. Adil dan religious e. Bertanggung jawab tanpa arah 17. Konsep Wawasan Nusantara dalam kehidupan Bangsa Indonesia sangat berguna untuk: a. Memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan IPOLEKSOSBUDHANKAM. b. Menyatukan keanekaragaman yang terdapat pada bangsa kita. c. Menjamin tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. d. Menciptakan kesadaran bela negara bagi warga negara. e. Membantu terwujudnya kehidupan yang semakin rukun dan damai. 18. Salah satu wujud perilaku yang mencerminkan persatuan dan kesatuan tersebut adalah .... a. Saling mengasihi, saling membina, dan saling memberi b. Saling mencaci maki c. Solidaritas sesama klub sepak bola yang didukung d. Mencintai keluarga suami / istri sebagaimana mencintai keluarganya sendiri e. Membela warga desanya yang ketahuan mengambil mangga warga desa sebelah 19. Mengapa ketika menyanyikan lagu kebangsaan tidak sama dengan lagu hiburan? a. Karena lagu kebangsaan dapat menghibur hati yang sedang gundah dan gelisah b. Karena bersifat resmi (formal), begitu juga dalam membawakannya c. Karena penuh dengan kisah yang harus dipahami ketika menyanyikannya d. Karena ber-genremellow e. Karena harus dinyanyikan bersama-sama 20. Garuda Pancasila, merupakan Lambang Negara Indonesia. Pada saat proklamasi kemerdekaan, kita belum mempunyai lambang negara. Sehingga pada tahun 1950, panitia tim perumus lambang negara berhasil merumuskan lambang negara kita. Lambang negara itu berbentuk gambar burung Garuda. Mengapa tidak burung perkutut, cucak rawa atau burung emperit? a. Karena burung garuda memiliki postur tubuh yang gagah dan berani b. Karena burung emprit dan burung perkutut merupakan burung dengan nilai jual yang lebih rendah dibanding degan burung garuda. Maka dari itu, Indonesia menjadikan burung garuda sebagai lambang Negara Indonesia c. Karena dalam lakon (ceritera), pewayangan burung Garuda (jatayu) dikenal cinta akan kebenaran dan anti terhadap kejahatan (keangkaramurkaan) d. Karena burung garuda memiliki karisma tersendiri bagi Negara Indonesia e. Karena merupakan burung yang menjadi primadona bagi negara-negara di dunia 21. Manakah yang termasuk dari reff lagu “Indonesia Raya”? a. Disanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku b. Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku, marilah kita berseru,Indonesia bersatu c. Indonesia Raya merdeka-merdeka, hiduplah Indonesia Raya d. Hiduplah tanahku, hiduplah negriku, bangsaku, rakyatku semuannya, bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, Untukmu Indonesia Raya e. Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku, 22. Dari syair lagu ‘Indonesia Raya’ tersebut, bangsa Indonesia dapat mengambil pelajaran, antara lain... a. Mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan mahal hargannya. Dengan kemerdekaannlah, kehidupan bangsa Indonesia bisa jaya (tertib), aman, adil makmur dan sejahtera b. Mengajarkan bangsa Indonesia untuk selalu up to date dengan teknologi terkini c. Menjadikan bangsa Indonesia supaya tidak tertingggal dengan era globalisasi yang sangat pesat d. Membantu bangsa Indonesia menyelesaikan masalah yang terjadi di bumi pertiwi e. Mengajarkan supaya bangsa Indonesia bisa menjadi negara yang maju, bukan sekedar menjadi negara berkembang 23. Nasionalisme dan Negara Bangsa (nation state) merupakan dua hal yang mampu mendominasi wacana politik dunia selama abad 20 secara bertahap tetapi pasti, sekarang mulai berhadapan dengan sejumlah tantangan yang menempatkan keduannya dalam posisi yang cukup sulit. Mengapa demikian? a. Karena sebagai wadah organisasi sosial yang membungkusnya dan dua hal tersebut merupakan dua kekuatan terbesar di dunia b. Merupakan peraturan yang sudah ditetapkan oleh PBB c. Saling berkesinambungan d. Karena sebagai pelengkap dalam suatu sistem pemerintahan e. Karena nasionalisme dan negara bangsa merupakan unsur penting dalam mejalankan peribadatan 24. Sebutkan istilah lain dari culture broker! a. Pembenci budaya b. Pialang budaya c. Perisai budaya d. Penindasan budaya e. Peradaban budaya 25. Bangsa Indonesia supaya bisa menjadi masyarakat yang pandai dalam bergaul. Artinya .... a. Bergaul secara bebas b. Supaya bangsa Indonesia memiliki eksistensi yang baik di mata negara lain c. Bergaul untuk menambah wawasan dan pengalaman hidup d. Bekerjasama dalam rangka untuk mewujudkan investasi besar di beberapa negara asing e. Bergaul dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa, yaitu “memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber bhinneka tunggal ika”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar